Kamis, 03 Maret 2011

tesis

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PELUNASAN
PIUTANG NEGARA DARI PERBANKAN OLEH DIREKTORAT
JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA (DJPLN)
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh :
REHABEAM MOFU, S.H.
B4A 004 044
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H.
Mohammad Dja’is, S.H., CN. M.Hum.
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006
ii
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PELUNASAN
PIUTANG NEGARA DARI PERBANKAN OLEH DIREKTORAT
JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA (DJPLN)
TESIS
Disusun Oleh :
REHABEAM MOFU, S.H.
B4A 004 044
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 20 Juli 2006
Tesis ini telah diterima
Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Hukum
Dosen Pembimbing, Pembimbing Kedua,
Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H. Mohammad Dja’is, SH.,CN. M.Hum.
NIP. 130 354 857 NIP. 130 675 343
Mengetahui,
Ketua Prgram Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.
NIP. 130 350 519
iii
Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan
datang pertolonganku?
Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.
(MAZMUR 121 Ayat 1 dan 2)
Dengan rasa syukur dan terima kasih Tesis ini aku persembahkan
kepada :
Kedua orang tuaku;
Isteriku Adolfince Rumbiak dan Anak-anak ku:
- Marselina Ivony Mofu
- Festus Moses Jakob Mofu
- Syabar Samuel Demianus Mofu
- Elisabeth Danelyn Mofu
Program Studi Magister Ilmu Hukum UNDIP Semarang dan
Fakultas Hukum UNCEN Jayapura Papua.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat,
karunia dan rahmat-Nya, maka penyusunan tesis yang berjudul “Eksekusi
Hak Tanggungan Sebagai Pelunasan Piutang Negara dari Perbankan oleh
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN)” ini dapat
diselesaikan pada waktunya.
Penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bimbingan dari Ibu Prof.
Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H. dan Bapak Mochammad Dja’is, S.H.,
CN.,M.Hum. yang selalu melayani dan memberikan saran perbaikan dalam
penyusunan tesis ini.
Selain itu, berkat perhatian dan bantuan serta kesediaan mengkritisi
proposal penelitian dari Bapak Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H, Ibu Prof.
Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H, Ibu Prof. Dr. Esmi Warassih P., S.H.MS. dan
Bapak Mochammad Dja’is, S.H.,CN.,M.Hum. selaku Tim Review, maka
penulis dapat menyempurnakan tesis ini.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Pembimbing, Tim Review Proposal,
Pemandu seminar Hasil Penelitian dan peserta seminar serta Tim Penguji,
kiranya diberkati selalu.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang terhormat:
• Bapak Rektor Universitas Cenderawasih dan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Cenderawasih Jayapura Papua yang memberikan
kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan studi S2 Hukum di
UNDIP Semarang.
v
• Bapak Rektor beserta segenap Pembantu Rektor UNDIP yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti studi pada
Program Studi Magister Ilmu Hukum UNDIP Semarang.
• Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum UNDIP Prof. Dr. Barda
Nawawi Arief, SH, sekretaris program studi baik bidang akademik
maupun keuangan dan staf TU yang telah mengurus kepentingan
penulis selama kuliah.
• Bapak dan Ibu guru besar dosen Magister Ilmu Hukum UNDIP yang
telah banyak memberikan tambahan pengetahuan kepada penulis.
• Bapak Ignatius Ridwan Widyadharma, S.H.,MS.,Ph.D., Bapak
Andreas Haryanto, S.H.,CN., Broto Hastono, S.H., Agung Setiawan,
S.H, Barita Saragih, S.H.,LLM., Doni Indarto, S.H., Midun Sitompul,
S.H., Budi Waluyo dan Yuda Primanto yang bersedia memberikan
data kepada penulis untuk penyusunan tesis ini.
• Rekan-rekan seangkatan 2004 klas reguler terutama bapak Sahruddin
S.H. dan bapak Musa serta rekan-rekan lain yang ikut memberi
masukan dalam diskusi untuk penyelesaian tesis ini.
Secara khusus penulis sampaikan terima kasih kepada keluarga dekat apus
Moses Asaribab (alm), Bapak Gasper Mofu atas nasihat-nasihat, bantuan dari
kakak Piet H. Mofu serta doa dari keluarga untuk penulis. Ucapan terima kasih
secara khusus untuk bapak Ir. F.A. Wospakrik, M.Sc. selaku mantan Rektor
UNCEN yang terus mendorong penulis untuk kuliah, Bapak Drs. Silas Antoh
mantan Purek I yang sudah memproses administasi penulis untuk melanjutkan
studi S2 dan juga Bapak Johannes H. Krey, S.H. mantaan Dekan Fakultas
Hukum yang memaksa penulis untuk berangkat studi S2, Bapak Hendrik
vi
Krisifu, S.H.,MA mantan PD II FH Uncen, Bapak Joram Wambrauw, S.H,
Bapak Darius Mamoribo, S.H, Bapak M.F. Kareth, S.H.,M.Hum yang
membina penulis sebelum stadi S2 serta semua sahabat kerja antara lain
Marthinus Omba, S.H, Sabaruddin Siregar, S.H dan Amias Morin, S.H. dan
donatur yang ikut meringankan beban biaya selama studi.
Akhirnya, penulis sadari bahwa isi tesis ini tidak luput dari
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran diperlukan untuk perbaikan.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Terima kasih.
Semarang, 18 Juli 2006
Penulis,
Rehabeam Mofu, SH.
vii
ABSTRAK
Menurut UU PUPN penyelesaian piutang negara harus melalui pengurusan
dan pelelangan DJPLN, namun ada bank yang memilih lelang berdasar Pasal 6
UUHT. Tujuan penelitian mengetahui proses eksekusi jaminan hak
tanggungan oleh PUPN, mengkaji keabsahan nota kesepakatan kerjasama
eksekusi parate antara Bank Mandiri dengan DJPLN, akibat hukum tugas
DJPLN dan usulan penyempurnaan peraturan pelaksanaan eksekusi hak
tanggungan dan peraturan pengurusan piutang negara. Spesifikasi penelitian
hukum normatif adalah deskriptif analitis. Bahan hukum dan data diperoleh
melalui penelitian studi pustaka dan survai lapangan dengan alat pengumpul
data studi dokumen dan wawancara. Berdasar analisis kualitatif diketahui
bank wajib menyerahkan piutang negara kepada PUPN/KP2LN yang
kemudian dilanjutkan dengan pengurusan dan atau pelelangan. Nota
Kesepakatan Kerjasama antara Bank Mandiri dengan DJPLN sudah sesuai
Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 313 Kepmenkeu No. 300/KMK.01/2002,
namun berisiko karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 26 UUHT. Pada tahap
pengurusan piutang negara Debitor melunasi secara sukarela atau dipaksa
untuk melunasi melalui cekal / paksa badan dan / atau lelang, dan bila
keberatan mengajukan gugatan. Kreditor yang merasa tidak puas berusaha
menyelesaikan sendiri pengurusan piutang negara dan pihak ketiga yang
keberatan mengajukan perlawanan. Disarankan pada pembuat UU untuk
membuat Peraturan Pelaksana berdasar Pasal 26 UUHT dan menyempurnakan
UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN.
Kata Kunci : Eksekusi, Hak Tanggungan, Piutang Negara
viii
ABSTRACT
According to Commitee of State Loan Affairs (PUPN) Act, the settlement of
state loan should take process of General Directorate of State Loan and
Auction (DJPLN) auction, but there are certain banks tend to choose auction
procedure based on Act of Burdened Rights article 6. This research aims at
understanding the execution process of the burdened rights guarantee by
PUPN, studying the validity if the letter of intent the parate execution
between Mandiri Bank and DJPLN as the result of DJPLN law and proposal
completion and the regulation implementation of the burdened rights
execution and the regulation of state loan. The specification of this research
is normative law in the form of descriptive analytic the material law and data
were compiled through library research and field survey using data collecting
tools document study and interviews. Based on the qualitative method the
bank is obliged to submit the state loan to Commitee of State Loan and
Auction Service/Office of State Loan and Auction Service (PUPN/KP2LN)
which is further conducted through the administration or the auction. The
letter of intent between Mandiri Bank and DJPLN has fulfilled the Article
1320 Code Civil Law and Article 313 of Monetary Ministry Decision number
300/ KMK.01/2002 but it is very risky as it does not fulfil the requisition on
Article 26 Act of burdened Rights. At the level of state loan settlement the
debitor paid the credit voluntarily or being forced to pay the credit through
seizing/imprisonment of civil debt/auction, and if the respective party objected
to pay, he/she could submit the objection. The creditor who feels unsatisfied
trying to settle the non performing loan and the third party who objects could
institute a suit. It is recommended that law makers set up the implementation
of regulation based on article 26 Act of Burdened Rights and to improve the
government regulation to replace law number 49, the year of 1960 on PUPN.
Keywords: Execution, burdened Rights, State Loan
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xiii
DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ....................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................ 10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................... 10
D. Metode Penelitian ............................................................... 12
1. Metode Pendekatan .................................................... 12
2. Spesifikasi Penelitian ................................................. 12
3. Lokasi Penelitian ........................................................ 13
4. Teknik Pengumpulan Data ......................................... 13
5. Teknik Analisis Data................................................... 16
E. Kerangka Teoritis/Pemikiran ............................................. 16
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Tanggungan Pada Umumnya .............................................. 25
1. Arti Pentingya Jaminan .......................................................... 25
2. Preferensi ............................................................................... 27
3. Pengertian dan Ciri-ciri Hak Tanggungan ............................. 29
4. Asas-asas Hak Tanggungan .................................................. 32
5.Objek dan Subjek Hak Tanggungan ....................................... 34
5.1. Objek Hak Tanggungan ..................................................... 34
5.2. Subjek Hak Tanggungan .................................................... 36
6. Proses Pembebanan Hak Tanggungan .................................. 38
6.1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan ................................... 38
6.2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan ................................. 42
7. Eksekusi Hak Tanggungan ................................................... 44
B. Eksekusi Hak Tanggungan dari Piutang Bank Negara ........... 49
1. Jenis Piutang Negara ............................................................ 49
2. Piutang Negara dari Perbankan ........................................... 51
2.1. Adanya Perjanjian Kredit Bank ........................................ 51
2.1.1. Pengertian kredit dan Perjanjian kredit ......................... 51
2.1.1.1. Pengertian Kredit ....................................................... 51
2.1.1.2. Perjanjian Kredit ....................................................... 53
2.1.2. Perjanjian Pendahuluan dan Perjanjian standart ........... 55
2.1.3. Bentuk Perjanjian kredit dan syarat sahnya Perjanjian.. 57
x
2.1.4. Hak dan kewajiban Pemberi dan Penerima kredit ........ 60
2.1.4.1. Pemberi Kredit ........................................................... 60
2.1.4.2. Penerima Kredit ......................................................... 61
2.1.5. Debitor Wanprestasi dan akibat hukumnya .................. 63
2.2. Kredit Bermasalah ............................................................ 64
2.2.1. Penggolongan Kredit Bermasalah ................................. 65
2.2.2. Sebab-Sebab Terjadinya Kredit Macet .......................... 67
3. Upaya Penyelamatan dan Penyelesaian piutang negara
dari Perbankan ..................................................................... 69
3.1. Penyelamatan melalui restrukturisasi ................................ 69
3.2. Penyelesaian melalui lembaga-lembaga hukum ............... 71
4. Eksekusi Hak Tanggungan melalui Pengadilan Negeri ......... 72
4.1. Pengertian eksekusi ............................................................. 72
4.1.1. Pengertian eksekusi dalam bidang Hukum Perdata ........... 72
4.1.2. Pengertian eksekusi dalam bidang Hukum Pidana ............ 76
4.1.3. Pengertian eksekusi dalam bidang Hukum TUN .............. 77
4.1.4. Pengertian eksekusi menurut Hukum Eksekusi ................ 79
4.2. Sumber Hukum Eksekusi .................................................... 80
4.3. Jenis-jenis Eksekusi ........................................................... 82
4.4. Asas-asas Eksekusi ............................................................... 85
4.4.1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap 85
4.4.2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela .......................... 87
4.4.3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir ..... 87
4.4.4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri ................................................. 88
4.5. Syarat, prosedur dan sanksi eksekusi Hak Tanggungan
melalui Pengadilan Negeri.................................................. 90
4.5.1. Peringatan (aanmaning) .................................................... 91
4.5.2. Surat Perintah Eksekusi .................................................... 91
4.5.3. Sita Eksekusi ..................................................................... 92
4.5.4. Pelelangan ........................................................................ 92
C. Eksekusi Hak Tanggungan /Pengurusan Piutang Negara
Melalui PUPN dan DJPLN/KP2LN ................................ 94
1. Sekilas Profil PUPN dan DJPLN ............................................ 94
1.1. Sejarah ringkas PUPN dan DJPLN ...................................... 94
1.2.Hubungan PUPN dengan DJPLN .......................................... 97
1.3.Tugas dan Wewenang PUPN dan DJPLN ............................. 99
2. Syarat, Prosedur dan sanksi Eksekusi Hak Tanggungan /
Pengurusan Piutang Negara oleh PUPN ................................ 102
2.1. Penyerahan Piutang Negara ................................................. 102
2.2. Penelitian ............................................................................... 103
2.3. Panggilan ............................................................................... 105
2.4. Pernyataan Bersama .............................................................. 106
2.5. Surat Paksa ............................................................................ 106
2.6. Penyitaan ............................................................................... 107
2.7. Lelang ... .............................................................................. 108
2.8. Tindakan Paksa Badan dan Pencegahan (Cekal) ................. 111
3. Eksekusi Hak Tanggungan oleh DJPLN/KP2LN .................... 112
xi
3.1.Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kanwil DJPLN ...................... 112
3.2.Kedudukan, Tugas dan Fungsi KP2LN ................................... 113
3.3.Nota Kesepakatan Kerjasama .................................................. 115
3.4. Syarat, Prosedur dan sanksi Eksekusi berdasar
Pasal 6 UUHT ........................................................................ 116
3.5.Pembayaran Hutang dan Pelunasan. ...................................... 118
4. Akibat hukum yang timbul dari Tugas PUPN dan
DJPLN/KP2LN...................................................................... 119
4.1. Perkara di Peradilan Umum .. ............................................... 119
4.1.1. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum ................................ 119
4.1.2. Perlawanan terhadap sita eksekusi atau lelang oleh
pihak ketiga atau tereksekusi .............................................. 120
4.1.3. Penundaan Pelelangan oleh Pengadilan Negeri .................. 121
4.2. Sita Persamaan ...................................................................... 121
4.3. Gugatan di PTUN .................................................................. 122
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .............................................................................. 125
1. Proses Eksekusi Hak Tanggungan oleh PUPN ................ .... 125
1.1. Penyerahan Piutang Negara ............................................... 129
1.2. Penelitian ............................................................................ 132
1.3. Panggilan ............................................................................ 133
1.4. Pernyataan Bersama ........................................................... 134
1.5. Surat Paksa ......................................................................... 137
1.6. Penyitaan ............................................................................. 138
1.7. Lelang ... ............................................................................. 139
2. Keabsahan Nota Kesepakatan Kerjasama antara Bank
Mandiri dengan DJPLN untuk melakukan eksekusi
berdasar Pasal 6 UUHT ......................................................... 152
2.1. Isi Nota Kesepakatan Kerjasama ........................................ 152
2.2. Keabsahan Nota Kesepakatan Kerjasama ........................... 159
3. Akibat hukum yang timbul sebagai konsekuensi dari
Tugas PUPN dan DJPLN/KP2LN dalam melaksanakan
Eksekusi Hak Tanggungan ...................................................... 168
3.1. Akibat Hukum Terhadap Debitor ......................................... 168
3.1.1. Debitor Patuh ................................................................. 168
3.1.2. Debitor Tidak Patuh .......................................................... 168
3.1.3. Debitor keberatan .............................................................. 170
3.2. Akibat Hukum terhadap Kreditor ........................................ 189
3.2.1. Kreditor Merasa Puas atas Pengurusan Piutang Negara ... 189
3.2.2. Kreditor tidak merasa puas atas pengurusan piutang
negara ........................................................................... 189
3.3. Akibat Hukum Terhadap Pihak Ketiga.............................. 196
3.3.1. Pihak Ketiga Menerima ................................................ 196
3.3.2. Pihak Ketiga Tidak menerima/keberatan ....................... 196
4. Peraturan Eksekusi Hak Tanggungan dan UU PUPN
dimasa mendatang ..................................................................... 198
xii
4.1. Peraturan Eksekusi Hak Tanggungan ................................. 198
4.2. UU PUPN ........................................................................... 206
B. PEMBAHASAN .............................................................................. 208
1. Proses Eksekusi Hak Tanggungan oleh PUPN .................... 208
1.1. Penyerahan Piutang Negara.................................................. 208
1.2. Penelitian .............................................................................. 211
1.3. Panggilan .............................................................................. 213
1.4. Pernyataan Bersama ............................................................. 216
1.5. Surat Paksa ........................................................................... 219
1.6. Penyitaan .............................................................................. 221
1.7. Lelang .................................................................................. 223
2. Keabsahan Nota Kesepakatan Kerjasama antara Bank Mandiri
dengan DJPLN untuk melakukan eksekusi berdasar Pasal 6
UUHT .................................................................................... 235
2.1. Isi Nota Kesepakatan Kerjasama ........................................ 235
2.2. Keabsahan Nota Kesepakatan Kerjasama .......................... 239
3. Akibat hukum yang timbul sebagai konsekwensi dari
Tugas PUPN dan DJPLN/KP2LN dalam melaksanakan
eksekusi Hak Tanggungan ..................................................... 245
3.1. Akibat Hukum Terhadap Debitor ....................................... 245
3.1.1. Debitor Patuh .................................................................. 245
3.1.2. Debitor Tidak Patuh ........................................................ 246
3.1.3. Debitor Keberatan ........................................................... 251
3.2. Akibat Hukum Terhadap Kreditor .................................... 270
3.2.1. Kreditor Merasa Puas Atas Pengurusan Piutang Negara 270
3.2.2. Kreditor Tidak Merasa Puas Atas Pengurusan Piutang
Negara ................................................................... 271
3.3. Akibat Hukum Terhadap Pihak Ketiga .............................. 277
3.3.1. Pihak Ketiga menerima .................................................. 277
3.3.2. Pihak Ketiga Tidak Menerima/Keberatan ...................... 277
4. Peraturan Eksekusi Hak Tanggungan dan UU PUPN
dimasa men datang ................................................................ 282
4.1. Peraturan Eksekusi Hak Tanggungan ................................ 282
4.2. UU PUPN ......................................................................... 288
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 295
B. Saran-saran ............................................................................... 297
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR SINGKATAN
APHT : Akta Pemberian Hak Tanggungan
BI : Bank Indonesia
BKPN : Berkas Kasus Piutang Negara
BPHTB : Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BPD : Bank Pembangunan Daerah
BPPN : Badan Penyehatan Perbankan Nasional
BPN : Badan Pertanahan Nasional
BNI : Bank Negara Indonesia
BRI : Bank Rakyat Indonesia
BUPLN : Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
DJPLN : Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
Kepmenkeu : Keputusan Menteri Keuangan
Kepres : Keputusan Presiden
KLN : Kantor Lelang Negara
KP3N : Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara
KP2LN : Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara
MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia
MOU : Memorandum of understanding
NPL : Non Performing Loan
PBI : Peraturan Bank Indonesia
PP : Peraturan Pemerintah
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
PSBDT : Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih
PUPN : Panitia Urusan Piutang Negara
RUPS : Rapat Umum Pemegang Saham
SE : Surat Edaran
SP3N : Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
SPV : Special Purpose Vechile
SKT : Surat Keterangan Tanah
TUN : Tata Usaha Negara
UU : Undang-undang
UUHT : Undang-Undang Hak Tanggungan
UU PUPN : Undang-Undang Piutang Negara
Prp. : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
xiv
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan Proses eksekusi/Pengurusan Piutang Negara ............................ 145
xv
DAFTAR TABEL
.
Halaman
1. Tabel 1 : Pengurusan Piutang Negara di KP2LN Semarang Tahun 2005 .... 150
2. Tabel 2 : Pengurusan Piutang Negara KP2LN di lingkungan Kanwil V
DJPLN Tahun 2005 ....................................................................... 151
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Piutang negara saat ini cukup besar terutama yang berasal dari perbankan.
Hal ini terkait dengan kegiatan pembangunan dalam negeri. Meningkatnya
pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi membutuhkan
penyediaan dana yang cukup besar1. Salah satu jasa penyedia dana ini adalah
bank pemerintah melalui kredit, yang dampak positifnya dirasakan oleh
pengguna kredit untuk menunjang kebutuhan atau meningkatkan taraf hidup
masyarakat melalui usahanya. Namun demikian dana yang disalurkan oleh bank
kepada pemohon kredit atau debitor ini sering berdampak negatif, karena dana
yang dipinjamkan tersebut bermasalah atau tidak dapat dikembalikan oleh debitor
kepada bank sebagai kreditor bahkan menjadi kredit macet. Dengan demikian
akan menjadi suatu piutang negara kepada debitor tersebut.
Dalam Harian Seputar Indonesia yang terbit pada Bulan Agustus 2005
disebutkan bahwa: “total kredit bermasalah (non performing loan/NPL)
perbankan selama Juni mencapai 42,3 triliun, meningkat dibanding posisi bulan
sebelumnya sebesar Rp. 37,7 miliar. Sementara itu, Direktur Bank BNI Fero
Poerbonegoro mengatakan, kenaikan rasio kredit bermasalah perbankan nasional
sebesar 6% pada bulan Juni, banyak disumbangkan oleh bank-bank besar, seperti
1 Mochammad Dja’is. “Peran Sifat Accessoire Hak Tanggungan Dalam Mengatasi Kredit Macet”.
Masalah-Masalah Hukum. Majalah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Edisi Khusus
XXV. halaman 52.
2
BNI, Bank Mandiri yang banyak melakukan ekspansi kredit pada sektor
korporasi”2. Hal ini merupakan risiko dari bisnis.
Menurut Djumhana, setiap bank pasti menghadapi masalah kredit
bermasalah, bank tanpa kredit bermasalah merupakan hal yang aneh (kecuali
bank-bank baru tentunya)3. Oleh karena itu, pihak bank sebagai kreditor tentu
tidak mau dirugikan, sehingga sejak awal sudah mengambil langkah dengan
mensyaratkan adanya jaminan untuk pelunasan hutang bila terjadi kredit
bermasalah atau macet oleh debitor.
Kredit macet merupakan salah satu dari sengketa perdata yang secara umum
harus diselesaikan melalui Pengadilan setelah penyelesaian di luar pengadilan
tidak berhasil. Prosedur penyelesaian melalui pengadilan ini memerlukan waktu
yang cukup lama, biaya dan tenaga. Disamping itu adanya upaya-upaya hukum
terhadap suatu putusan hakim dan eksekusi menyebabkan prosesnya makin
panjang.
Ada prosedur yang lebih khusus mengatur penyelesaian sengketa hukum
secara sederhana dan dalam waktu yang relatif cepat dibanding dengan prosedur
yang umum. Menurut prosedur ini kreditor tidak perlu mengajukan gugatan pada
pengadilan jika terjadi kredit macet, oleh undang-undang (Pasal 224 HIR/258
RBg) dia diberi hak untuk langsung bertindak dalam tahap pelaksanaan
(eksekusi). Kreditor dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada
2 Harian Seputar Indonesia. No. 35/Tahun Ke-1, Rabu 3 Agustus 2005, halaman 3.
3 Muhamad Djumhana 2003. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti.
halaman 426.
3
Ketua Pengadilan Negeri tanpa harus melalui pengajuan gugatan, pemeriksaan
perkara dan putusan4.
Namun dalam menyelesaikan hutang-hutang kepada negara atau utang
kepada badan-badan, baik yang langsung maupun tidak langsung dikuasai
oleh Negara, Pemerintah menciptakan pengecualian artinya hutang-hutang
kepada Negara pengurusan utang tidak menggunakan lembaga Pengadilan
tetapi membentuk lembaga sendiri yang khusus untuk mengurus piutang
Negara yang diberi kewenangan dan kekuasaan seperti kewenangan dan
kekuasaan yang dimiliki Pengadilan5.
Hal ini berdasar pertimbangan bahwa piutang negara cukup besar sementara
pengembalian kerugian negara ini lama, sehingga Pemerintah membentuk
lembaga yang bertugas mengurus piutang Negara yang disebut Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) berdasarkan Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara pada tanggal 14 Desember 1960
PUPN adalah suatu Panitia sehingga untuk mengefektifkan pelaksanaan
penyelenggaraan wewenang dan tugas yang dimiliki PUPN perlu dibentuk
suatu lembaga yang disebut Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1976 tanggal 20
Maret 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang
Negara6.
4 RMJ Koosmargono. 2001. “Penjualan Lelang Oleh Balai Lelang Swasta Untuk Mengatasi Kredit
Bermasalah” (Tesis). Semarang: MIH UNDIP. halaman 6
5 Sutarno. 2004. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung. Alfabeta. halaman 388
6 Ibid. halaman 389
4
Kemudian dibentuk BUPLN (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara)
berdasarkan Kepres No. 121 Tahun 1991. Selanjutnya berdasarkan Kepres
No.84 Tahun 2001 keberadaan BUPLN dilebur menjadi sebuah Direktorat
Jenderal dibawah Departemen Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Piutang
dan Lelang Negara (DJPLN). Berdasarkan SK Menkeu No.445/KMK.01/2001
tanggal 23 Juli 2001, instansi vertikal DJPLN di tingkat Propinsi adalah
Kanwil DJPLN yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara. Sedangkan unit pelaksana
paling bawah adalah Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN)7.
Dengan adanya lembaga PUPN tersebut maka bagi instansi Pemerintah
Pusat (Departemen, Lembaga Non Departemen) Instansi Daerah (Dinas-
Dinas Daerah), Bank-Bank Milik Negara, Bank Milik Daerah, BUMN non
Bank, BUMD non Bank, dan Badan-Badan lainnya yang seluruh modal atau
sebagian kekayaan dan modalnya dimiliki Negara, dalam melakukan pengurusan
atau penagihan piutang harus melalui PUPN/DJPLN8.
Dengan demikian bilamana suatu kredit pada bank negara ini sudah
dinyatakan sebagai kredit macet, maka sesuai ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No.
49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN, kredit macet ini wajib diserahkan kepada
PUPN.
Dalam hubungan tugas PUPN/DJPLN ini, maka dalam Harian Seputar
Indonesia dimuat berita bahwa: “piutang negara yang ditangani Direktorat
Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) Departemen Keuangan sebesar
7 M. Khoidin. 2005. Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan. Yogyakarta: LaksBang.
halaman 38-39.
8 Sutarno. Op.cit. halaman 390.
5
Rp.22,9 triliun, hingga November 2005. Dari total piutang tersebut terdapat
sebanyak 175.099 berkas . Menariknya, Piutang tersebut didominasi oleh pihak
perbankan atau sebanyak 109 ribu berkas dengan nilai piutang sebesar Rp.20,6
triliun. Celakanya, yang memiliki jaminan diperkirakan hanya 10 - 12%. Sisanya
berasal dari sektor non perbankan, yakni berupa tagihan dari lembaga atau
instansi badan pemerintah selain bank. Selain jaminannya sangat kecil, sebagian
dari jaminan itu berupa aset yang tidak marketable, seperti properti-properti yang
ada di tempat tidak strategis sehingga tidak ada pembelinya. Juga, aset-aset
bermasalah. Masih menurut koran ini bahwa Dirjen Piutang dan Lelang Negara
Machfud Sidik mengungkapkan sebanyak 50% dari tagihan perbankan itu
merupakan tagihan untuk 70 debitor, dengan kredit diatas Rp.50 miliar.
Dengan melihat status jaminan itu, secara teoritis dari total piutang perbankan
yang diserahkan ke DJPLN, yang bisa balik ke kas negara tidak bisa diharapkan
banyak. Namun, masih ada optimisme menarik piutang itu karena adanya
personal guarantee dan coorporatee guarentee9.
Proses pengurusan piutang negara ini berawal dari diserahkannya kredit
macet oleh Bank Pemerintah kepada PUPN Cabang melalui Kantor Pelayanan
Piutang dan lelang Negara (KP2LN), dalam di wilayah hukum DJPLN tersebut
secara tertulis disertai resume dan dokumen. Dengan diterimanya penyerahan ini,
maka pihak Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) akan
menganalisisnya untuk menentukan piutang tersebut dapat diurus, ditolak atau
dikembalikan untuk dilengkapi oleh bank / pihak penyerah piutang tersebut.
9 Harian Seputar Indonesia, Rabu 1 Februari 2006. halaman 14.
6
Dalam hal berkas penyerahan telah memenuhi persyaratan dan dari hasil
penelitian berkas dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara, Panitia
Cabang menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan
SP3N10
Salah satu jaminan yang ikut diserahkan bila ada oleh bank/kreditor selaku
penyerah piutang kepada PUPN/DJPLN adalah jaminan Hak Tanggungan.
PUPN / DJPLN dalam mengurus kredit macet yang dijamin dengan Hak
Tanggungan dieksekusi sesuai ketentuan UU No. 49 Prp. Tahun 1960, tanpa
harus minta fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri.
Akhir-akhir ini untuk pengurusan dan pelunasan piutang negara dari
perbankan, maka Bank Pemerintah seperti Bank Mandiri dan BNI 46
bekerjasama dengan DJPLN/KP2LN untuk menempuh cara yang lebih cepat
dalam pelunasan piutang yakni dengan melakukan pelelangan barang agunan
berdasarkan Pasal 6 UUHT. Munir Haikal dalam Harian Bisnis Indonesia, antara
lain mengemukakkan bahwa BNI menyerahkan eksekusi Hak Tanggungan kredit
macet 38 debitor senilai Rp.247 miliar dengan nilai tanggungan Rp.312 miliar
kepada Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) Departemen
Keuangan. Penyerahan eksekusi Hak Tanggungan ini dilakukan melalui
penandatanganan kerja sama yang ditandatangani oleh Dirut BNI Sigit Pramono
dan Dirjen DJPLN Machfud Siddik di Jakarta.. Langkah serupa pernah ditempuh
bank BUMN lainnya yaitu Bank Mandiri yang bekerjasama dengan DJPLN
untuk melelang agunan para debitor bermasalah. Bank Mandiri telah
10 Lihat Pasal 15 Keputusan Menteri Keuangan RI No. 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002
7
menggandeng DJPLN dalam melelang agunan dari 140 debitor yang terdiri dari
380 sertifikat tanah11.
Nota kesepakatan kerjasama antara Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang
Negara dan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk tentang Pelaksanaan Lelang objek
Hak Tanggungan Berdasar Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan,
ditandatangani pada tanggal 28 Nopember 2005.
Di dalam Pasal 1 Nota Kesepakatan kerjasama ini disebutkan bahwa: “Nota
Kesepakatan Kerjasama ini bertujuan untuk mempercepat dan mengoptimalkan
pelaksanaan lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT oleh DJPLN/KP2LN atas
permohonan Bank Mandiri sebagai pemegang Hak Tanggungan pertama”.
Berdasar nota kesepakatan kerjasama ini, maka piutang Bank Mandiri yang ada
jaminan Hak Tanggungannya dapat diajukan permintaan parate eksekusi ke
DJPLN/KP2LN di wilayah hukumnya masing-masing, seperti yang ditempuh
oleh PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk. Regional Credit Recovery VII di Jalan
Ahmad Yani Semarang melalui suratnya tertanggal 30 November 2005 kepada
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara / Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara (KP2LN) Semarang untuk menetapkan jadwal lelang agunan
kredit dari 7 (tujuh) debitor. Permintaan pelelangan ini langsung ke
DJPLN/KP2LN tanpa melalui PUPN, padahal piutang negara demikian wajib
diserahkan menjadi urusan PUPN sesuai Pasal 12 ayat 1 UU No. 49 Prp. Tahun
1960 tentang PUPN sebelum diteruskan ke KP2LN untuk dilelang.
11 M. Munir Haikal.” BNI serahkan 38 debitor ke DJPLN”Harian Bisnis Indonesia. Selasa. 17 Januari
2006. halaman B1.
8
Dalam Pasal 6 UUHT disebutkan bahwa : “apabila debitor cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
Menurut M. Yahya Harahap12 :
ketentuan Pasal 6 ini mengandung kerancuan jika dihubungkan dengan
penjelasan Pasal 6 tersebut, satu segi, Pasal 6 sendiri memberi kuasa menjual
sendiri kepada pemegang HT apabila debitor cidera janji. Akan tetapi, pada
penjelasan pasal itu sendiri, ditegaskan hak pemegang HT untuk menjual
sendiri (rechts van eigenmatige verkoop) baru melekat apabila hal itu
diperjanjikan. Jadi, satu segi berdasarkan pasal ini, tersirat rumusan bahwa
kuasa menjual sendiri seolah-olah bersifat ipso jure (by law) diberikan
undang-undang kepada pemegang HT, namun berdasarkan penjelasan pasal
itu, tidak bersifat ipso jure, tetapi harus berdasarkan kesepakatan.
Ada praktisi hukum yang tidak sependapat, dengan alasan bahwa Pasal 6 dan
penjelasannya sudah tepat karena penjualan atas kekuasaan sendiri merupakan
pelaksanaan dari kesepakatan yang dimuat dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 UUHT ini tidak berjalan mulus karena
masih perlu aturan pelaksanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UUHT.
Dalam Pasal 26 UUHT ditegaskan bahwa : “selama belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya dengan memperhatikan ketentuan dalam
Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai
berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan”.
Dengan demikian, maka untuk pelaksanaan eksekusi dengan penerapan UUHT
harus dilaksanakan dengan pertolongan hakim.
12 M. Yahya Harahap 2005. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Edisi kedua.
Jakarta: Sinar Grafika. halaman 197.
9
Ketentuan Pasal 6 UUHT ini mengatur hal yang sama seperti diatur dalam Pasal
1178 ayat (2) KUH Perdata, karena ketentuan ini juga mengatur jalan pintas yang
dapat ditempuh oleh kreditor langsung ke pelelangan umum bila debitor
wanprestasi dan sudah diperjanjikan sebelumnya.
Namun demikian pelaksanaan lelang di muka umum secara langsung berdasar
Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata ini dilumpuhkan oleh adanya Putusan MARI
No. 3210 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 1984 yang pada intinya setiap penjualan
lelang berdasar Pasal 224 HIR, mesti melalui campur tangan Pengadilan.
Jadi nampak adanya dua kewenangan yang sama-sama melekat pada dua
lembaga yaitu Pengadilan Negeri dan PUPN/DJPLN dalam menangani eksekusi
Hak Tanggungan terutama yang berasal dari bank pemerintah.
Oleh karena itu untuk adanya kepastian hukum yang tegas, maka diperlukan
adanya peraturan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dan Undang-Undang
yang baru sebagai pengganti UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. Khusus
UU No. 49 Prp. Tahun 1960 dalam Pasal 11, hukum acaranya menggunakan UU
penagihan pajak yang hanya dirubah pada beberapa istilah, dan hukum acara lebih
lanjut diatur dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia yang
sering dirubah.
Hal inilah yang menarik dalam pengurusan piutang negara khususnya perbankan
yang perlu diteliti, oleh karena itulah penulis mengangkatnya dalam tesis dengan
judul : “Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Pelunasan Piutang Negara dari
Perbankan oleh Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN)”.
10
B. Perumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan melalui Panitia
Urusan Piutang Negara?
2. Apakah Nota Kesepakatan Kerjasama antara Bank Mandiri dengan Direktorat
Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) untuk melakukan eksekusi
berdasar Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan sah menurut hukum?
3. Apakah akibat hukum yang timbul sebagai konsekuensi dari tugas PUPN dan
DJPLN/KP2LN terkait dengan eksekusi jaminan Hak Tanggungan ?
4. Bagaimana peraturan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dan UU No. 49
Prp Tahun 1960 tentang PUPN dimasa yang akan datang, mengingat
peraturan pelaksana UUHT belum ada dan UU PUPN ini sudah tidak relevan
lagi ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :
1. Mengetahui dan memahami tentang proses eksekusi objek jaminan Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutang negara oleh PUPN.
2. Mengkaji dan menjelaskan sah atau tidaknya nota kesepakatan kerja sama
antara Bank Mandiri dengan DJPLN dalam melelang agunan berdasar Pasal 6
UUHT.
3. Mengetahui dan memahami akibat hukum yang timbul sebagai konsekuensi
dari tugas PUPN dan DJPLN/KP2LN terkait dengan eksekusi jaminan Hak
Tanggungan.
11
4. Memberikan solusi atau masukan untuk penyempurnaan penyusunan
peraturan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dan pembuatan UU baru
sebagai pengganti UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN di masa yang
akan datang.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan untuk dapat
memberikan kontribusi baik secara praktis maupun teoritis.
Berdasar hal-hal tersebut di atas, maka kontribusi penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara praktis
Hasil penelitian ini pada garis besarnya diharapkan dapat menjadi bahan
masukan untuk menyusun peraturan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan
dan pembuatan UU baru sebagai pengganti UU No.49 Prp. Tahun 1960
tentang PUPN.
Secara rinci kontribusi penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Pembuat Undang-Undang, mendapat masukan untuk menyusun
peraturan pelaksanaan tentang eksekusi Hak Tanggungan, dan UU
baru tentang pengurusan piutang negara.
b. Bagi masyarakat agar mengetahui proses pengurusan piutang negara
melalui PUPN dan DJPLN/KP2LN.
2. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis berupa
sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai eksekusi
Hak Tanggungan dan pengurusan piutang negara oleh PUPN/DJPLN.
12
D. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedang hukum adalah
kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang
digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif13. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro14, “penelitian hukum normatif
merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder”.
Demikian juga dengan penelitian ini karena mengkaji peraturan dalam hukum
positif, khususnya UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN dan UUHT,
maka pendekatannya adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif ini
dilakukan terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian untuk
menemukan hukum inconcreto dan sinkronisasi vertikal dan horizontal.
2. Spesifikasi Penelitian
Dilihat dari sudut sifatnya, dikenal adanya penelitian eksploratoris
(menjelajah), penelitian deskriptif dan penelitian eksplanatoris. Suatu
penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya15.
13 Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia
Publishing. halaman 240.
14 Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia
Indonesia.. halaman 11
15 Soerjono Soekanto. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-PRESS, halaman 9-10.
13
Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena penelitian
ini dilakukan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan
menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan proses pengurusan
piutang negara atau eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan setelah terjadi
kredit macet dan masalahnya ditangani oleh PUPN/DJPLN, keabsahan nota
kesepakatan kerjasama antara Bank Mandiri dengan DJPLN, Akibat hukum
yang timbul serta masukan untuk peraturan pelaksanaan eksekusi Hak
Tanggungan dan UU piutang negara yang baru dimasa mendatang. Disamping
itu juga akan mengelompokkan, menghubungkan, membandingkan dan
memaknai aspek-aspek yang berkaitan dengan objek penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Semarang, dengan pertimbangan bahwa
lembaga yang dijadikan sasaran untuk diteliti yaitu Kanwil V DJPLN
Semarang, KP2LN Semarang, Bank Pemerintah, Pengadilan Negeri dan
Advokat/Pengacara ada di kota Semarang. Pemilihan kota Semarang sebagai
tempat penelitian ini dilakukan mengingat akan keterbatasan biaya, waktu,
tenaga dan kemampuan dari peneliti, sehingga tidak seluruh wilayah penelitian
di kota Semarang diteliti tetapi akan diambil beberapa orang informen untuk
mewakili lembaga tersebut.
4. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpul data,
yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan
14
wawancara atau interview. Ketiga alat tersebut dapat dipergunakan masingmasing,
atau bersama-sama16.
Penelitian ini menggunakan studi pustaka atau dokumen dan wawancara.
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang meliputi:
a. Bahan-bahan hukum primer, yang terdiri atas:
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) UU No. 49 Prp. 1960 tentang PUPN;
3) UU No. 4 Tahun 1996 tentang UUHT;
4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
5) Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
300/KMK.01/2002 tentang pengurusan piutang negara;
6) Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 304/KMK/2002
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
7) Keputusan Menteri Keuangan R.I. Nomor :
445/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara;
8) Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara Nomor: KEP-25/PL/2002 tentang Petunjuk
Teknis Pengurusan Piutang Negara;
16 Soerjono Soekanto, Op.cit. halaman 21
15
9) Keputusan Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Pusat
Nomor: 03/PUPN/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Panitia Urusan Piutang Negara.
10) Berbagai peraturan yang menyangkut Hukum Acara
Perdata;
b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer17. Bahan
hukum sekunder ini terdiri dari : buku teks, Hasil penelitian,
Putusan Pengadilan, Majalah/Jurnal Hukum, Koran, pendapat para
sarjana, laporan yang terkait dengan pembahasan masalah di atas.
c. Bahan hukum tersier, adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, encycloedia, dan lainlain.
18
Untuk melengkapi data sekunder, maka diperlukan data primer
dengan menggunakan alat pengumpul data yaitu wawancara. Wawancara
dilakukan secara terarah dimana terdapat pengarahan atau struktur tertentu.
Sebelum wawancara dilakukan kepada informen sudah diajukan daftar
pertanyaan secara tertulis untuk diketahui guna memperlancar proses
wawancara pada waktu yang ditentukan.
17 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit. halaman 53.
18 Johnny Ibrahim, Op.cit. halaman 242.
16
Informen yang dipilih untuk diwawancarai ada 9 orang yaitu 1 orang Hakim
Pengadilan Negeri Semarang, 4 orang dari 4 Kantor Advokat/Pengacara,
Bank Pemerintah yaitu BTN dan BPD Jateng masing-masing 1 orang serta
Kanwil V DJPLN dan KP2LN Semarang masing-masing 1 orang.
5. Taknik Analisis Data
Bahan hukum yang sudah terkumpul dan disusun secara teratur,
kemudian dianalisis secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi. Analisis yang dilakukan dengan data kualitatif, ini akan
mendekripsikan proses eksekusi Hak Tanggungan oleh PUPN, sah tidaknya
nota kerjasama untuk melakukan ekskusi berdasar Pasal 6 UUHT oleh Bank
Mandiri dengan DJPLN, akibat hukum yang timbul dan adanya masukanmasukan
untuk menyusun peraturan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan
dan pembuatan UU Piutang Negara yang baru.
E. Kerangka Teoritis/Pemikiran
Di dalam Pasal 1 butir (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa :
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak”.
17
Secara umum dan sederhana, pemberian kredit berarti pemberian hutang, dan
hutang adalah sesuatu yang kelak harus dibayar kembali kepada yang telah
meminjamkannya19.
Bank di dalam memberikan kredit kepada debitor sebagai pemohon kredit
diharapkan untuk selalu memperhatikan faktor watak, modal, kemampuan,
jaminan dan kondisi ekonomi dari debitor sebagai pemohon kredit.
Hal ini dilakukan untuk menjaga kemungkinan risiko yang timbul dimana debitor
karena suatu hal tidak dapat membayar lagi hutangnya kepada bank sebagai
kreditor.
Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan Bank karena Bank
tidak mungkin menghindarkan adanya kredit bermasalah. Bank hanya berusaha
menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi
ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan20. Bank Indonesia
melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor: 31/147/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 memberikan penggolongan mengenai kualitas kredit
apakah kredit yang diberikan Bank termasuk performing loan (tidak bermasalah)
atau kredit bermasalah (non performing loan). Kualitas dapat digolongkan
sebagai berikut:
a. Lancar;
b. Dalam Perhatian Khusus;
c. Kurang lancar;
d. Diragukan, dan
19 H.M. Hazniel Harun. 1995. Aspek-Aspek Hukum Perdata Dalam Pemberian Kredit Perbankan.
Jakarta: IND HILL Co. halaman 3
20 Sutarno. Op.cit. halaman 263.
18
e. Macet21.
Suatu kredit bermasalah dikategorikan macet jika terdapat tunggakan pokok dan /
atau bunga yang telah melampui 270 hari (9 bulan lebih)22.
Kredit yang macet akan diselesaikan menurut jalur hukum sesuai
kesepakatan dalam perjanjian kredit, dan pada umumnya melalui Pengadilan
sebagai lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa. Namun untuk
kredit macet dari Bank Pemerintah ada lembaga khusus yang menanganinya
yaitu PUPN/DJPLN. Sedangkan untuk kredit macet dari Bank swasta
penyelesaiannya adalah melalui Pengadilan Negeri.
PUPN diberi kewenangan sesuai Pasal 4 ayat (1) UU No. 49 Prp. 1960 yang
menyebutkan bahwa: “Panitia Urusan Piutang Negara bertugas mengurus
piutang negara yang berdasarkan peraturan telah diserahkan pengurusannya
kepadanya oleh Pemerintah atau Badan-Badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8
Peraturan ini”. Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan piutang
negara atau hutang kepada negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang
wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau
tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau
sebab apapun”.
Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (1) disebutkan bahwa: “instansi-instansi
pemerintah dan badan-badan negara yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan
ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah
21 Ibid.
22 Ibid. halaman 264.
19
pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi
sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara”.
Menurut M. Yahya Harahap23 :
berdasarkan motivasi dan kewenangan PUPN, jangkauan fungsi dan
kewenangannya mengurus, menata, dan mengawasi piutang negara, berdiri
sendiri melaksanakan executoriale verkoop, seperti halnya kewenangan yang
dimiliki oleh Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR. Kewenangan
executoriale verkoop yang dimiliki PUPN bersifat “parate eksekusi”. PUPN
dapat melaksanakan sendiri eksekusi tanpa campur tangan Pengadilan
Negeri. Dalam bentuk “Surat Paksa”, PUPN berhak memerintahkan dan
melaksanakan sita eksekusi terhadap harta kekayaan debitor , serta sekaligus
berhak memerintahkan penjualan lelang harta debitor. Oleh karena itu,
segala tindakan dan perintah executoriale verkoop yang dilakukan dan
ditetapkan PUPN adalah sah; mengikat kepada semua pihak termasuk
kepada Pengadilan; dan Pengadilan Negeri (hakim) tidak berwenang
mencampuri (intervensi), apalagi membatalkannya, kecuali terhadapnya
diajukan derden verzet.
Munir Fuady juga mengemukakan bahwa eksekusi “Pernyataan Bersama”
PUPN yang dilakukan oleh BUPLN, asal pernyataan bersama itu mempunyai
irah-irah “ Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam hal
ini eksekusi dapat dilakukan langsung tanpa perlu campur tangan pengadilan
negeri, karena “Pernyataan bersama” tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial,
yakni dianggap berkekuatan sama dengan suatu keputusan pengadilan yang
sudah berkekuatan hukum tetap24. Lebih lanjut dikemukakan bahwa: karena
PUPN dimaksud sebagai pengganti pengadilan biasa, maka pengurusan piutang
negara, termasuk kredit macet di Bank Pemerintah, cukup dilaksanakan oleh
23 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 371-372.
24 Munir Fuady. 1999. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua. Bandung: Citra Aditya
Bakti. halaman 48-49
20
PUPN, bukan oleh pengadilan biasa. Termasuk juga eksekusi jaminan
hipotik/creditverband, atau pengakuan hutang yang berkekuatan grosse akta25.
Menurut M. Khoidin26, dalam menyelesaikan piutang negara tersebut, PUPN
bertindak sebagai penguasa yang melaksanakan wewenang berdasarkan hukum
publik.
Proses pengurusan piutang negara melalui PUPN memerlukan waktu karena
harus melalui beberapa tahap sebelum sampai ke pelelangan unum. Oleh karena
itu pihak bank mengeksekusi objek jaminan Hak Tanggungan berdasar Pasal 6
UUHT secara langsung dengan bekerjasama dengan DJPLN/KP2LN.
Mengenai eksekusi Hak Tanggungan ini menurut Mariam Darus Badrulzaman,
“sebenarnya secara teori dengan adanya kuasa khusus untuk menjual jaminan
seperti tercantum di dalam Sertifikat Hak Tanggungan, kreditor dapat langsung
mengeksekusi jaminan dengan meminta bantuan kantor lelang tanpa meminta
penetapan lelang eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi secara
praktek hal ini tidak dapat dilakukan”27.
Menurut Kashadi28, Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara
khusus eksekusi Hak Tanggungan belum ada. Yang ada sekarang adalah
peraturan eksekusi hypoteek dan credietverband. Ketentuan khusus mengenai
hypotek diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 RBg. Selama peraturan
khusus mengenai eksekusi Hak Tanggungan belum ada, untuk sementara
25 Ibid.
26 M. Khoidin. Op.cit. halaman 39
27 Mariam Darus Badrulzaman. 2004. Serial Hukum Perdata Buku II Kompilasi Hukum Jaminan.
Bandung: CV. Mandar Maju. halaman 103
28 Kashadi, 2000. Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. halaman 74-75.
21
digunakan ketentuan eksekusi hypotek, yang dikenal dengan parate eksekusi. Hal
ini dinyatakan dalam Pasal 26 UUHT.
Parate eksekusi merupakan pelaksanaan eksekusi yang langsung dapat
dilakukan tanpa perlu proses peradilan. Misalnya yang langsung dilaksanakan
oleh Kantor Lelang tanpa perlu menunggu perintah pengadilan setelah
sebelumnya dilakukan permintaan bayar (somasi) yang sebaiknya dilakukan
lewat pengadilan29.
Eksekusi jaminan Hak Tanggungan berdasar Pasal 6 UUHT oleh bank
dengan dibuatnya nota kesepakatan kerjasama dengan Direktorat Jenderal
Piutang dan Lelang Negara (DJPLN), maka eksekusinya tidak melalui jalur
PUPN lagi tapi langsung ke pelelangan umum melalui Kantor Pelayanan Piutang
dan Lelang Negara (KP2LN). Mestinya bila menggunakan UUHT, maka harus
ada fiat eksekusi dari Pengadilan, dan bila tidak maka prosesnya harus melalui
PUPN dengan menggunakan UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN.
Mengenai peraturan eksekusi Hak Tanggungan sudah ditegaskan dalam Pasal 26
UUHT ini ternyata dalam praktek banyak penafsiran yang menyamakan sertifikat
hipotik dengan grose akta hipotik yang perlu minta fiat eksekusi ke Pengadilan
Negeri. Sedangkan eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT tidak perlu minta fiat
Pengadilan tetapi langsung eksekusi atau lelang karena berdasar janji untuk
menjual sendiri bila debitor cedera janji.
Di dalam proses eksekusi jaminan Hak Tanggungan oleh PUPN/DJPLN
kemungkinan akibat hukum yang timbul adalah ketidakpuasan terhadap proses
29 Munir Fuady. 1999. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya Bakti.
halaman 48
22
eksekusi oleh PUPN/DJPLN. Keberatan ini hanya dapat diajukan ke Pengadilan
Negeri atau ke PTUN, karena di PUPN/DJPLN tidak mengatur cara penyelesaian
keberatan dari penanggung hutang. Demikian juga dengan surat pernyataan
bersama antara penanggung hutang dan PUPN, bilamana ada keberatan
penanggung hutang atau tidak mau ditandatangani Surat Pernyataan Bersama ini,
maka dapat ditetapkan secara sepihak oleh PUPN.
Seyogianya di dalam perundingan untuk mencapai pernyataan bersama akan
lebih tepat, jika ada pendamping pihak ketiga, sehingga perundingan ini dapat
ditafsirkan sebagai keputusan wasit atau akta damai, yang dalam hal tidak
dipenuhi dapat langsung dieksekusi30.
Menurut M. Khoidin, permasalahan yang timbul dalam praktek adalah meski
PUPN berwenang menjalankan eksekusi, namun perlawanan terhadap eksekusi
harus diajukan kepada Pengadilan Negeri31.
PUPN sepanjang menyangkut piutang negara termasuk bank pemerintah jelas
berhak untuk menyelesaikan atau mengeksekusi sesuai UU No. 49 Prp Tahun
1960 tentang PUPN. Pasal 11 UU No. 49 Tahun 1960, mengatakan bahwa Pasal
1, 3, 5 sampai dengan Pasal 23 UU No. 19 Tahun 1958 dilakukan terhadap
pengurusan piutang negara yang dimaksudkan dalam Pasal 8 dan Pasal 10 UU
No. 49 Prp. Tahun 1960. Hal ini berarti bahwa terhadap piutang ini diberi sifat
sebagai hutang pajak, demikian juga dengan pengurusannya32.
30 Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Alumni. halaman 158.
31 M. Koidun, Op.cit. halaman 41
32 Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Op.cit. halaman 152.
23
F. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini terdiri dari 4 (empat) bab, dimana ada keterkaitan antara
bab yang satu dengan yang lainnya. Sistematika penulisan tesis ini akan
dijabarkan sebagai berikut:
Bab I adalah Pendahuluan, berisi uraian mengenai latar belakang masalah yang
berkaitan dengan eksekusi Hak Tanggungan sebagai piutang negara dari
Perbankan oleh DJPLN, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metode penelitian, kerangka teori /pemikiran dan sistematika.
Bab II adalah Tinjauan Pustaka tentang Eksekusi Hak Tanggungan sebagai
Pelunasan Piutang Negara dari Perbankan oleh Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara (DJPLN). Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan
untuk menjawab permasalahan, yang terdiri dari 3 (tiga) sub bab. Sub bab A
tentang Hak Tanggungan pada umumnya, sub bab B tentang Eksekusi Hak
Tanggungan dari Piutang Bank Negara dan sub bab C menguraikan tentang
Eksekusi Hak Tanggungan/Pengurusan Piutang Negara melalui PUPN dan
DJPLN/KP2LN.
Bab III adalah Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ketiga ini terdiri dari 2
(dua) sub bab yakni sub bab A mengenai hasil penelitian dan sub bab B
mengenai analisis. Pada sub bab A ditampilkan hasil penelitian dari 4 (empat)
masalah yaitu pertama mengenai proses eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan
melalui PUPN, kedua mengenai sah atau tidaknya Nota Kesepakatan Kerjasama
antara Bank Mandiri dengan DJPLN untuk melakukan eksekusi berdasar Pasal 6
UUHT, ketiga mengenai akibat hukum yang timbul sebagai konsekuensi tugas
PUPN dan DJPLN/KP2LN dan keempat Peraturan Pelaksanaan Eksekusi Hak
24
Tanggungan dan UU PUPN dimasa mendatang. Kemudian pada sub bab B
merupakan Pembahasan terhadap hasil penelitian dari 4 (empat) masalah yang
dipaparkan pada sub bab A, yakni pembahasan mengenai proses eksekusi objek
jaminan Hak Tanggungan melalui PUPN, sah atau tidaknya Nota Kesepakatan
Kerjasama antara Bank Mandiri dengan DJPLN untuk melakkukan eksekusi
berdasar Pasal 6 UUHT, akibat hukum yang timbul sebagai konsekuensi tugas
PUPN dan DJPLN/KP2LN dan peraturan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan
dan UU PUPN dimasa yang akan datang.
Bab IV adalah Penutup yang merupakan bagian terakhir dari tesis ini, dimana
disajikan simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan juga diberikan saran
yang relevan dengan hasil penelitian dari substansi tesis ini.
25
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Tanggungan Pada Umumnya
1. Arti Pentingnya Jaminan
Ketentuan-ketentuan GBHN dan Repelita menghendaki dimungkinkannya
pemberian kredit secara luas untuk menunjang kemampuan perluasan industri,
perdagangan, investasi dan pembangunan pada umumnya. Disamping
pemberian kredit secara luas nampak adanya usaha untuk memberikan
perlindungan dan stimulasi bagi golongan ekonomi lemah, pengusaha kecil,
untuk mendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan kecil dalam lingkup
kebijaksanaan perkreditan.1.
Apa yang dikemukakan di atas merupakan kegiatan perekonomian yang
menurut Sri Redjeki Hartono2, kegiatan ekonomi pada umumnya dilakukan
oleh pelaku-pelaku ekonomi baik orang perorangan yang menjalankan
perusahaan atau badan-badan usaha baik yang mempunyai kedudukan sebagai
badan hukum atau bukan badan hukum. Kegiatan ekonomi pada hakekatnya
adalah kegiatan menjalankan perusahaan, yaitu suatu kegiatan yang
mnengandung pengertian bahwa kegiatan yang dimaksud harus dilakukan :
- secara terus-menerus dalam pengertian tdak terputus-putus.
- Secara terang-terangan dalam pengertian sah (bukan ilegal).
1Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1982. Himpunan Karya Tentang Hukum Jaminan. Yogyakarta:
Liberty. halaman 72.
2 Sri Redjeki Hartono. 2000. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Bandung: Mandar Maju. halaman 4.
26
- Dan kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan,
baik untuk diri sendiri atau orang lain.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, kegiatan-kegiatan dalam
berbagai bidang tersebut di muka yang akibatnya memerlukan fasilitas kredit
dalam usahanya, mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberian kredit tersebut
demi keamanan modal dan kepastian hukum bagi sipemberi modal. Disinilah
arti pentingnya lembaga jaminan3.
Keamanan modal dan kepastian hukum yang dimaksud disini adalah
menyangkut kepastian untuk mendapat pelunasan piutang dari eksekusi objek
jaminan.
Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses
pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak
lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan
yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi pihak yang
berkepentingan4. Pihak yang berkepentingan di sini terutama kreditor.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Ign. Ridwan Widyadharma
bahwa: bertambah dan meningkatnya pembangunan nasional, tentunya
memerlukan aturan-aturan hukum yang dapat mendukungnya. Jika bertitik
berat pada Bidang Ekonomi, maka tentunya dituntut tentang masalah
penyediaan dana yang cukup besar. Keterkaitan tentang pembangunan, bidang
ekonomi dan penyediaan dana ini diperlukan aturan hukum yang sepadan. Di
sinilah letak dan diharapkan keperanan dari Lembaga Hukum Jaminan dan
3 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. Op.cit. halaman 73.
4 Purwahid Patrik dan Kashadi. 2002. Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT. Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. halaman 49.
27
karena inilah lahir dan dibentuknya sebagai penopang pembangunan UU No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah, yang lasim disebut secara sederhana dengan Hak
Tanggungan5.
Pendapat diatas sudah menyebut dengan tegas UUHT sebagai lembaga
jaminan yang memberikan keamanan modal dan kepastian hukum.
2. Preferensi
Pada hakekatnya hak-hak jaminan kebendaan tidak mempunyai
kedudukan yang berdiri sendiri, melainkan selalu merupakan accessoire dari
suatu perikatan pokok. Walaupun hanya merupakan accesoire, hak-hak
jaminan kebendaan itu bagi yang berhak (kreditor) sangat berperan karena
memberikan preferensi (voorang, pendahuluan) dalam hal ia melakukan
verhaal atas benda-benda tertentu dari harta kekayaan debitor guna menutup
shulld si debitor kepadanya6. Ada kemungkinan seorang debitor mempunyai
utang pada beberapa kreditor, karena itu harus berpedoman pada Pasal 1132
KUH Perdata. Oleh karena itu menurut R. Subekti7, Pasal 1132 tersebut di atas
mengatakan bahwa ada kemungkinan Undang-undang memberikan kedudukan
istimewa atau privilege atau preferensi kepada kreditor-kreditor tertentu.
Kreditor-kreditor seperti itu didahulukan pembayarannya.
5 Ignarius Ridwan Widyadharma. 1996. Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda
yang berkaitan dengan tanah. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. halaman 1.
6 Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. halaman 4
7 R. Subekti. 1991. Jaminan-Jaminan Untuk Pembayaran Kredit Menurut Hukum Indonesia.
Bandung: Alumni. halaman 12
28
Hak-hak yang bersifat memberikan jaminan secara khusus diatur dalam Bab-
Bab XIX, XX, dan XXI dari Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata). Hak-hak mana adalah privilege, gadai dan hipotik8.
Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan yang mencabut sebagian
ketentuan hipotik, maka hak istimewa ini juga di atur.
Mengenai Hak Tanggungan ini Mochammad Djai’is9, mengemukakan
bahwa “menurut ketentuan Hukum Jaminan, suatu jaminan selalu merupakan
accessoire dari perjanjian pokok”. Hal demikian juga diatur dalam UUHT.
Dalam Pasal 1 butir 1 UUHT ditentukan antara lain bahwa “Hak Tanggungan
adalah hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu”. Jenis utang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan, diatur dalam Pasal 3 ayat (1), yaitu:
1. Utang yang telah ada; atau
2. Utang yang diperjanjikan dengan jumlah tertentu; atau
3. Utang yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan
dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian utang-piutang atau
perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang
bersangkutan.
Accesoire disini dimaksudkan sebagai perjanjian tambahan atau ikutan dari
perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok.
8 Purwahd Patrik dan Kashadi. Loc.cit. Bandingkan dengan pendapat R. Subekti. Loccit. yang
mengatakan bahwa Pasal 1133 menjelaskan tentang siapa-siapa yang oleh undang-undang diberikan
kedudukan istimewa itu, yaitu: orang-orang berpiutang yang mempunyai “hak istimewa”: orang-orang
pemegang Gadai; orang-orang pemegang Hipotik.
9 Mochammad Dja’is. 1997. “Peran Sifat Accesoire Hak Tanggungan Dalam Mengatasi Kredit
Macet”. Masalah-Masalah Hukum. Majalah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang.
Edisi Khusus Tahun XXV. halaman 54.
29
Berkaitan dengan preferensi dalam Hak Tanggungan, dikemukakan oleh
Purwahid Patrik dan Kashadi bahwa10 :
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan piutang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa apabila debitor
cidera janji (wanprestasi) maka kreditor pemegang Hak Tanggungan
berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan
diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi
piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku.
Maksudnya walaupun seseorang menjadi kreditor peringkat pertama (preferen)
harus menyelesaikan lebih dahulu piutang negara bila ada, termasuk yang
diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata dan Pasal 1149 KUH Perdata.
3. Pengertian dan Ciri-Ciri Hak Tanggungan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang
yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan
atas pinjaman yang diterima11. Istilah yang sering dipakai adalah agunan.
Pengertian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 angka (1) UUHT
yang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan :
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
10 Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. halaman 53-54.
11 H. Salim HS. 2005. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. halaman 95.
30
Selain pengertian Hak Tanggungan dalam UUHT, Budi Harsono
mengartikan Hak Tanggungan adalah12 :
“Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditor untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan
untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk
menjualnya jika debitor cedera janji dan mengambil dari hasilnya
seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitor
kepadanya”.
Definisi yang dikemukakan Budi Harsono ini menekankan pada
penguasaan hak atas tanah oleh kreditor sebagai agunan yang secara fisik
tetap dikuasai pemiliknya, namun baru dijual lelang bila debitor cedera janji.
Mengenai pengertian Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT di
atas, latar belakangnya diuraikan dalam Penjelasan Umum angka 6 :
Hak Tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya
adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun
kenyataannya seringkali terdapat adanya benda-benda berupa bangunan,
tanaman dan hasil karya, yang secara tetap merupakan kesatuan dengan
tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Hukum Tanah Nasional
didasarkan kepada Hukum Adat yang menggunakan asas pemisahan
horizontal. Dalam rangka asas pemisahan horizontal, benda-benda yang
merupakan kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan
bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan
hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi
benda-benda tersebut.
Namun demikian penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak,
melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan
12 Pendapat Budi Harsono yang dikutip H. Salim HS. halaman 97. Bandingkan dengan pendapat dari
M. Khoidin. 2005. dalam bukunya Dimensi Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah. halaman 73-74
yang mengutip pendapat Sutan Remi Syahdeni bahwa Penggunaan istilah hak “tanggungan” bagi
lembaga jaminan atas tanah hingga saat ini masih dipersoalkan oleh beberapa ahli hukum. Kata
“tanggungan” sebenarnya merupakan istilah yang lazim dipakai di dunia perasuransian. Kata
“tangungan” sering dipakai sebagai sinonim dari kata “asuransi”, sehingga muncul istilah
“penanggung” artinya asuradur dan “tertanggung” yaitu pihak yang diasuransikan atau ditanggung.
Menurut M. Khoidin, karena itulah dunia perasuransian pernah “menggugat” penggunaan kata
“tanggungan” bagi lembaga jaminan atas tanah dalam UU No. 4 /1996. Gugatan itu sah-sah saja
karena kata “pertangungan” sudah menjadi trade mark dunia asuransi, sehingga sebaiknya tidak
digunakan oleh kalangan selain perasuransian. Dengan digunakannya kata “tanggungan” untuk
menamai lembaga jaminan atas tanah, berarti kata tersebut mempunyai makna ganda, yaitu sebagai
hak jaminan (atas tanah) dan sebagai asuransi.
31
perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang
dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka
asas pemisahan horizontal tersebut, dalam undang-undang ini
dinyatakan bahwa, pembebanan Hak Tanggungan atas tanah,
dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud di
atas. Hal tersebut sudah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam
praktek, sepanjang benda-benda tersebut merupakan suatu kesatuan
dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaan dijadikan jaminan,
dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang ikut dijadikan
jaminan itu tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki
pihak lain.
Sedangkan bangunan yang menggunakan ruang bawah tanah yang
secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang berada di
atas permukaan bumi di atasnya, tidak termasuk dalam pengaturan
ketentuan mengenai Hak Tanggungan menurut undang-undang ini.
Oleh sebab itu undang-undang ini diberi judul: “Undang-Undang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan
Tanah, dan dapat disebut Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT),
yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Dari uraian dan paparan di atas, dapatlah dikemukakan ciri Hak
Tanggungan. Ciri Hak Tanggungan adalah13 :
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.
2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu
berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek Hak
Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditor
pemegang Hak Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui
pelelangan umum jika debitor cedera janji;
13 H. Salim HS, Op.cit. halaman 98.
32
3. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
dan
4. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditor
dalam pelaksanaan eksekusi.
Ciri-ciri di atas selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio
bahwa14 : ciri-ciri Hak Tanggungan bisa kita lihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang-
Undang Hak Tanggungan, suatu pasal yang hendak memberikan perumusan
tentang Hak Tanggungan yang antara lain menyebutkan ciri:
- hak jaminan;
- atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
kesatuan dengan tanah yang bersangkutan;
- untuk pelunasan suatu hutang;
- memberikan kedudukan yang diutamakan.
Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka ciri
yang ditampilkan berbeda dasar pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1
UUHT sedangkan yang sama hanyalah mengenai kedudukan yang diutamakan.
4. Asas-asas Hak Tanggungan
Mengenai asas-asas Hak Tanggungan banyak pakar yang memberikan
pendapat.
14 J. Satrio. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
halaman 278.
33
Asas-asas dari Hak Tanggungan ini meliputi asas publisitas, asas spesialitas dan
asas tidak dapat dibagi-bagi.
Asas publisitas ini dapat diketahui dari Pasal 13 ayat (1) UUHT yang
menegaskan bahwa : “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada
kantor pertanahan”. Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak
untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan
tersebut terhadap pihak ketiga.
Asas spesialitas ini dapat diketahui dari Penjelasan Pasal 11 ayat (1) yang
menyatakan bahwa : “ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk
sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Tidak dicantumkannya
secara lengkap hal-hal yang disebut dalam APHT mengakibatkan akta yang
bersangkutan batal demi hukum”. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi
asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik mengenai subjek, objek maupun
utang yang dijamin.
Asas tidak dapat dibagi-bagi ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1), bahwa Hak
Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan
dalam APHT sebagaimana dimaksud pada ayat (2)15.
Selain tiga asas yang diketengahkan di atas, H. Salim HS, juga mengemukakan
asas-asas sebagai berikut16:
1. mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang Hak
Tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
2. tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996);
3. hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
15 Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. halaman 55.
16 H. Salim HS. Op.cit. halaman 102-103
34
4. dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996);
5. dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru
akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996. Dengan syarat diperjanjikan secara tegas;
6. sifat perjanjian adalah tambahan (accesoir) (Pasal 10 ayat (1), Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
7. dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1))
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
8. dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996);
9. mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996);
10. tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;
11. hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
12. wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
13. pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
14. dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;
Mengenai sita yang disebutkan di atas tetap dilaksanakan sesuai prosedur di
Pengadilan Negeri.
5. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
5.1. Objek Hak Tanggungan
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang,
tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut17 :
1. dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
2. termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus
memenuhi syarat publisitas;
17 Ibid.. halaman 104
35
3. mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor
cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka
umum; dan
4. memerlukan penunjukan oleh undang-undang.
Berkaitan dengan syarat di atas, Purwahid Patrik dan Kashadi18
mengemukakan bahwa yang dijadikan objek dari hak tanggungan meliputi:
1.Yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) :
a. Hak Milik ;
b. Hak Guna Usaha ;
c. Hak Guna Bangunan
2.Yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) :
Hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar, menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
3.Yang disebutkan dalam Pasal 27 :
a. Rumah susun yang berdiri di atas tanah hak milik, hak guna
bangunan, dan hak pakai yang diberikan oleh negara ;
b. Hak milik atas satuan rumah susun, yang bangunannya berdiri di
atas tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai yang
diberikan oleh negara.
Selain objek Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan di atas, Ignatius
Ridwan Widyadharma juga menambahkan bahwa19 :
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman dan hasil karyanya yang telah ada atau akan ada
18 Patrik dan Kashadi. Op.cit. halaman 61.
19 Ignatius Ridwan Widyadharma. Op.cit. halaman 10
36
dan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut (Pasal 4
ayat (4) UUHT).
Kemungkinan dalam kenyataan, ada bangunan, tanaman dan hasil
karya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut di
atas tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak
Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu
olehnya dengan akta autentik (Pasal 4 ayat (5) UUHT).
Jadi objek Hak Tanggungan dapat meliputi tanah dan bangunan di atasnya
serta tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada.
Objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak
tanggungan, sehingga akan terjadi peringkat Hak Tanggungan.
Hal ini dipertegas dalam Pasal 5 UUHT :
(1) Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu
Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang.
(2) Apabila suatu objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak
Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan
menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahannya.
(3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama
ditentukan menurut tanggal pembuatan APHT yang bersangkutan.
5. 2. Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan subjek dalam hal ini adalah pemberi Hak
Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan20. Subjek di sini dapat berarti
orang pribadi atau badan hukum.
Seperti setiap perjanjian yang lain, dalam perjanjian pemberian hak
tanggungan ada 2 (dua) pihak yang saling berhadapan, yaitu kreditor, yang
setelah pemberian Hak Tanggungan akan disebut pemegang Hak
Tanggungan dan pihak pemberi Hak Tanggungan, yang bisa debitor sendiri
20 Kashadi. 2000. Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. halaman 27.
37
atau pihak- ketiga, sehingga mereka akan disebut debitor pemberi Hak
Tanggungan atau pihak-ketiga pemberi Hak Tanggungan21.
Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9
UUHT. Dalam kedua pasal itu ditentukan bahwa yang dapat menjadi
subjek hukum dalam pembebanan Hak Tanggungan adalah pemberi Hak
Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan
dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Pemegang
Hak Tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang
berkedudukan sebagai pihak berpiutang. Biasanya dalam praktek pemberi
Hak Tanggungan disebut dengan debitor, yaitu orang yang meminjam
uang di lembaga perbankan, sedangkan penerima Hak Tanggungan
disebut dengan istilah kreditor, yaitu orang atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak berpiutang22.
Dalam Pasal 8 UUHT disebutkan bahwa “pemberi Hak Tanggungan adalah
orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan”.
Pemberi Hak Tanggungan bisa debitor sendiri, bisa pihak lain dan bisa juga
debitor bersama pihak lain. Pihak lain tersebut bisa pemegang hak atas
tanah yang dijadikan jaminan namun juga bisa pemilik bangunan, tanaman
dan /atau hasil karya yang ikut dibebani Hak Tanggungan23. Keterlibatan
21 J. Satrio. 2002 Op.cit. hlaman 286.
22 H. Salim HS. Op.cit. halaman 103-104.
23 Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. halaman 63
38
pihak lain sebagai pemberi Hak Tanggungan karena dibutuhkan debitor dan
sudah ada kesepakatannya tersendiri.
Dalam Pasal 9 UUHT dinyatakan bahwa : “Pemegang Hak Tanggungan
adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai
pihak yang berpiutang”.
6. Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Proses pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 UUHT.
Pasal 10 mengatur tata cara pemberian Hak Tanggungan secara langsung,
sedangkan Pasal 15 mengatur tentang pemberian kuasa pembebanan hak
tangungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada penerima kuasa.
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap
kegiatan, yaitu :
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya APHT oleh PPAT,
yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin ;
2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat
lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan24.
Perjanjian utang piutang sebagai tahap yang mendasari tahap pemberian Hak
Tanggungan dapat dibuat secara notariil atau dibawah tangan.
6.1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Dalam Pasal 10 UUHT ditentukan bahwa : “Pemberian Hak Tanggungan
didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan
pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian
24 Kashadi. Op.cit. halaman 31-32
39
tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau
perjanjian yang menimbulkan utang tersebut”.
Menurut H. Salim HS25, prosedur pemberian Hak Tanggungan, dengan cara
langsung disajikan berikut ini:
a. Didahului janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan
pelunasan utang tertentu, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
perjanjian utang piutang.
b. Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
oleh PPAT sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
c. Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi
hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi belum
dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan
permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.
Mariam Darus Badrulzaman26 juga mengemukakan bahwa, bentuk perbuatan
hukum dari perjanjian pemberian Hak Tanggungan ini adalah Akte
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat PPAT (Pasal 10 ayat (2) jo.
Pasal 17 UUHT. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak
atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang
bentuk aktanya ditetapkan sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
Dalam kedudukannya sebagai yang disebutkan di atas, maka akta-akta yang
25 H. Salim HS. Op.cit. halaman 146
26 Mariam Darus Badrulzaman. 2004. Serial Hukum Perdata Buku II Kompilasi Hukum Jaminan.
Bandung: Mandar Maju. halaman 62
40
dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik27. Dikatakan otentik karena dibuat
oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
Dalam pemberian Hak Tanggungan di hadapan PPAT, wajib dihadiri oleh
pemberi Hak Tanggungan dan penerima Hak Tanggungan dan disaksikan
oleh dua orang saksi. Jika tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat
yang wajib bertindak sebagai saksi adalah Kepala Desa dan seorang anggota
pemerintahan dari desa yang bersangkutan. (Pasal 25 PP. 10 Tahun 1961)28.
Kepala Desa dan anggota pemerintahan desa dianggap lebih mengetahui
riwayat tanah tersebut. Dengan demikian, PPAT wajib menolak permintaan
untuk membuat APHT jika tanah yang bersangkutan diketahui masih dalam
perselisihan / sengketa.
Mengenai isi dari APHT diatur dalam Pasal 11 UUHT yang
menyebutkan bahwa :
(1) Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan :
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
b. domisili para pihak, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili
di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili
pilihan di Indonesia, dan apabila di dalam APHT domisili pilihan itu
tidak dicantumkan kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap
sebagai domisili yang dipilih.
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 Ayat (1).
d. nilai tanggungan
e. uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
(2) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji,
antara lain :
27 Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. halaman 65
28 Ibid. halaman 65-66
41
a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di
muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari
pemegang Hak Tanggungan.
b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali
dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan.
c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan Ketua Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi
letak objek Hak Tanggungan apabila debitor betul-betul cidera janji.
d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal
itu diperlukan untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya
hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau
dilanggarnya ketentuan undang-undang.
e. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila
debitor cidera janji.
f. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa
objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.
g. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya
atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu
dari pemegang Hak Tanggungan..
h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan
untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan
dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut
haknya untuk kepentingan umum.
i. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak
Tanggungan diasuransikan.
j. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek
Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
k. Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (4).
Berkaitan dengan isi APHT sebagaimana tersebut di atas, menurut Mariam
Darus Badrulzaman29, UUHT menentukan isi APHT dalam tiga jenis yaitu:
isi wajib, isi fakultatif dan isi dilarang.
29 Mariam Darus Badrulzaman. 2004. Op.cit. halaman 69-70
42
(1) Isi Wajib
Jika isi wajib ini tidak dicantumkan selengkap-lengkapnya maka APHT
ini batal demi hukum. Ketentuan ini berkaitan dengan asas spesialitas dari
Hak Tanggungan, yaitu mengenai subyek, objek, dan utang yang dijamin
(Pasal 11 ayat (1) UUHT dan Penjelasannya).
(2) Isi fakultatif
Isi fakultatif ini tidak bersifat limitative, tetapi enumeratif dan tidak
mempunyai pengaruh terhadap sahnya akte. Pihak-pihak bebas
menentukan apakah isi tersebut dicantumkan atau tidak di dalam APHT
janji-janji yang dimuat itu dan kemudian APHT nya didaftarkan pada
Kantor Pertanahan, memperoleh sifat kebendaan dan mengikat pihak
ketiga (Pasal 11 ayat (2) UUHT dan penjelasannya).
(3) Janji yang dilarang
Pasal 12 UUHT mengatakan sebagai berikut:
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal
demi hukum.
Janji yang dilarang ini merupakan pengecualian terhadap janji-janji yang
dapat dimuat dalam APHT.
6.2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Dalam Pasal 13 UUHT ditegaskan bahwa :
(1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor Pertanahan.
(2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan akte
pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2), PPAT wajib mengirimkan akte pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan dan Warkah lain yang di perlukan kepada kantor
Pertanahan.
(3) Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimanan dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh kantor pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak
Tanggungan dan mencatatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang
menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada
sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
(4) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) adalah tanggal hari ketujuh penerimaan secara lengkap surat-surat
yang diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh itu jatuh pada
hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja
berikutnya.
43
(5) Hak Tanggungan lahir pada tanggal buku-tanah Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Kemudian di dalam Pasal 14 UUHT disebutkan bahwa:
(1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan
menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimanan dimaksud pada ayat (1)
memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
(3) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku
sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas
tanah.
(4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah
dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimanan
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan.
(5) Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak
Tanggungan.
Tahap pendaftaran dibuktikan dengan diterbitkannya sertifikat Hak
Tanggungan yang memuat irah-rah seperti disebutkan dalam Pasal 14 ayat
(2) UUHT.
Jadi irah-irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan
dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada Sertifikat
Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji (wanprestasi) siap
untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan
menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum
Acara Perdata30.
30 Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. halaman 67-68
44
Parate eksekusi adalah eksekusi penjualan secara langsung melalui
pelelangan umum tanpa melalui pengadilan sedangkan Peraturan Hukum
Acara perdata yang dimaksud adalah HIR/RBg.
7. Eksekusi Hak Tanggungan
Adapun yang disebut dengan eksekusi Hak Tanggungan adalah jika
debitor cidera janji maka objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan
umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil
seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak
mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain31.
Syarat dan cara eksekusi dikemukakan oleh Ignatius Ridwan Widyadharma32,
bahwa apabila debitor cidera janji dapat ditempuh eksekusi Hak Tanggungan
lewat dua kemungkinan yaitu :
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut.
b. Titel eksekutorialnya yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pendapat di atas didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT
selengkapnya Pasal 20 menegaskan :
(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
31 Ibid. halaman 85
32 Ignatius Ridwan Widyadharma. Op.cit. halaman 54
45
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak
Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan
piutang pemegang Hak Tanggungan dengan mendahulu daripada
kreditor-kreditor lainnya ;
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan
objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan
demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
semua pihak ;
(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh pemberi dan atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihakpihak
yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2
(dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau
media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan ;
(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara
yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
batal demi hukum ;
(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan
utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya
eksekusi yang telah dikeluarkan.
Adanya janji untuk menjual sendiri di atur dalam Pasal 6 UUHT yang
menentukan bahwa :
apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut.
Penjelasan Pasal 6 UUHT menyatakan :
Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri,
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang
dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak
Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak
46
Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh
pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang
Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui
pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak
Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil
penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
Hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan haknya
berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut
adalah hak yang semata-mata diberikan oleh undang-undang. Walau
demikian tidaklah berarti hak tersebut demi hukum ada, melainkan harus
diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta Pembebanan Hak
Tanggungan atas hak atas tanah33.
Kalau hak ini tidak diperjanjikan dalam APHT, maka eksekusinya tidak dapat
dilaksanakan berdasar Pasal 6 UUHT.
Menurut J. Satrio34, bahwa yang namanya “menjual atas kekuasaan sendiri”
adalah parate eksekusi. Pada lembaga hipotik, hak kreditor untuk menjual
objek hipotik di depan umum atas dasar parate eksekusi, didasarkan atas
Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata, yang menimbulkan banyak polemik,
sehubungan dengan redaksi Pasal 1178 ayat (2), yang mendasarkan kepada
kuasa mutlak yang diberikan oleh pemberi hipotik kepada pemegang hipotik.
Kuasa mutlak di sini adalah kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh
pemberi kuasanya.
Harap diingat, bahwa hak parate eksekusi yang diberikan dalam Pasal 6
UUHT, sama seperti juga yang diperjanjikan melalui Pasal 1178 ayat (2)
33 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan.
Jakarta: Prenada Media. halaman 248
34 J. Satrio. Op.cit. halaman 285
47
KUH Perdata, adalah kewenangan yang bersyarat, yaitu hak tersebut baru ada
kalau debitor sudah wanprestasi35.
Debitor wanprestasi kalau sudah dinyatakan lalai dalam memenuhi
kewajibannya sesuai perjanjian yang dibuktikan dengan adanya surat somasi
dari kreditor.
Lembaga parate eksekusi eks Pasal 1178 (2) K.U.H. Perdata dalam praktek
sering mengalami hambatan. Hal ini karena dimandulkan oleh lembaga
peradilan. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30
Januari 1984 menyatakan, parate eksekusi yang dilakukan tanpa meminta
persetujuan pengadilan negeri meski didasarkan pada Pasal 1178 (2) K.U.H.
Perdata merupakan perbuatan melawan hukum dan lelang yang dilakukan
adalah batal. Putusan MA tersebut menjungkirbalikkan lembaga parate
eksekusi yang sejak awal dimaksudkan untuk memudahkan kreditor
memenuhi piutangnya manakala debitor wanprestasi36.
Dengan adanya putusan MA No. 3210 K/Pdt/1984 ini, maka Kantor lelang
Negara (KP2LN) tidak berani melakukan pelelangan umum sampai sebelum
keluarnya UUHT.
Mengenai titel eksekutorial yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (2)
dipertegas dalam ayat (3) UUHT, selengkapnya kedua ayat tersebut
menyatakan :
(2) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
(3) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusna pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai
pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan bahkan
ditegaskan bahwa Sertifikat Hak Tanggungan adalah Grosse Akta
35 Ibid. halaman 286.
36 M. Khoidin. 2005. Dimensi Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
halaman 85.
48
Hypotheek37. Disamakannya sertifikat Hak Tanggungan dengan Grosse Akta
Hypotheek, karena eksekusi Hak Tanggungan didasarkan pada Pasal 224
HIR/258 RBg. yang mengatur eksekusi Grosse Akta Hypotheek.
Mengenai eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, di dalam Pasal 26 UUHT
ditentukan bahwa :
Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan
memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi
hypotheek yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku
terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
Dalam bagian penjelasan Pasal 26 UUHT disebutkan bahwa:
Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada
dalam pasal ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224
Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941- 44) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah
Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de
Gewesten Buiten Java en Madura, Staatsblad 1927-227)
Ketentuan dalam Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse acte
hypotheek yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hypotheek, dalam
hal Hak Tanggungan adalah sertipikat Hak Tanggungan. Adapun yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara
khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus
mengenai eksekusi hypotheek atas tanah yang disebut di atas.
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 9, ketentuan
peralihan dalam pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa
peralihan tersebut, ketentuan hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi
Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertipikat Hak Tanggungan sebagai
dasar pelaksanaannya.
Ketentuan Pasal 6 merupakan eksekusi parate yang menunjuk lansung ke
pelelangan umum sedangkan Pasal 14 ayat (2) jo. Pasal 26 UUHT mengatur
titel eksekutorial melalui Pengadilan Negeri dan bila ada kesepakatan dari
para pihak, penjualan di bawah tangan dapat dilakaukan sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT.
37 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja. Op.cit. halaman 253.
49
B. Eksekusi Hak Tanggungan dari Piutang Bank Negara
1. Jenis Piutang Negara
Dalam Kamus Hukum, piutang diartikan sebagai uang yang dipinjamkan
atau utang yang dapat ditagih dari orang atau lainnya atau tagihan perusahaan
yang berupa uang kepada para pelanggan yang diharapkan dalam waktu paling
lama satu tahun sudah dapat dilunasi38. Piutang timbul karena adanya
perjanjian utang piutang atau dapat timbul sebagai akibat dari adanya suatu
tuntutan perbuatan melawan hukum. Pihak yang mempunyai piutang ini dapat
saja orang pribadi atau badan (swasta atau negara) yang bergerak dalam suatu
bidang usaha tertentu.
Khusus piutang yang berasal dari badan negara diatur secara khusus
dalam UU No. 49 Prp. 1960 tentang PUPN. Di dalam Pasal 8 Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tanggal 14 Desember 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara disebutkan bahwa :
“yang dimaksud dengan piutang Negara atau hutang kepada Negara
ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau
Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian
atau sebab apapun”.
Dari pengertian tersebut di atas, maka piutang negara dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis yaitu piutang negara perbankan dan piutang negara non
perbankan.
a. Piutang Negara Perbankan :
38 Sudarsono. 2005. Kamus Hukum Edisi Baru..Jakarta: Rineka Cipta. halaman 363
50
Piutang negara perbankan yaitu kredit macet bank-bank
pemerintah39. Mengenai proses terjadi piutang negara perbankan
dijelaskan oleh Sutarno bahwa Piutang Negara perbankan yaitu Bank-
Bank yang dimiliki Pemerintah pusat contohnya BRI, BTN, BNI 46 dan
BANK MANDIRI dan Bank-Bank yang dimiliki Pemerintah daerah seperti
Bank Pembangunan Daerah (BPD-BPD). Bank-Bank inilah yang
memberikan kredit atau pinjaman (Kreditor) kepada orang atau badan
(Debitor). Bank-Bank dalam memberikan kredit berdasarkan perjanjian
kredit, pengikatan jaminan dan dokumen-dokumen perjanjian lainnya.
Apabila kredit yang diberikan kepada Debitor mengalami kemacetan
dan Bank telah berusaha sendiri melakukan penagihan tetapi tidak
berhasil maka Bank sebagai Kreditor yang memiliki piutang/tagihan
kepada Debitor tersebut dikategorikan sebagai piutang Negara. Sebagai
piutang Negara Bank dalam melakukan penagihan piutangnya dapat
menyerahkan kepada DJPLN40. Penyerahan kepada PUPN/DJPLN ini
merupakan keharusan sesuai UU PUPN. Demikian halnya dengan
adanya kredit sindikasi, jika Bank-Bank Pemerintah atau Bank
Pembangunan Daerah dalam memberikan pinjaman kredit melakukan
sindikasi dengan beberapa Bank swasta maka jika kredit sindikasi
tersebut macet maka kredit tersebut dapat digolongkan sebagai piutang
Negara, sehingga Kreditor sindikasi dalam melakukan penagihan dapat
39 Kanwil V DJPLN dan KP2LN Semarang. Brosur tentang Prosedur Pelayanan Piutang Negara
40 Sutarno. 2004. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung: Alfabeta. halaman 394
51
menyerahkan pengurusannya kepada DJPLN41. Hal ini tentu untuk
mempercepat kembalinya piutang negara tersebut.
b. Piutang Negara non Perbankan
Piutang Negara non perbankan berupa tagihan dari lembaga atau
instansi atau badan pemerintah pusat dan daerah selain bank seperti
tagihan macet Telkom, PLN, Tuntutan Ganti Rugi, dll.42.
Proses terjadinya piutang negara non perbankan yakni Lembaga
atau instansi atau badan non Bank tersebut sebagai Kreditor yang
memiliki piutang/tagihan kepada orang atau badan dan orang atau badan
tersebut tidak mengembalikan pinjaman atau tidak membayar jasanya
maka tagihan lembaga atau badan non Bank dikategorikan sebagai
piutang Negara. Sebagai piutang Negara lembaga atau badan tersebut
dapat menyerahkan pengurusan piutangnya kepada DJPLN. Bukti
adanya dan besarnya hutang pasti berdasarkan suatu perjanjian hutang,
piutang dagang, kwitansi tagihan dan lain-lain43. Jasa dimaksud seperti
penggunaan telephon atau listrik.
2. Piutang Negara dari Perbankan
2.1. Adanya Perjanjian Kredit Bank
2.1.1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit
2.1.1.1. Pengertian kredit
41 Ibid .
42 Kanwil V DJPLN dan KP2LN Semarang. Loc.cit.
43 Sutarno. Op.cit. halaman 395
52
Kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi “credere” artinya
percaya44. Artinya pemberi pinjaman (kreditor) percaya bahwa penerima
pinjaman (debitor) dapat dipercaya kemampuannya untuk memenuhi
perikatannya. Demikian pula dengan bank selaku pemberi pinjaman
(pemberi kredit) dalam memberikan pinjamannya berdasarkan rasa
percaya (kepercayaan), sehingga seseorang yang memperoleh kredit
adalah seseorang yang mendapatkan suatu kepercayaan dari pihak bank,
bahwa pada suatu waktu yang telah ditentukan ia mampu untuk
mengembalikannya kepada pihak bank45. Kepercayaan ini ada bila
dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pihak Bank.
Penggunaan istilah kredit juga diatur di dalam UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang dalam
Pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa :
kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.
Dari pengertian di atas, unsur-unsur yang terdapat dalam kredit dapat
digolongkan menjadi46 :
a. Kepercayaan, yaitu: adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi
yang diberikannya kepada nasabah debitor yang akan dilunasinya
sesuai jangka waktu yang diperjanjikan;
44 Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Perjanjian kredit Bank. Bandung: Alumni. halaman 21
45 H.M. Hazniel Harun. 1995. Aspek-Aspek Hukum Perdata Dalam Pemberian Kredit Perbankan.
Jakarta: IND-HILL-CO. halaman 3
46 Johannes Ibrahim. 2004. Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif. Bandung: CV
Utomo. halaman 92
53
b. Waktu, yaitu: adanya jangka waktu tertentu antara pemberian kredit
dan pelunasannya di mana jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih
dahulu telah disepakati bersama antara pihak bank dan nasabah
debitor;
c. Prestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan kontra prestasi
pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan perjanjian
pemberian kredit antara bank dan nasabah debitor berupa uang dan
bunga atau imbalan;
d. Risiko, yaitu adanya risiko yang mungkin terjadi selama jangka waktu
antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk
mengamankan pemberian dan menutup kemungkinan terjadinya
wanprestasi dari nasabah debitor, maka diadakan pengikatan jaminan
atau agunan.
Unsur-unsur kredit seperti di atas tertuju pada ruang lingkup kredit
dalam kerangka yang lebih sempit tetapi unsur tersebut merupakan unsur
yang asasi. Sedangkan apabila kredit dalam sektor perbankan yang lebih
luas lagi terutama dari pelaksanaan perkreditan itu sendiri, maka unsurunsurnya
paling tidak di dalamnya juga meliputi : organisasi dan
manajemen perkreditan, dokumen dan administrasi kredit, perjanjian
kredit, agunan penyelesaian kredit macet, dan unsur lainnya47. Pendapat
ini ini menunjukkan bahwa masih ada unsur-unsur lainnya dalam
pengertian kredit secara luas.
2.1.1.2 Perjanjian Kredit
Dalam praktek perbankan menunjukkan bahwa seseorang yang
bermaksud untuk mendapatkan kredit bank, memulai langkahnya dengan
mengajukan permohonan kredit. Untuk itu biasanya bank telah
menyediakan formulir tertentu yang harus diisi oleh pemohon kredit yang
47 Muhamad Djumhana. 2003. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
halaman 371
54
bersangkutan48. Permohonan dapat diajukan secara lisan atau tertulis, dan
untuk itu pihak bank menyampaikan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Setelah syarat-syarat yang berkenaan dengan permohonan kredit tersebut
dipenuhi, maka bank yang dalam hal ini bagian analisa kredit akan
melakukan penilaian apakah permohonan kredit itu dapat diteruskan
diajukan kepada Direksi atau tidak. Apabila menurut penilaian
permohonan dapat diteruskan kepada Direksi, maka permohonan kredit
ini kemudian dimintakan persetujuan Direksi dan dalam hal-hal tertentu
juga dengan persetujuan Komisaris. Dalam hal permohonan kredit
tersebut disetujui, maka dilakukanlah penandatanganan persetujuan
pemberian kredit tersebut dalam bentuk “PERJANJIAN KREDIT”49.
Tandatangan ini perlu sebagai bukti adanya perjanjian tersebut.
Perjanjian kredit merupakan salah satu bagian yang sangat strategis
dalam kehidupan Perbankan. Karena perjanjian kredit merupakan media
atau perantara pihak dalam keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan
dana surplus of funds dengan pihak-pihak yang kekurangan dan
memerlukan dana Lack of Funds. Kenyataan yang nyata Perjanjian Kredit
merupakan pelayanan nyata dari Bank dalam kehidupan serta
pengembangan perekonomian50. Perjanjian kredit di sini adalah media
atau sarana untuk terjadinya aliran dana dari kreditor kepada debitor.
48 H.M. Hazniel Harun. Op.cit. hal. 5
49 Ibid. halaman 5-6.
50 Ignatius Ridwan Widyadharma. 1997. Hukum Sekitar Perjanjian Kredit. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. halaman 1
55
Menurut A. Aris Swantoro51, Perjanjian kredit yang dibuat bank atau
lembaga keuangan lain adalah perjanjian tertulis, nasabah yang ingin
meminjam harus mempunyai jaminan atas hutangnya. Dasar hukum
diperlukan jaminan ini dapat dilihat dalam Pasal 8 UU No. 10 tahun 1998
ayat (1) :
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan
kemampuan serta kesanggupan debitor untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan.
Agunan merupakan syarat dalam pemberian kredit untuk mengurangi
kemungkinan risiko yang terjadi.
2.1.2. Perjanjian Pendahuluan dan Perjanjian Standart
Suatu Perjanjian kredit mengacu kepada ketentuan perjanjian pinjam
meminjam seperti diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang menentukan
bahwa:
perjanjian pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak
yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis karena pemakaian dengan syarat bahwa
pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
dari macam dan keadaan yang sama pula.
Perjanjian tersebut di atas merupakan perjanjian pinjam mengganti.
Menurut Feltz, seperti dikutip Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian
pinjam mengganti adalah suatu perjanjian riil. Perjanjian ini baru terjadi
setelah ada penyerahan (overgave). Selama benda (uang) yang
51 A. Aris Swantoro. “Pelaksanaan asas itikad baik nasabah dalam perjanjian kredit”. Majalah Gloria
Juris, Volume 5, Nomor 2, Mei - Agustus 2005. halaman 94
56
diperjanjikan belum diserahkan maka Bab XIII KUH Perdata belum dapat
diterapkan52.
Berdasar pendapat Feltz di atas, apabila dua pihak telah mufakat
mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti, maka
tidak berarti bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti itu telah terjadi.
Yang terjadi baru hanya perjanjian “untuk” mengadakan perjanjian pinjam
mengganti (overenkomst tot het aangaan van een overenkomst van
verbtuiklenig). Apabila uang “diserahkan” kepada pihak peminjam, lahirlah
perjanjian pinjam mengganti dalam pengertian Undang-undang menurut
Bab XII Buku III KUH Perdata53.
Oleh karena itu menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian
kredit bank adalah “perjanjian pendahuluan” (voorovereenkomst) dari
penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil
permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubunganhubungan
hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta
de contrahendo) obligatoir, yang dikuasai oleh UUP 1967 dan Bagian
Umum KUH Perdata.
“Penyerahan uangnya” sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan
uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model
perjanjian kredit pada kedua pihak.
Di dalam praktek, istilah kredit juga dipergunakan untuk penyerahan uang,
sehingga jika kita mempergunakan kata-kata kredit, istilah itu meliputi baik
52Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Op.cit. halaman 24.
53 Ibid.
57
perjanjian kreditnya yang bersifat konsensuil maupun penyerahan uangnya
yang bersifat riil54.
Ketentuan UUP 1967 yang dimaksud di atas tidak berlaku lagi sehingga
dengan sendirinya yang berlakunya UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Praktek perbankan menunjukkan bahwa setiap bank menyediakan
formulir perjanjian kredit, yang isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu.
Kepada pihak-pihak yang mengajukan permohonan kredit dimintakan
pendapatnya, apakah ia setuju dan dapat menerima syarat-syarat yang telah
ditentukan tersebut. Apabila pemohon kredit menyetujui persayaratan
tersebut, maka permohonan kredit dapat dipertimbangkan lebih lanjut.
Rangkaian peristiwa tersebut di atas menunjukkan kepada kita, bahwa
bentuk perjanjian kredit bank telah berkembang menjadi perjanjian
standart. Hal ini terpaksa dilakukannya, karena kebutuhan akan dana kredit,
memaksanya untuk menerima saja persyaratan perjanjian kredit itu55.
Formulir perjanjian kredit inilah yang dimaksud dengan perjanjian standar.
2.1.3. Bentuk Perjanjian Kredit dan Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat berbentuk tertulis
atau lisan namun pada umumnya bentuk tertulis yang dipilih untuk
menjamin kepastian hukum.
54 Ibid. halaman 28
55 H.M. Hazniel. Op.cit. halaman 6
58
Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagaimana dikemukakan berikut ini56:
1. Perjanjian dibawah tangan ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan saja. Perjanjian semacam itu hanya mengikat para
pihak dalam perjanjian tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat
pihak ketiga.
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan
para pihak.
3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk
akta notariel.
Ketiga bentuk perjanjian di atas mempunyai kekuatan pembuktian yang
tidak sama dan khusus akta notariil mempunyai kekuatan pembuktian yang
kuat, karena dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu.
Dalam kaitan dengan perjanjian kredit dikemukakan oleh Muhamad
Djumhana bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara
pihak kreditor dan debitor maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit
(akad kredit) secara tertulis. Dalam praktek perbankan bentuk dan format
dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang
bersangkutan namun demikian ada hal-hal yang tetap harus dipedomani
yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak
jelas57. Rumusannya harus jelas agar tidak menimbulkan salah tafsir
dikemudian hari.
56 Salim H.S. 2004. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
halaman 33
57 Muhamad Djumhana. Op.cit. halaman 385
59
Oleh karena itu dalam setiap pembuatan perjanjian harus memenuhi
syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang
menyebutkan bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi
empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat
tersebut mengenai subyek perjanjian. Sedangkan syarat terakhir disebut
syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian58. Syarat subjektif dan
objektif dari perjanjian ini mempunyai konsekwensi bila ada salah satu
syarat yang tidak dipenuhi.
Menurut Purwahid Patrik59, apabila syarat subjektif tersebut di atas tidak
dipenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila
syarat objektif tersebut di atas tidak dipenuhi maka perjanjian adalah batal
demi hukum.
Suatu Perjanjian dapat dibatalkan atau tidak tergantung pada pihak lain
yang ikut membuat dan menandatangani perjanjian tersebut, sedangkan bila
objek perjanjian ini ternyata bertentangan dengan UU, ketertiban umum
dan kesusilaan yang berlaku maka perjanjian itu dengan sendirinya batal
demi hukum.
58 Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni. halaman 23-24
59 Purwahid Patrik. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan
dari Undang-Undang). Bandung: Mandar Maju. halaman 65.
60
2.1.4. Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Kredit
Hubungan antara bank dan nasabah diatur dalam hukum perjanjian.
Ini berarti, para pihak, dalam hal ini bank sebagai suatu badan usaha dan
nasabah baik perorangan maupun badan usaha mempunyai hak dan
kewajiban60. Hak dan kewajiban tersebut sebagaimana diuraikan berikut.
2.1.4.1. Pemberi Kredit
Di dalam UUP 1967 secara tegas ditentukan pemberi kredit adalah
Bank61. Di dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undangundang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kembali ditegaskan
hal yang sama di dalam Pasal 1 angka 2 dan 11.
Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa: Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Mengenai kewajiban bank di dalam Pasal 1759 KUH Perdata
disebutkan bahwa:
Orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang
telah dipinjamkannya, sebelum lewat waktu yang ditentukan
dalam persetujuan.
Pasal 1760 menyebutkan bahwa :
Jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, Hakim berkuasa apabila
orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya,
menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si
peminjam.
60 Sentosa Sembiring. 2000. Hukum Perbankan. Bandung: Mandar Maju. halaman 62
61 Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Op.cit. halaman 57
61
Satu-satunya kewajiban bank ialah menyediakan kredit selama jangka
waktu yang ditentukan, itupun masih digantungkan pada berbagai syarat
yaitu jika penerima kredit memenuhi kewajiban-kewajibannya62.
Dengan demikian, maka posisi pemberi kredit (bank) lebih kuat
dibandingkan dengan penerima kredit. Ketentuan-ketentuan yang
mengatur hak bank lebih menonjol daripada yang mengatur tentang
kewajiban bank63. Hal ini disebabkan bank sebagai pemberi dana dapat
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kepentingannya.
Kewajiban Bank menurut Sembiring Sentosa, antara lain:
menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati sebaliknya bank dan mengembalikan agunan dalam hal
kredit telah lunas.
Sebaliknya bank berhak untuk antara lain : mendapatkan provisi
terhadap layanan jasa yang diberikan kepada nasabah dan melelang
agunan dalam hal nasabah tidak mampu melunasi kredit yang diberikan
kepadanya sesuai dengan akad kredit yang telah ditandatangani kedua
belah pihak64 Pelelangan agunan hanya dilakukan melalui pelelangan
umum namun dapat dapat dijual sendiri bila ada kesepakatan di antara
Debitor dan kreditor.
2.1.4.2. Penerima Kredit
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, di dalam Bab XIII Buku III
KUH Perdata tidak diberikan rumus tentang penerima pinjaman. Siapa
62 Ibid. halaman 77
63 Ibid.
64 Sentosa Sembiring. Opcit. halaman 63-64.
62
saja dapat menjadi penerima pinjaman. Oleh karena itu dikemukakan
bahwa penerima kredit adalah siapa saja yang mendapat kredit dari
bank dan wajib mengembalikannya setelah jangka waktu yang
tertentu65. Dikemukakan lebih lanjut bahwa penerima kredit (debitor)
berhak untuk menerima uang pinjaman sesuai dengan perjanjian kredit.
Namun penerima kredit (debitor) ini berkewajiban untuk
mengembalikan pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan
pada waktu yang ditentukan (Ps. 1763 KUH Perdata). Disamping itu
masih terdapat berbagai-bagai kewajiban dari penerima kredit sebagai
berikut:
- kewajiban administrasi;
- kewajiban untuk tunduk kepada segala petunjuk dan
peraturan bank66.
Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Sentosa
Sembiring bahwa, kewajiban nasabah adalah antara lain : mengisi dan
menandatangani formulir yang telah disediakan oleh bank, sesuai
dengan layanan jasa yang diinginkan oleh calon nasabah, melengkapi
persyaratan yang ditentukan oleh bank dan membayar provisi yang
ditentukan oleh bank. Sedangkan sebaliknya nasabah berhak untuk
antara lain: mendapatkan agunan kembali, bila kredit yang dipinjam
telah lunas dan mendapat sisa uang pelelangan dalam hal agunan
dijual untuk melunasi kredit yang tidak terbayar67
65 Mariam Darus Badrulzaman. Op.cit. halaman 70.
66 Ibid. halaman 77-78.
67 Sentosa Sembiring. Op.cit. halaman 64
63
Bila dibandingkan kedua pendapat di atas, persamaannya adalah
menyangkut kewajiban administrasi dimana menurut Sentosa
Sembiring adalah mengisi dan menandatangani formulir dari bank dan
pelunasannya, sedangkan perbedaannya adalah pada hak dimana
menurut Sentosa Sembiring nasabah berhak mendapat kembali
agunannya bila utangnya sudah lunas atau sisa dari hasil pelelangan
agunan, sedangkan Mariam Darus Badrulzaman tidak menyebutnya.
2.1.5. Debitor Wanprestasi dan akibat hukumnya
Sering terjadi bahwa suatu perjanjian yang sudah disepakati bersama
oleh para pihak yang membuatnya, tidak dipenuhi prestasinya sebagaimana
mestinya oleh salah satu pihak, atau terjadi wanprestasi (ingkar janji). Pada
umumnya yang melakukan wanprestasi atau ingkar janji adalah debitor.
Bentuk-bentuk dari wanprestasi adalah68 :
1. Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2. Debitor terlambat dalam memenuhi prestasi;
3. Debitor berprestasi tidak sebagaimana mestinya.
Wanprestasi biasanya terjadi pada salah satu atau dua bentuk di atas.
Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perikatan ialah
kreditor dapat meminta ganti rugi atas biaya rugi dan bunga yang
dideritanya69. Tuntutan ini timbul sebagai pelaksanaan hak dan kewajiban
dalam perjanjian yang berdasar pada Pasal 1243 KUH Perdata.
68 Purwahid Patrik. Op.cit. halaman 11.
69 Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni. halaman 10.
64
Adanya kewajiban ganti rugi bagi debitor, maka Undang-undang
menentukan bahwa debitor harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam
keadaan lalai (ingebreke stelling)70. Pihak kreditor umumnya sudah
membuat peringatan (somasi) agar debitor memenuhi kewajibannya namun
tetap dilalaikannya sehingga diambil langkah hukum lebih lanjut.
2.2. Kredit Bermasalah
Setiap bank menghadapi masalah kredit bermasalah, bank tanpa
kredit bermasalah merupakan hal yang aneh (kecuali bagi bank-bank baru
tentunya). Membicarakan kredit bermasalah, sesungguhnya membicarakan
risiko yang terkandung dalam setiap pemberian kredit, dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa bank tidak mungkin terhindar dari kredit
bermasalah. Kredit yang bermasalah merupakan penyebab kesulitan
terhadap bank itu sendiri, yaitu berupa kesulitan terutama yang menyangkut
tingkat kesehatan bank, karenanya bank wajib menghindarkan diri dari
kredit bermasalah71. Hal yang sama dikemukakan oleh Sutarno, bahwa
kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan Bank karena Bank
tidak mungkin menghindarkan adanya kredit bermasalah. Bank hanya
berusaha menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar
70 Ibid. halaman 11. Bandingkan dengan pendapat R. Subekti. 1989 dalam bukunya Pokok-Pokok
Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. halaman 147 yang mengemukakan bahwa Si berpiutang dapat
memilih antara berbagai kemungkinan. Pertama, ia dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun
pelaksanaan ini sudah terlambat. Kedua, ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian
yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak
sebagaimana mestinya. Ketiga, ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian
kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian. Keempat, dalam
hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak
kepada pihak yang lain untuk pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan
penggantian kerugian.
71 Muhamad Djumhana. Op.cit. halaman 426
65
tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan72.
Dengan demikian kredit bermasalah sudah merupakan risiko di dalam
kegiatan bank.
2.2.1. Penggolongan Kredit Bermasalah
Menurut Muhamad Djumhana istilah penggolongan kredit
bermasalah merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan
penggolongan kolektibilitas kredit yang menggambarkan kualitas dari
kredit itu sendiri73. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengaturan
penggolongan kolektibilitas kredit terdapat dalam Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 23/68/KEP/DIR tentang Penggolongan
Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktiva.
Peraturan tersebut telah beberapa kali diubah, yaitu dengan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29
Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif, dan terakhir dengan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari
1998 tentang Kualitas Aktiva Produkrif74.
Penggolongan kualitas kredit, menurut Pasal 4 Surat Keputusan
Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR, adalah sebagai
berikut:
a. Lancar (pass), yaitu apabila memenuhi kriteria:
72 Sutarno. Op.cit. Halaman 263
73 Muhamad Djumhana. Op.cit. Halaman 427.
74 Ibid.
66
• pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat,
dan
• memiliki mutasi rekening yang aktif atau
• bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai
(cash collateral).
b. Dalam perhatian khusus (special mention), yaitu apabila memenuhi
kriteria:
• terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga
yang belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari;
atau
• kadang-kadang terjadi cerukan; atau
• mutasi rekening relatif rendah; atau
• jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang
diperpanjangkan ; atau
• didukung oleh pinjaman baru.
c. Kurang Lancar (substandard), yaitu apabila memenuhi kriteria:
• terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga
yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari, atau
• sering terjadi cerukan, atau
• terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang
diperjanjikan lebih dari 90 (sembilan puluh) hari,
atau
• terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi
debitor; atau
• dokumentasi pinjaman yang lemah.
d. Diragukan (doubtful), yaitu apabila memenuhi kriteria:
• terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga
yang telah melampui 180 (seratus delapan puluh)
hari; atau
• terjadi cerukan yang bersifat permanen; atau
• terjadi wanprestasi lebih dari 180 (seratus delapan
puluh) hari; atau
• terjadi kapitalisasi bunga; atau
• dokumen hukum yang lemah baik untuk perjanjian
kredit maupun pengikatan jaminan.
e. Kredit Macet.
• terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga
yang telah melampui 270 (dua ratus tujuh puluh)
hari; atau
• kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru;
atau
67
• dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak
dapat dicairkan pada nilai wajar.
2.2.2. Sebab-sebab Terjadinya Kredit macet
Ditinjau dari KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan ‘macet’
adalah tidak memenuhi kewajiban dalam suatu perjanjian, dalam hal ini
perjanjian kredit75. Faktor penyebab terjadinya kredit macet, menurut
Ignatius Ridwan Widyadharma76 dapat dibedakan antara faktor internal dan
eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang
terdapat di dalam tubuh Bank sendiri, misalnya:
- Analisa yang tidak tepat.
- Pengaruh dari pemilik Bank dalam keputusan kredit.
- Kualitas manajemen bank.
Selain dari faktor tersebut di atas, bank sebelum menyetujui pemberian
kredit, harus menilai debitor dengan menggunakan The Five C’s of Credit
Analisis, sebagai berikut:
- Character.
- Capacity.
- Collateral, dan
- Condition.
Sedangkan faktor ekseternal sendiri adalah :
a. Lembaga jaminan yang ideal, yaitu berupa hipotik (=Hak
Tanggungan) dan credit verband (=Hak Tanggungan).
75 Mariam Darus Badrlzaman. 1994.Op.cit. halaman 107.
76 Ignatius Ridwan Widyadharma. 1997.Op.cit. halaman. 56-57
68
b. Syarat-syarat syahnya perjanjian kredit
c. Standart contract serta permasalahannya.
Selain pendapat di atas, RMJ. Kosmargono yang mengutip pendapat
Adbul Rachman, mengemukakan bahwa beberapa unsur yang terlibat
dalam kredit yang dapat menyebabkan timbulnya kredit macet yaitu77:
1) Bank selaku pemberi kredit (kreditor) :
a) Kreditor melakukan analisis kredit tidak lengkap;
b) Kreditor kurang mempunyai kemampuan teknis;
c) Kreditor lemah dalam melakukan penolakan;
d) Kreditor lemah dalam melakukan pengawasan;
e) Kreditor terlalu mengandalkan jaminan/agunan;
f) Kreditor menaikkan nilai agunan;
g) Informasi yang diperoleh Kreditor kurang lengkap;
h) Kreditor berkolusi dengan nasabah/debitor;
i) Kreditor terpaksa memberi kredit karena ada surat sakti;
j) Kreditor terlambat memberi kredit.
2) Nasabah selaku penerima kredit (debitor) :
a) Debitor memalsukan catatan dan pembukuan;
b) Debitor memalsukan agunan (agunan fiktif);
c) Debitor melarikan diri;
d) Debitor memalsukan surat resmi;
e) Debitor menjual barang jaminan;
f) Debitor memperoleh surat sakti;
g) Debitor gagal dalam menagih piutangnya;
h) Debitor memiliki perencanaan yang lemah;
i) Debitor kacau dalam pengurusan keuangan
pribadi/erusahaan;
j) Debitor mengalami gagal usaha;
k) Debitor memiliki kapasitas produksi yang rendah;
l) Debitor melakukan usaha pembelian yang tidak relevan
dengan utang pokok;
m) Debitor melakukan kolusi dengan kreditor dan lain-lain.
3) Pemerintah selaku penguasa moneter dan pembuat kebijaksanaan:
a) Pemogokan yang dilakukan pekerja;
b) Devaluadi/perubahan kurs;
c) Perubahan peraturan/kebijaksanaan pemerintah;
77 RMJ. Kosmargono. 2001. “Penjualan Lelang oleh Balai Lelang Swasta Untuk Mengatasi Kredit
Bermasalah” (Tesis). Semarang: MIH UNDIP. halaman 63-65
69
d) Laju inflasi yang terlalu tinggi;
e) Pemerintah melakukan kenaikan harga BBM/energi
lainnya;
f) Kondisi umum perekonomian dunia yang mengalami
resesi berkepanjangan.
4) Pihak ketiga yang sebetulnya tidak perlu diperhitungkan, namun
kenyataan sering sebagai unsur penentu, karena posissi dan
wewenang yang dimilikinya, seperti pejabat yang memiliki
“kekuatan” untuk menekan para petugas bank untuk mengambil
suatu keputusan. Misalnya pejabat yang mengeluarkan surat sakti.
Dari kedua pendapat di atas, persamaannya adalah pada faktor internal
dan eksternal yang oleh Abdul Rachman lebih dirinci pada angka 1 dan 2,
sedangkan perbedaannya adalah pada angka ke 3 yaitu pemerintah
maupun angka ke 4 yaitu pihak ketiga yang tidak disebut oleh Ign.
Ridwan Widyadharma.
3. Upaya Penyelamatan dan Penyelesaian Piutang Negara dari Perbankan
3.1. Penyelamatan melalui restrukturisasi
Dalam kaitan dengan piutang negara, maka menurut Sutarno yang
dimaksud dengan istilah penyelamatan adalah suatu langkah penyelesaian
kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara Kreditor dan Debitor
dengan memperingan syarat-syarat pengembalian kredit sehingga dengan
memperingan syarat-syarat pengembalian kredit tersebut diharapkan Debitor
memiliki kemampuan kembali untuk menyelesaikan kredit itu78.
Dikemukakan lebih lanjut bahwa tahap penyelamatan kredit ini belum
memanfaatkan lembaga hukum karena debitor masih kooperatif dan dari
prospek usaha masih feasible. Penyelesaian kredit melalui tahap
78 Sutarno. Op.cit. hal. 265-266
70
penyelamatan kredit ini dinamakan penyelesaian melalui restrukturisasi
kredit79.
Seperti halnya dengan ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
dan ketentuan tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP), ketentuan restrukturisasi kredit inipun dikeluarkan pada
tanggal 12 November 1998, dengan Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor:
31/150/KEP/DIR. Surat Keputusan ini kemudian diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor : 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000. Perubahan
mana hanya dalam satu pasal, yaitu Pasal 12 ayat (1) huruf b.
Dalam Pasal 1 huruf c Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor
31/150/KEP/DIR tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
restrukturisasi kredit adalah upaya yang dilakukan Bank dalam usaha
perkreditan agar Debitor dapat memenuhi kewajibannya yang dilakukan
antara lain melalui80: 1. Penurunan suku bunga kredit; 2. Pengurangan
tunggakan bunga kredit; 3. Pengurangan tunggakan pokok kredit; 4.
Perpanjangan jangka waktu kredit; 5. Penambahan fasilitas kredit; 6.
Pengambilan aset debitor sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 7. Konversi
kredit menjadi penyertaan modal sementara pada persusahaan debitor.
Hal ini tentu memerlukan suatu penelitian terlebih dahulu terhadap usaha dari
Debitor tersebut, agar dapat diambil langkah yang tepat dalam restrukturisasi.
79 Ibid. halaman 266
80 H.R. Daeng Naja. 2005. Hukum Kredit dan Bank Garansi The bankers Hand Book. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti. halaman 316 bandingkan dengan Sutarno. Op.cit. halaman 267-294 langkah tepat
dalam restrukturisasi yaitu penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan
tunggakan pokok kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, penambahan fasilitas kredit, pengambil
alihan agunan/asset kredit, jaminan debitor dibeli oleh Bank, konversi kredit menjadi modal sementara
dan pemilikan saham, alih manajemen, pengambilalihan pengelolaan proyek, novasi (pembaharuan
hutang), subrograsi, cessie, debitor menjual sendiri barang jaminan, bank menjual barang-barang
jaminan dibawah tangan berdasar surat kuasa, penghapusantang, cegah tangkal (cekal) debitor macet.
71
3.2. Penyelesaian melalui lembaga-lembaga hukum
Penyelesaian kredit adalah langkah penyelesaian kredit melalui
lembaga hukum seperti Pengadilan atau Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara atau Badan lainnya dikarenakan langkah penyelamatan sudah
tidak dimungkinkan kembali. Tujuan penyelesaian kredit melalui lembaga
hukum ini adalah untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan81. Benda
jaminan dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang sudah
dijaminkan sejak awal atau baru di sita eksekusi untuk dijual lelang oleh
lembaga yang berwenang.
Selain penyelesaian melalui tindakan secara administratif terhadap kredit
yang sudah pada tahap kualitas macet, maka penanganannya lebih banyak
ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian
kelembagaan hukum, yaitu di antaranya :
a. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara dan
Badan Urusan Piutang Negara;
b. Melalui Badan Peradilan;
c. Melalui Arbitrase atau Badan Alternatif
Penyelesaian Sengketa82.
Penyelesaian melalui Painitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara yang sekarang menjadi Direktorat Jenderal Piutang
dan Lelang Negara (DJPLN) hanya khusus untuk menangani piutang-piutang
negara.
81 Ibid. halaman 266
82 Muhamad Djumhana. Opcit. halaman 433
72
Penyelesaian melalui Badan Peradilan ini bersifat umum artinya setiap perkara
yang diajukan ke Pengadilan harus diselesaikan.
Penyelesaian melalui arbitrase dan penyelesaian sengketa ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 10 disebitkan bahwa
alternatif penyelesaian sengketa dalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli.
4. Eksekusi Hak Tanggungan melalui Pengadilan Negeri
4.1. Pengertian Eksekusi
Istilah eksekusi sering dipergunakan secara umum untuk
menyelesaikan suatu masalah hukum. Masalah hukum itu dapat timbul dalam
bidang hukum perdata, pidana dan tata usaha negara. Oleh karena itu
pengertian eksekusi akan ditinjau dari ketiga bidang hukum tersebut yang
masih merupakan paham lama dan perkembangan yang baru.
4.1.1. Pengertian eksekusi dalam bidang Hukum Perdata
73
Menurut Wirjono Prodjodikoro, istilah executie diterjemahkan
dalam arti menjalankan putusan hakim83. Pendapat yang sama juga
diikuti oleh M. Yahya Harahap yang mengutip pendapat yang
dipergunakan oleh R. Subekti. Beliau mengalihkannya dengan istilah
“pelaksanaan” putusan. Begitu pula Retnowulan Sutantio
mengalihkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan”
putusan. Pendapat kedua penulis tersebut, dapat dijadikan sebagai
perbandingan. Bahkan, hampir semua penulis telah membakukan istilah
“pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi (executi)84.
Berdasar pembakuan istilah tersebut, R. Subekti85 memberikan
definisi eksekusi sebagai berikut:
Eksekusi atau Pelaksanaan putusan sudah mengandung arti bahwa
pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela,
sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan
“kekuatan umum”. Dengan “kekuatan umum:” ini dimaksudkan
polisi, kalau perlu militer (angkatan bersenjata)
Dari definisi eksekusi di atas, dapat disimpulkan adanya beberapa unsur
sebagaimana dikemukakan oleh Mochammad Dja’is86, yaitu :
a. pelaksanaan secara paksa;
b. objek pelaksanaan adalah putusan hakim;
c. pihak yang dikalahkan tidak mau secara sukarela memenuhi
kewajibannya;
83 Wirdjono Prodjodikoro. 1961. Hukum Atjara Perdata. Bandung: Sumur. halaman 102
84 M. Yahya Harahap. 2005. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Edisi Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika. halaman 6
85 R. Subekti. 1977. Hukum Acara Perdata. Bandung: Binacipta. halaman 128
86 Mochammad Dja’is. 2004. Pikiran Dasar Hukum Eksekusi. Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro. halaman 12
74
d. dengan bantuan kekuatan umum.
Bantuan kekuatan umum yang dimaksud adalah untuk menjamin
pelaksanaan putusan hakim dalam keadaan apapun di lapangan untuk
mengatasi kemungkinan hambatan yang muncul dari pihak yang
dieksekusi.
Selain definisi di atas, Sudikno Mertokusumo juga memberikan
definisi eksekusi sebagai berikut87 :
Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain
ialah realisasi dari pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk
memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.
Definisi dari Sudikno Mertokusumo ini cukup singkat dan bila
dibandingkan dengan definisi dari R. Subekti, maka unsur yang sama
hanyalah objek pelaksanaan yaitu putusan hakim, realisasi (paksa) dan
kewajiban sedangkan perbedaannya terletak pada unsur keempat yaitu
dengan bantuan kekuatan umum tidak ada dalam definisi Sudikno.
Pengertian eksekusi yang dikemukakan di atas oleh para sarjana
hukum masih didasarkan kepada putusan hakim sebagaimana diatur
dalam HIR/RBg. Padahal, di luar HIR/RBg, ada juga ketentuan yang
mengatur eksekusi seperti KUH Perdata, UU No. 49 Prp. Tahun 1960
tentang PUPN, SK Menkeu tentang Pengurusan Piutang Negara, BPPN,
Perum Pegadaian, UUHT dan UUJF.
Namun dalam uraian selanjutnya di antara Subekti dan Sudikno
Mertokusumo terdapat perbedaan. Menurut Subekti, objek eksekusi
87 Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. halaman 240
75
terbatas pada putusan hakim, sehingga prosedur eksekusinya pada
eksekusi yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, baik yang bersumber
pada HIR dan maupun praktek (yang mengacu pada ketentuan dalam Rv)
meliputi eksekusi langsung (terdiri dari eksekusi membayar sejumlah
uang, eksekusi melakukan perbuatan dan eksekusi riil) serta eksekusi
tidak langsung (dwangsom dan gijzeling). Sedangkan menurut Sudikno
Mertokusumo, dari jenis eksekusi dan apa saja yang dapat dieksekusi
diketahui bahwa objek eksekusi tidak hanya putusan hakim yang
menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang, eksekusi
melakukan perbuatan dan eksekusi riil, melainkan meliputi juga eksekusi
penjualan lelang (Ps. 200 ayat 11 HIR, Ps. 218 ayat 2 RBg), parate
eksekusi (Ps. 1155, 1178 ayat 2 BW) dan salinan atau grosse akta hipotik
dan akta notariil yang memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” (Ps. 440 Rv. 224 HIR,258 RBg)88.
Dari uraian Sudikno di atas, ada perkembangan dimana objek
eksekusi tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan sebagai bagian
dari Hukum Acara Perdata, tetapi ada juga ketentuan lain seperti dalam
BW dan giizeling yang sekarang diganti dengan liftdwang, ada juga
gadai.
Akibat dari pola pikir eksekusi sebagai bagian Hukum Acara perdata
adalah terjadinya ketidak konsistenan antara rumusan definisi eksekusi
dengan substansi eksekusi89.
88 Mochammad Dja’is. 2004. Op.cit. halaman 14
89 Ibid. halaman 15
76
Berbeda dengan kedua penulis di atas, Soepomo berpendapat bahwa90 :
Hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh
alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk
menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia
memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan.
Pendapat Soepomo di atas tidak secara langsung memberi definisi
eksekusi, tapi definisi tentang hukum eksekusi yang masih juga menyebut
putusan hakim. Bila dibandingkan dengan pendapat Subekti, maka
menurut Soepomo unsur-unsur eksekusi meliputi tenggang waktu yang
ditentukan.
4.1.2. Pengertian eksekusi dalam bidang Hukum Pidana
Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah “menjalankan putusan
Hukum”, sedangkan Ign. Ridwan Widyadharma memakai istilah
“pelaksanaan putusan pengadilan” dan Haris menggunakan istilah
executie. Ketiga penulis tersebut tidak memberikan definisi tentang
eksekusi91. Demikian juga di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP dalam Bab XIX digunakan istilah pelaksanaan putusan
pengadilan tanpa memberikan definisi.
Padahal dalam perkembangan ada juga eksekusi terhadap barang
bukti narkotika dan psikotropika, dimana selama proses penyidikan polisi
diberi wewenang untuk memusnahkan barang bukti tanpa menunggu
90 Soepomo. 1989. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : Pradnya Paramita. halaman
119
91 Mochammad Dja’is. 2004. Op.Cit. halaman 16
77
putusan in kracht van gewisjde (Pasal 62 UUN dan Pasal 53 Ayat (2)
butir UU Ps).
4.1. 3. Pengertian eksekusi dalam bidang Hukum Tata Usaha Negara
Dalam Bab IV Bagian kelima UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN
istilah eksekusi diartikan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam
Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN ditentukan bahwa hanya
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat
dilaksanakan.
Di luar putusan pengadilan, ada juga eksekusi pencabutan izin, dimana
dalam hal-hal tertentu instansi pemberi izin suatu kegiatan/usaha dapat
memberi teguran bahkan mencabut izin operasi dari yang diberi izin bila
dianggap melanggar ketentuan yang berlaku.
Menurut Paulus Efendi Lotulung, ada dua jenis eksekusi pada
peradilan tata usaha Negara, yaitu92:
a. eksekusi otomatis, dan
b. eksekusi hirarkis.
Eksekusi otomatis, yaitu eksekusi terhadap putusan yang mengandung
kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (9) butir a, yaitu
kewajiban mencabut keputusan tata usaha Negara (beschikking) yang
disengketakan (Pasal 116 ayat (2) UU PTUN). Sedangkan eksekusi
hirarki diatur dalam Pasal 97 ayat (9) butir b dan c UU PTUN, yang
berupa pencabutan keputusan tata usaha Negara (beschikking) dalam hal
92 Ibid.
78
gugatan didasarkan pada Pasal 3 UUPTUN demikian diatur dalam Pasal
116 ayat (3) – (6) UUPTUN.
UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN telah dirubah dengan UU No. 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang
PTUN. Salah satu Pasal yang ikut dirubah adalah Pasal 116 ayat (1)
hingga ayat (5). Namun pada intinya tidak berubah bahkan hampir sama
seperti ayat (2) dan ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986.
Dalam bidang administrasi ini dikenal salah satu sanksi yang disebut
Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang). Paksaan Pemerintahan
(bestuurdwang) adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh organ
pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan,
mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula
apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan
dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan93.
Dari pengertian paksaan pemerintahan di atas, terkandung adanya makna
suatu eksekusi. Pada umumnya digunakan istilah tindakan paksa namun
dalam pengertian di atas digunakan istilah tindakan nyata yang
mempunyai makna yang hampir sama. Sebagai contoh tindakan nyata
adalah tindakan aparat satpol pamong praja yang menangkapi
gelandangan/pengemis di suatu tempat atau tindakan mengahalang-halangi
masyarakat pendemo yang akan memasuki suatu kantor pemerintahan atau
tindakan memindahkan secara paksa atau mengosongkan suatu lokasi.
93 Ridwan, HR. 2003. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. halaman 237
79
4.1.4. Pengertian eksekusi menurut Hukum Eksekusi
Perkembangan pengertian eksekusi di atas merupakan paham yang
lama yang melihat eksekusi sebagai pelaksanaan putusan dan ternyata
dalam praktek ada perkembangannya yang tidak bisa dipertahankan
terus pengertian lama tersebut. Oleh karena itu muncul paham baru yang
melihat eksekusi dari sisi hokum eksekusi yang dikemukakan oleh
Mochammad Dja’is. Menurut Hukum Eksekusi, istilah eksekusi
mengadung makna sebagai suatu upaya paksa untuk merealisasi hak
dan/atau sanksi94.
Pengertian di atas sudah dapat mencakup pengertian eksekusi dalam arti
pelaksanaan putusan maupun perjanjian-perjanjian dengan menggunakan
upaya paksa oleh lembaga yang berwenang untuk itu.
Berdasar pengertian di atas, unsur-unsur yang dapat ditarik adalah
upaya paksa, untuk merealisasi, hak, atau sanksi.
Mochammad Dja’is95 menguraikan unsur-unsur tersebut sebagai berikut.
Upaya paksa; unsur ini mengandung makna bahwa dalam eksekusi selalu
terkandung unsur paksaan atau kekerasan menurut hukum.
Untuk merealisasi; hal ini berarti tujuan eksekusi adalah untuk merealisasi
hak atau sanksi.
Hak; Hak di sini diartikan sebagai kewenangan yang dimiliki seseorang
yang mewajibkan orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
terhadap dirinya. Pengertian hak di sini dibatasi pada hak menurut hukum
94 Mochammad Dja’is. 2004.Op.cit. halaman 17
95 Ibid. halaman 17-18
80
atau hak yang mendapat perlindungan hukum, baik menurut hukum
materil maupun hukum acara (berdasar putusan).
Sanksi; Istilah sanksi diartikan sebagai (ancaman) penderitaan yang
dikenakan terhadap seseorang yang tidak memenuhi kewajiban
hukumnya. Sanksi yang direalisasi dalam eksekusi bersumber pada
ketentuan hukum materil (perdata, pidana maupun administrasi Negara),
putusan hakim maupun perjanjian.
Hal ini berarti bahwa eksekusi dapat timbul sebagai realisasi hak dari
suatu perjanjian antara para pihak yang membuatnya, tetapi juga dapat
berupa sanksi yaitu putusan dari pengadilan atau suatu lembaga lain atau
seseorang yang diberi wewenang dalam menjalankan tugasnya, dalam
bidang olah raga misalnya, sepak bola ada wasit yang dapat saja
menghukum pemain yang melakukan pelanggaran terhadap pemain
lawannya.
4.2. Sumber Hukum Eksekusi
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan
kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata
cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi
tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan
proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang
81
tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam
HIR atau RBg96.
Berdasar pandangan demikian, maka hal menjalankan putusan Hakim
diatur dalam Bahagian kelima mulai Pasal-Pasal 195 s/d 224 HIR/S. 1941
No. 44 yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan dalam Bahagian keempat
Pasal-Pasal 206 s/d 258 RBg./S 1927 No. 227 di luar wilayah itu97.
Oleh karena itu, Ketua Pengadilan Negeri atau Panitera maupun juru
sita harus merujuk pada pasal-pasal yang diatur dalam bagian dimaksud
apabila hendak melakukan eksekusi. Pada bagian tersebut telah diatur
pasal-pasal tata cara “menjalankan” putusan pengadilan, mulai dari :
• tata cara peringatan (aanmaning) ;
• sita eksekusi (executoriale beslag) ; dan
• penyanderaan (gijzeling)98.
Mengenai gijzeling (sandera) diatur dalam Pasal 209 – 223 HIR/242-
256 RBg. Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964
dan Nomor 4 Tahun 1975, menginstruksikan kepada ketua pengadilan dan
hakim untuk tidak menerapkan ketentuan gijzeling (sandera) sebagaimana
diatur dalam Pasal 209-223 HIR/242-258 RBg karena, dinlai bertentangan
dengan perikemanusiaan. Kedua surat edaran Mahkamah Agung tersebut
dicabut dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang
96 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 1
97 Djazuli Bachar. Eksekusi Putusan Perkara perdata Segi Hukum dan Penegakan Hukum. Jakarta:
Akademika Presindo. halaman 12
98 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 2
82
Lembaga Paksa Badan (lijfdwang - bahasa Belanda, imprisonment of civil
debt - bahasa Inggris). Menurut Perma tersebut, paksa badan bersifat
universal dan dapat dikenakan terhadap debitor yang mampu membayar
utang-utangnya namun tidak mau memenuhi kewajibannya. Debitor yang
demikian ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya
lebih besar dari pada pelaksanaan paksa badan atas dirinya99. Dikatakan
melanggar hak asasi manusia, karena bilamana dana yang dipinjam itu tidak
dikembalikan maka akan mempersulit kegiatan perekonomian dalam
Negara.
4.3. Jenis-Jenis Eksekusi
1. Berdasarkan objeknya, eksekusi dibedakan menjadi100:
• eksekusi putusan hakim;
• eksekusi benda jaminan;
• eksekusi grosse surat utang notariil;
• eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak atau
kepentingan;
• eksekusi surat pernyataan bersama;
• eksekusi surat paksa
Eksekusi putusan hakim dapat dilakukan terhadap putusan dalam perkara
perdata, pidana maupun tata usaha negara yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
99 RMJ. Koosmargono dan Mochammad Dja’is. 2005. Membaca dan Mengerti HIR. Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. halaman 171
100 RMJ. Koosmargono. Opcit. halaman 78
83
Eksekusi benda jaminan, dapat diajukan oleh kreditor bila debitor
wanprestasi seperti dalam hal gadai, hak tangungan atau fidusia.
Eksekusi grosse surat utang notariil ini didasarkan pada ketentuan
Pasal 224 HIR/258 RBg. dimana pada salinan akta ada irah-irah’Demi
Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, disamping itu ada
syarat lain menurut MA yaitu ada pengakuan utang, bersifat murni dan
eksepsional.
Eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak ini di dasarkan pada
Pasal 666 KUH Perdata.
Eksekusi pernyataan bersama dan surat paksa ini terkait adanya
pengurusan piutang Negara yang diserahkan oleh kreditor/penyerah
piutang yang dananya seluruh/sebagian berasal dari Negara kepada PUPN
cabang. Pernyataan bersama dan surat paksa pada bagian atas memuat
irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahsa Esa”.
hanya kesepakatan
2. Eksekusi menurut prosedur101:
a. Eksekusi realisasi tidak langsung, terdiri dari :
1) Sanksi/hukuman membayar uang paksa;
2) Paksa badan.
3) Pencegahan bepergian ke luar negeri.
4) Penghentian/pencabutan langganan.
b.Eksekusi realisasi langsung, terdiri dari :
1) Eksekusi membayar sejumlah uang.
2) Eksekusi riil, terdiri dari :
(a) Eksekusi riil terhadap bangunan yang melanggar izin
mendirikan bangunan (IMB).
(b) Eksekusi riil terhadap akta perdamaian (Pasal 130 HIR) dan
putusan hakim perdata yang berisi penghukuman untuk sesuatu
yang nyata.
101 Mochammad Dja’is. 2004. Opcit. halaman 19-26
84
(c) Eksekusi riil terhadap sanksi adat.
(e) Eksekusi riil terhadap objek lelang Pasal 200 (11) HIR.
(f) Eksekusi riil terhadap isi perjanjian.
3) Eksekusi melakukan perbuatan Pasal 225 HIR.
4) Eksekusi dengan pertolongan hakim.
5) Eksekusi parate.
6) Eksekusi penjualan di bawah tangan atas objek jaminan.
7) Penjualan di pasar atau di bursa.
Mengenai eksekusi realisasi tidak langsung seperti sanksi/hukuman
membayar uang paksa dapat timbul karena adanya perjanjian para pihak
maupun karena putusan hakim.
Paksa badan dan pencegahan (cekal) bagi penanggung hutang Negara
diatur kembali lagi dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang
Negara dan Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
Nomor KEP-25/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang
Negara.
Eksekusi penghentian/pencabutan langganan, didasarkan pada perjanjian
yang dibuat oleh pelanggan dengan pemberi jasa seperti telpon, air minum
atau listrik.
Eksekusi realisasi langsung membayar sejumlah uang dilaksanakan
terhadap adanya suatu putusan yang menghukum seseorang untuk
membayar sejumlah uang maupun denda biaya yang timbul dari perkara
juga putusan (akta) damai.
Eksekusi riil merupakan suatu tindakan nyata seperti pembongkaran pagar
atau gedung sesuai putusan hakim
85
Eksekusi parat ini adalah eksekusi langsung dengan menjual barang
jaminan ke pelelangan umum (baik melalui KP2LN maupun Balai Lelang)
seperti diatur dalam Pasal 1178 ayat (2), UUHT dan UUJF.
Eksekusi penjualan di bawah tangan seperti diatur dalam Pasal 20 ayat (2)
UUHT lebih merupakan kesepakatan untuk menjual sendiri secara sukarela,
sehingga ada yang menafsirkannya tidak dikategorikan sebagai eksekusi
Eksekusi penjualan di pasar bursa terkait barang jaminan adalah barang
perdagangan atau efek seperti fidusia yang diatur dalam Pasal 31 UUJF dan
gadai dalam Pasal 1155 ayat (2) KUH Perdata.
4.4. Asas-Asas Eksekusi
4.4.1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan
kepada pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian.
Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan
dijatuhkan putusan saja belum selesai persoalannya. Putusan itu harus dapat
dilaksanakan atau diijalankan102.
Oleh karena itu menurut M. Yahya Harahap, pada prinsipnya, hanya
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) yang dapat “dijalankan”. Kalau begitu, pada asasnya putusan
yang dapat dieksekusi ialah103 :
• Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (res judicata);
102 Sudikno Mertokusumo.Op.Cit. halaman 239
103 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 7
86
• Karena hanya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (fixed) dan pasti antara
pihak yang berperkara ;
• Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap
dan pasti :
- hubungan hukum tersebut mesti ditaati ; dan
- mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat)
• cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam
amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:
- dapat dilakukan atau dijalankan secara “sukarela” oleh pihak
tergugat ; dan
- bila enggan menjalankan secara “sukarela”, hubungan hukum
yang ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan “dengan
paksa” dengan bantuan “kekuatan umum”.
Dikemukakan juga bahwa, dalam kasus-kasus tertentu, undangundang
memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang belum
memperoleh kekuatan hukum tetap. Atau eksekusi dapat dijalankan
pengadilan terhadap bentuk produk tertentu di luar putusan. Adakalanya
eksekusi bukan merupakan tindakan menjalankan putusan pengadilan,
tetapi menjalankan pelaksanaan (eksekusi) terhadap bentuk-bentuk produk
yang “dipersamakan” undang-undang sebagai putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap104.
Oleh karena itu, ada beberapa bentuk pengecualian yang dibenarkan
undang-undang yang memperkenankan eksekusi dapat dijalankan di luar
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap
pengecualian dimaksud, eksekusi dapat dijalankan sesuai dengan aturan
tata cara eksekusi atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
104 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 8-9
87
tetap. Di bawah ini akan dikemukakan bentuk-bentuk pengecualian yang
diatur dalam undang-undang105.
1) Pelaksanaan Putusan yang Dapat Dijalankan Lebih Dulu
2) Pelaksanaan Putusan Provisi
3) Akta Perdamaian
4) Eksekusi terhadap Grosse Akta
5) Eksekusi atas Hak Tanggungan (HT) dan Jaminan Fidusia (JF)
4.4.2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Sering terjadi bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan
putusan hakim secara sukarela sehingga diperlukan bantuan pengadilan
untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa106. Terkait hal ini, maka
menurut Abdulkadir Muhammad, apabila pihak yang kalah tidak mau atau
lalai melaksanakan putusan pengadilan, pihak yang menang dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkara, baik secara liasan maupun secara tertulis agar putusan pengadilan
dilaksanakan107. Pada umumnya permohonan eksekusi diajukan secara
tertulis, karena ada lampiran-lampiran seperti putusan Pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan syrat lainnya.
4.4.3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir
105 Ibid. halaman 9-11
106 Sudikno. Opcit. halaman 240.
107 Abdulkadir Muhammad.2000. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
halaman 197
88
Tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti kata yang
sebenarnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan
condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan108.
Dengan demikian, prinsip lain yang mesti terpenuhi, putusan tersebut
memuat amar “kondemnatoir” (condemnatoir). Hanya putusan yang
bersifat kondemnator yang bisa dieksekusi, yaitu putusan yang amar atau
diktumnya mengandung unsur “penghukuman”. Putusan yang amar atau
diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi
atau “noneksekutabel”109. Contohnya adalah putusan yang bersifat
declaratoir karena hanya bersifat pernyataan saja.
Putusan condemnatoir bisa berupa penghukuman untuk110 :
i. menyerahkan suatu barang;
ii. mengosongkan sebidang tanah;
iii. melakukan suatu perbuatan tertentu;
iv. menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
v. membayar sejulah uang.
Jenis penghukuman di atas tergantung pada gugatan dan tuntutan
(petitum) yang diajukan pada pengadilan untuk diputus.
4.4.4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri
Pelaksanaan putusan dalam perkara pada tingkat pertama
diperiksa oleh pengadilan negeri adalah atas perintah dan atau dengan
108 Ibid. halaman 239
109 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 7
110 Moh. Taufik Makaro. 2004. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka Cipta. halaman
216
89
pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa
perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasaal-pasal berikut ini (Pasal
195 (1) HIR/206 (1) RBg)111.
Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal
195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 ayat (1) RBG, menjalankan eksekusi
terhadap putusan pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi
peradilan tingkat pertama, yakni Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi
atau Mahkamah Agung tidak mempunyai wewenang menjalankan
eksekusi. Tidak menjadi soal apakah putusan yang hendak dieksekusi itu
merupakan hasil putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung,
eksekusinya tetap berada di bawah kewenangan Pengadilan Negeri yang
memutus perkara itu dalam tingkat pertama112.
Dengan mengaitkan pasal-pasal dimaksud, gambaran konstruksi
hukum kewenangan menjalankan eksekusi dengan singkat dapat
dijelaskan sebagai berikut 113:
• Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin jalannya
eksekusi ;
• Kewenangan memerintahkan dan memimpin eksekusi yang ada pada
Ketua Pengadilan Negeri adalah secara ex officio ;
• Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berbentuk
“surat penetapan” (beschikking) atau decree (order) ;
• Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah “Panitera” atau “juru
sita” Pengadilan Negeri.
Tanggungjawab ada pada Ketua Pengadilan sedangkan pelaksana di
lapangan adalah jurusita yang ditunjuk Panitera.
111 Ibid. halaman 216-217.
112 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 19-20
113 Ibid. halaman 21
90
4.5. Syarat, Prosedur dan Sanksi Eksekusi Hak Tanggungan melalui
Pengadilan Negeri
Dalam hubungan utang piutang yang dijamin maupun tidak dijamin
dengan Hak Tanggungan, jika debitor cidera janji eksekusi dilakukan
melalui gugatan perdata menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku. Perlu
diketahui bahwa penyelesaian utang piutang yang bersangkutan melalui
acara ini memerlukan waktu, karena pihak yang dikalahkan ditingkat
Pengadilan Negeri dapat mengajukan banding, kasasi, bahkan masih
terbuka kesempatan untuk meminta peninjauan kembali114.
Namun demikian untuk eksekusi Hak Tanggungan tidak perlu melalui
suatu gugatan lagi di Pengadilan Negeri, tetapi cukup memohon eksekusi
saja berdasar Pasal 20 ayat (1) b UUHT jo. Pasal 26 UUHT.
Untuk memohon fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri, syarat nya adalah terjadi
cidera janji oleh debitor.
Permohonan eksekusi diajukan kreditor/bank kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi penjualan atas objek
Hak Tanggungan dari debitor sebagai termohon eksekusi.
Pada umumnya dalam permohonan eksekusi Hak Tanggungan ini, pemohon
eksekusi/bank sudah melampirkan perjanjian kreditnya, perjanjian jaminan
Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan, perhitungan besar hutang
termohon eksekusi termasuk di dalamnya hutang pokok dan bunga serta
114 Purwahid Patrik dan Kashadi. Opcit. halaman 84-85
91
denda) dan surat-surat somasi kepada debitor/termohon eksekusi dan surat
lain yang dianggap perlu sebagai syarat pelaksanaan eksekusi.
Setelah permohonan eksekusi Hak Tanggungan dan syarat-syaratnya
diajukan oleh kreditor/bank sebagai pemohon eksekusi, maka Ketua
Pengadilan Negeri akan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
4.5.1. Peringatan (aanmaning)
Ketua Pengadilan akan memanggil termohon eksekusi untuk
diberi peringatan pada hari, tanggal, dan jam yang ditentukan. Peringatan
atau aanmaning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua
Pengadilan Negeri berupa “teguran” kepada tergugat agar menjalankan isi
putusan pengadilan dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan
Negeri115. Mengenai batas tenggang waktu untuk memenuhi prestasi yang
ditetapkan adalah 8 (delapan) hari sejak diberi teguran oleh Ketua
Pengadilan Negeri, seperti diatur dalam Pasal 196 HIR/ 207 RBg.
4.5.2. Surat Perintah Eksekusi
Bila peringatan ini tidak dihiraukan atau tidak dilaksanakan bahkan
tidak datang pada saat yang ditentukan untuk diberi teguran, maka Ketua
Pengadilan Negeri akan mengeluarkan surat perintah eksekusi.
Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi
perintah kepada panitera atau jurusita untuk menjalankan eksekusi sesuai
amar putusan. Demikian ketentuan yang diatur Pasal 197 ayat (1) HIR
115 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 30
92
atau Pasal 208 ayat (1) RBg116. Berdasar surat penetapan ini, maka
jurusita melaksanakan sita atas barang jaminan Debitor.
4.5.3. Sita eksekusi
Sita eksekusi dilakukan untuk memperoleh hasil jika eksekusi
dilaksanakan maupun untuk mencegah yang merasa berkepentingan atau
orang lain untuk mengganggunya117. Manfaatnya adalah untuk
mengamankan barang milik debitor sebelum dilelang.
Pelaksanaan putusan Pengadilan dilakukan dengan penyitaan harta
kekayaan milik pihak yang kalah. Menurut ketentuan Pasal 197 HIR, 208-
212 RBg penyitaan dilakukan oleh panitera atau penggantinya dengan
dibantu oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat menurut
undang-undang118. Demikian juga dengan tanah yang dijaminkan akan
disita dan bila nilainya tidak mencukupi setelah ditaksasi, maka akan
dilakukan sita terhadap barang bergerak milik tereksekusi atau penjamin
hutang. Setelah pelaksanaan sita eksekusi, kemudian dibuat berita acara
penyitaannya oleh panitera yang ditandatanganinya bersama saksi-saksi.
4.5.4. Pelelangan
Dalam Pasal 200 HIR diatur penjualan barang sitaan melalui lelang. Pada
prinsipnya, penjualan di muka umum harus dilakukan dengan perantaraan
116 Ibid. halaman 36
117 Djazuli Bachar. Op.cit. halaman 57
118 Abdulkadir Muhammad. Op.cit. halaman 199
93
kantor lelang seperti yang tercantum dalam reglement lelang. Bahkan
suatu penjualan umum yang tidak lewat kantor lelang dapat dihukum119.
Pelelangan dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, hanya saja tetap
memakai pejabat lelang dari KP2LN, sebagai pejabat yang berwenang
untuk pelaksanaan lelang.
Oleh karena itu setelah sita dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan
Negeri menyurati kepala KP2LN untuk memberitahukan rencana lelang
dan sekaligus mengusulkan waktu pelaksanaan lelang, agar Pejabat
Lelang yang ditugaskan mengetahuinya. Disamping itu jaminan tanah dan
benda lain yang akan dilelang sudah ditentukan nilai limitnya terlebih
dahulu.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 200 ayat (7) HIR, maka formalitas yang
dilalui adalah sebelum dilakukan pelelangan umum objek Hak
Tanggungan, maka Pengadilan Negeri akan mengumumkan terlebih
dahulu objek Hak Tanggungan yang akan dilelang melalui Harian atau
media setempat 2 (dua) kali dangan selang waktu 15 hari.
Pelelangan akan dilaksanakan di Pengadilan Negeri sesuai hari, tanggal
dan jam yang sudah diumumkan melalui Harian atau media setempat.
Setelah pelelangan dilaksanakan, maka akan dibuat berita acara
eksekusi. Walaupun berita acara hanya disinggung sepintas lalu dalam
Pasal 197 ayat (5) HIR atau Pasal 209 ayat (4) RBg, namun di situ
diperintahkan secara tegas pejabat yang menjalankan eksekusi
“membuat” berita acara eksekusi. Oleh karena itu tanpa berita acara,
119 RMJ. Koosmargono dan Mochammad Dja’is. Op.cit. halaman 158
94
eksekusi dianggap tidak sah120. Dengan demikian pembuatan berita acara
atau risalah lelang merupakan keharusan dengan memperhatikan
dokumen-dokumen yang mendasari pelaksanaan lelang.
Surat-surat yang harus dicantumkan dalam Bagian Kepala Risalah lelang
pada setiap lelang eksekusi Pengadilan menurut Kantor Lelang Negara
adalah121 :
• surat permintaan lelang;
• salinan putusan/penetapan Pengadilan Negeri mengenai perkara
yang bersangkutan;
• salinan penetapan sita;
• salinan berita acara sita;
• salinan penetapan lelang;
• salinan surat pemberitahuan lelang kepada yang bersangkutan;
• perincian hutang termasuk biaya-biaya yang harus dibayar oleh
yang bersangkutan;
• untuk barang tidak bergerak diperlukan sertifikat, jika tidak ada
diperlukan keterangan lurah/Kepala Desa yang diperkuat oleh
Camat setempat, memuat antara lain status, batas-batas,
kepunyaan siapa persil tersebut;
• surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari Kantor Agraria
(Pendaftaran Tanah) setempat (Peraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1961);
• bukti pengumuman lelang di surat kabar oleh Pengadilan
khususnya barang tidak bergerak pengumuman dilakukan 2 (dua)
kali berulang 15 hari (Pasal 200 ayat (8) HIR/Pasal 217 ayat (3)
RBg.);
• surat-surat lelang dari penjual (khususnya barang tidak bergerak).
C. Eksekusi/Pengurusan Piutang Negara melalui PUPN dan DJPLN
1. Sekilas Profil PUPN dan DJPLN
1.1. Sejarah ringkas PUPN dan DJPLN
120 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 38
121 Djazuli Bachar. Op.cit. halaman 67-68
95
Landasan pokok keberadaan dan kewenangan PUPN bersumber dari
UU No. 49 Prp. Tahun 1960. Dalam bagian penjelasan umum antara lain
disebutkan bahwa Panitia Penyelesaian Piutang Negara susunan, tugas dan
wewenangnya telah diatur dalam Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala
Staf Angkatan Darat No. Kpts. Peperpu/0244/1958 dan selanjutnya
peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan itu berdasarkan undangundang
Keadaan Bahaya 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 160).
Kepada panitia tersebut diberikan tugas untuk menyelesaikan hutang-hutang
kepada negara yang oleh berbagai kesulitan sukar sekali ditagihnya, dengan
mempergunakan kekuasaan-kekuasaan yang tercantum dalam Peraturan
Penguasa Perang Pusat yang bersangkutan, sehingga penagihan-penagihan
piutang termaksud seumumnya memuaskan, hasil mana tidak akan tercapai
apabila prosedur-prosedur yang biasa seperti disediakan oleh HIR (Staatsblad
1941 No.44 pasal 195 dan seterusnya) dituruti. Oleh karena penagihan
piutang Negara secara singkat dan efektif itu, terutama terhadap para
penanggung hutang yang “nakal” dan dengan tindakannya terang-terangan
merugikan Negara, dalam keadaan dewasa ini masih dianggap perlu, maka
dengan perubahan-perubahan yang dalam bidang hukum dapat
dipertanggungjawabkan. Peraturan tentang susunan, tugas dan wewenang
Panitia Penyelesaian Piutang Negara termaksud akan diteruskan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dengan demikian
pada tanggal 14 Desember 1960 oleh DPRGR dikeluarkanlah UU No. 49 Prp.
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang masih berlaku
hingga sekarang.
96
PUPN adalah suatu Panitia sehingga untuk mengefektifkan
pelaksanaan penyelenggaraan wewenang dan tugas yang dimiliki PUPN
perlu dibentuk suatu lembaga yang disebut Badan Urusan Piutang Negara
(BUPN) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun
1976 tanggal 20 Maret 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan
Badan Urusan Piutang Negara. BUPN adalah badan yang menyelenggarakan
pelaksanaan pengurusan piutang Negara yang berada langsung di bawah
dan bertanggung jawab Kepada Menteri Keuangan yang mempunyai
tugas menyelenggarakan pengurusan piutang Negara yang terhutang
kepada Instansi-instansi Pemerintah/ Badan-badan usaha Negara, atau
badan-badan lainnya baik di pusat maupun di daerah yang secara
langsung atau tidak langsung dikuasai Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku122.
Selanjutnya untuk meningkatkan pelayanan pengurusan piutang
Negara dan peningkatan peranan lelang guna mengamankan dan
meningkatkan penerimaan keuangan Negara lembaga BUPN kemudian
disempurnakan mengenai kedudukan, tugas organisasi dan tata kerja menjadi
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). BUPLN dibentuk
dengan Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1991 tanggal 1 Juni 1991 tentang
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). BUPLN adalah badan
yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri
Keuangan yang memiliki tugas menyelenggarakan pengurusan piutang
Negara dan lelang baik yang berasal dari penyelenggaraan pelaksanaan
122 Sutarno. Op.cit. halaman 389
97
tugas Panitia Urusan Piutang Negara maupun pelaksanaan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan peraturan perundangan yang
berlaku123.
Kemudian untuk menyesuaikan tugas dan fungsi Lembaga BUPLN
maka BUPLN dirubah lagi dengan nama Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara (DJPLN), berdasarkan Keputusan Presiden No. 177 Tahun
2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang susunan organisasi dan tugas
Departemen jo Keputusan Menteri Keuangan RI nomor
2/KMK.01/2001 tentang organisasi dan tata kerja Departemen
Keuangan124.
DJPLN ini di tingkat daerah di atur dengan SK Menteri Keuangan.
Berdasarkan SK Menkeu No.445/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001,
instansi vertikal DJPLN di tingkat Provinsi adalah Kanwil DJPLN yang
berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Piutang
dan Lelang Negara. Sedangkan unit pelaksana paling bawah adalah Kantor
Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN)125.
Oleh karena itu setiap penyerahan piutang negara kepada PUPN Cabang
harus melalui KP2LN.
1.2. Hubungan PUPN dengan DJPLN
123 Ibid. halaman 389-390
124 Ibid. halaman 390
125 M. Khoidin. 2005. Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan. Yogyakarta.: LaksBang
PRESSindo. halaman 38-39
98
Berdasar Pasal 12 UU No.49 Prp. Tahun 1960, maka pengurusan
piutang bank negara harus diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Panitia ini merupakan suatu panitia yang sifatnya interdepartemental
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 49 Prp Tahun 1960. PUPN di
pusat maupun di daerah beranggotakan 5 orang termasuk ketuanya
merangkap anggota (Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor: 61/KMK.08/2002 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara.
Panitia ini tidak mungkin mampu menyelenggarakan operasional
pengurusan piutang Negara diseluruh Indonesia. Oleh karena itu untuk
menyelenggarakan operasional pengurusan piutang Negara perlu
dibentuk suatu lembaga operasional untuk melaksanakan keputusan
PUPN. Lembaga yang menyelenggarakan keputusan PUPN tersebut
sekarang disebut Direktorat Jenderal Piutang dan lelang Negara, disingkat
DJPLN yang semula BUPN/BUPLN126. Meskipun demikian dalam
pengurusan piutang negara ini penandatanganan Surat Pernyataan
Bersama (SPB) dan Surat Paksa (SP) sebagai dasar hukum
penyelesaian piutang Negara tetap dilakukan oleh Ketua PUPN dengan
Debitor.
Dari kewenangan kedua lembaga ini, dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara PUPN dengan DJPLN adalah PUPN mempunyai tugas
dan wewenang mengurus piutang Negara berdasarkan Undang-Undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960, sedangkan DJPLN adalah pelaksana
126 Sutarno. Op.cit. halaman 393
99
penyelenggaraan tugas dan wewenang PUPN dengan kata lain sebagai
pelaksana keputusan PUPN yang mempunyai kantor operasional di
seluruh Indonesia yaitu Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara
(KP2LN) yang dikoordinasikan oleh Kantor-kantor Wilayah (Kanwil).
Dalam pengurusan piutang Negara tersebut Kepala KP2LN karena
jabatannya adalah Ketua PUPN Cabang. Dengan perangkapan jabatan
ini akan mempermudah tugas KP2LN dalam melaksanakan keputusan
PUPN Cabang127. Kakanwil DJPLN menjadi anggota PUPN cabang.
1.3. Tugas dan wewenang PUPN dan DJPLN
Di dalam Pasal 4 UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN
disebutkan bahwa Panitia Urusan Piutang Negara bertugas:
1. Mengurus piutang negara yang berdasarkan Peraturan telah diserahkan
pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah atau Badan-badan yang
dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini;
2. Piutang Negara yang diserahkan sebagai tersebut dalam angka 1 di atas,
ialah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum,
akan tetapi yang penanggung hutangnya tidak melunasinya
sebagaimana mestinya;
3. Menyimpang dari ketentuan yang dimaksudkan dalam angka 1 di atas,
mengurus piutang-piutang negara dengan tidak usah menunggu
penyerahannya, apabla menurut pendapatnya ada cukup alasan yang
kuat, bahwa piutang-piutang negara tersebut harus segera diurus.
4. Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang
telah dikeluarkan oleh Negara/Badan-badan Negara apakah kredit itu
benar-benar dipergunakan sesuai dengan permohonan dan/atau syaratsyarat
pemberi kredit dan menanyakan keterangan-keterangan yang
berhubungan dengan itu kepada Bank-bank dengan menyimpang dari
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang No. 23 tahun 1960 tentang Rahasia Bank.
Kemudian di dalam Pasal 6 disebutkan bahwa Ketua Panitia Urusan Piutang
Negara berwenang untuk :
127 Ibid
100
a. Mengeluarkan surat paksa yang berkepala Atas Nama Keadilan;
b. Meminta bantuan Jaksa apabila terbukti ada penyalahgunaan
pemakaian kredit oleh pihak penanggung hutang untuk
mendapatkan pengurusannya.
Penjabaran lebih lanjut tugas PUPN sesuai Pasal 2 Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor : 61/KMK.08/2002 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara adalah mengurus piutang negara yang
diserahkan berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960.
Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
61/KMK.08/2002 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud Pasal 2 di atas, PUPN berwenang:
a. Menerima/menolak/mengembalikan pengurusan piutang
negara;
b. Membuat pernyataan bersama;
c. Menetapkan jumlah piutang negara;
d. Mengeluarkan Surat Paksa;
e. Mengeluarkan Surat Perintah Penyitaan;
f. Meminta sita persamaan;
g. Mengeluarkan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan;
h. Mengeluarkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan;
i. Menetapkan/menolak penjualan barang jaminan;
j. Menetapkan nilai limit lelang dan nilai pelepasan di luat
lelang;
k. Mengeluarkan Pernyataan Pengurusan Piutang Negara
Lunas/Selesai;
l. Mengeluarkan Pernyataan Pengurusan Piutang Sementara
Belum Dapat Ditagih;
m. Menyetujui/menolak Penarikan kembali Piutang Negara;
n. Mengeluarkan Surat Perintah Paksa Badan;
o. Menetapkan kembali PSBDT menjadi piutang aktif.
Sedangkan tugas dan wewenang DJPLN adalah sebagai berikut128:
128 Ibid. halaman 391-392
101
1) Menyelenggarakan pengurusan piutang Negara sebagai
pelaksanaan keputusan PUPN dan sebagai pelaksanaan
kebijaksanaan yang ditetapkan Menteri keuangan.
2) Sebagai pelaksana lelang barang jaminan dalam kaitannya dengan
pelaksanaan pengurusan piutang Negara.
Untuk menyelenggarakan tugas ini DJPLN mempunyai fungsi:
1) Perumusan kebijaksanaan teknis dan pembinaan di bidang
pengurusan piutang Negara dan lelang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2) Perumusan rencana dan pelaksanaan registrasi, verifikasi,
pembukuan, penetapan, penagihan dan atau eksekusi terhadap
pengurusan piutang Negara.
3) Perumusan rencana dan pelaksanaan pelelangan serta penggalian
potensi lelang.
4) Memberikan pertimbangan mengenai usul penghapusan piutang
Negara berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
5) Pengamanan teknis yuridis dan operasional atas pelaksanaan
tugas DJPLN sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan
Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas menyelenggarakan pengurusan
piutang Negara dan lelang, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang
Negara mempunyai wewenang :
1) Memaksa penanggung hutang/Debitor melunasi piutang Negara.
2) Memberikan keringanan hutang.
3) Memblokir, menyita dan melelang barang jaminan atau harta
kekayaan lain.
4) Mencegah bepergian ke luar negeri dan/atau menyandera (paksa
badan) Penanggung hutang/ Debitor atau Penjamin hutang.
102
2. Syarat, Prosedur dan sanksi Eksekusi Hak Tanggungan/Pengurusan
Piutang Negara oleh PUPN.
2.1. Penyerahan Piutang Negara
Piutang Negara yang telah macet sama sekali, harus segera diserahkan
urusan penyelesaiannya kepada PUPN, jika tidak maka PUPN berhak
mengambil alih persoalannya129.
Penyerahan pengurusan piutang negara kepada PUPN dapat dilakukan oleh
Kreditor/Bank dengan syarat harus diselesaikan sendiri dengan debitornya
terlebih dahulu, bila tidak berhasil barulah diserahkan ke PUPN Cabang. Jika
upaya-upaya yang telah ditempuh tidak juga berhasil, diserahkan
pengurusannya kepada kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Penyerahan
pengurusan piutang negara tersebut dilakukan secara tertulis oleh Penyerah
Piutang kepada Panitia Urusan Piutang Negara130.
Sutarno juga mengemukakan bahwa bank/kreditor wajib menyerahkan kredit
macet kepada DJPLN dalam hal ini kepada Panitia Pengurusan Piutang Negara
Cabang melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) di
daerah masing-masing sesuai wilayah kerjanya. Penyerahan dilakukan secara
tertulis disertai resume yang memuat berbagai informasi dan dokumendokumen
perjanjian kredit dan jaminan. Besarnya kredit macet yang dapat
diserahkan pengurusannya kepada Panitia Cabang (KP2LN) paling sedikit Rp
2.000.000,- (dua juta rupiah). Namun batas dua juta rupiah ini tidak berlaku
129 Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Op.cit. halaman 154
130 H.R. Daeng Naja. Op.cit. halaman 345.
103
bagi piutang pemerintah dan lembaga negara baik tingkat pusat maupun
daerah131.
Dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam penyerahan pengurusan
Piutang Negara sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (3) SK Menkeu No.
300/KMK.01/2002 adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian Kredit, akta pengakuan hutang, perubahan perjanjian, keputusan
yang diterbitkan pejabat yang berwenang, peraturan, kontrak, surat perintah
kerja, dan atau dokumen lain yang sejenis yang membuktikan besarnya
piutang;
b. Rekening koran, prima nota, faktur, dokumen sejenis yang membuktikan
besarnya hutang.
c. Dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan Surat Pernyataan
Kesanggupan Penyerah Piutang untuk mengajukan permohonan roya
dalam hal piutang yang diserahkan didukung dengan barang jaminan; dan
d. Surat menyurat antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang
dan atau Penjamin Hutang yang berkaitan dengan upaya-penyelesaian
hutang.
Apabila KP2LN menilai informasi yang disampaikan dalam
resume masih belum lengkap dan membutuhkan penjelasan maka
KP2LN dapat meminta Kreditor/penyerah piutang untuk melengkapi
data-data dan kalau perlu dapat memberikan penjelasan/ekspose serta
melakukan penelitian lapangan.
2.2. Penelitian
Terhadap penyerahan pengurusan piutang dari Kreditor tersebut diatas,
KP2LN mengadakan penelitian dan hasil penelitian dituangkan dalam
Resume Hasil Penelitian Kasus. Berdasarkan resume dan dokumen
penyerahan, KP2LN menghitung besarnya piutang Negara dengan
131Sutarno. Op.cit. halaman 396
104
memperhatikan hutang Negara yang berasal dari perbankan atau non
perbankan yaitu132:
a. Piutang Negara perbankan dihitung terdiri dari hutang pokok,
bunga, denda dan ongkos-ongkos. Besarnya bunga, denda dan ongkosongkos
ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah kredit
digolongkan macet berdasarkan peraturan kolektibilitas kredit
menurut Bank Indonesia. Bank Indonesia melalui Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12
November 1998 menetapkan bahwa kredit digolongkan macet jika
terdapat tunggakan pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui
270 hari (9 bulan lebih). Jadi perhitungan 6 bulan setelah kredit
digolongkan macet berarti bunga denda dan ongkos dihitung selama
15 bulan tunggakan.
b. Biaya-biaya lain yang dikeluarkan oleh Bank seperti biaya asuransi,
biaya pengikatan jaminan seperti Hak Tanggungan/hipotik, fiducia
dan biaya perpanjangan hak atas tanah, biaya pengukuhan hak atas
tanah dan biaya lain sebagainya tetap dihitung dan ditambahkan
sebagai piutang Negara yang harus ditagihkan kepada Debitor.
Sebaliknya pembayaran angsuran yang dilakukan Debitor setelah
piutang dinyatakan macet dihitung sebagai pengurangan dari piutang
Negara.
Apabila ternyata jumlah hutang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku
pihak Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara akan
mengkomfirmasikan kembali kepada penyerah piutang133. KP2LN dapat
memberikan koreksi tersendiri bila waktu yang diberikan kepada penyerah
piutang sudah lewat.
Bila Panitia Cabang (Ketua PUPN Cabang) menetapkan bahwa berkas
penyerahan Kreditor tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan dan
dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara, Panitia Cabang
menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan
132 Ibid. halaman 398
133 H.R. Daeng Naja. Op.cit. Halaman 346
105
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N). Tetapi jika Panitia
cabang menyatakan penyerahan pengurusan Piutang Negara tidak
memenuhi syarat karena tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya
Piutang Negara maka Panitia Cabang menolak penyerahan pengurusan
Piutang Negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang
Negara.134 Dengan dikeluarkannya SP3N oleh Panitia Cabang, maka
pengurusan Piutang Negara beralih dari Kreditor/Bank kepada Panitia
cabang dan penyelenggaraannya dilakukan oleh KP2LN. Oleh karena itu
Kreditor/Bank wajib menyerahkan dokumen-dokumen asli Barang
Jaminan kepada Panitia cabang melalui KP2LN.
2.3. Panggilan
Setelah Panitia Cabang menerbitkan SP3N, maka Kantor
Pelayanan melakukan pemanggilan secara tertulis kepada penanggung
hutang dalam rangka penyelesaian hutang (Pasal 33 SK Menkeu No.
300/KMK.01/2002)
Dalam hal Penanggung hutang tidak memenuhi panggilan, Kantor
Pelayanan melakukan panggilan terakhir secara tertulis paling lambat
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal menghadap yang
ditetapkan dalam surat panggilan (Pasal 38 SK Menkeu No.
300/KMK.01/2002).
Panggilan dapat dilakukan melalui pengumuman lewat media yang ada
bila Penangung Hutang menghilang atau tidak diketahui tempat
tinggalnya di Indonesia.
134 Ibid. halaman 399
106
2.4. Pernyataan Bersama
Apabila debitor memenuhi panggilan PUPN, maka dilakukan
wawancara mengenai besarnya hutang dan tata cara penyelessiannya. Hasil
wawancara dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab yang ditandatangani
oleh debitor dan Ketua PUPN atau pejabat yang ditunjuk dengan disaksikan
oleh dua orang saksi. Berdasarkan Berita Acara tersebut kemudian dibuat
Surat Pernyataan Bersama yang ditandatangani debitor, Ketua Panitia Cabang
dan dua orang saksi yang telah dewasa. Pada kepala Surat Pernyataan
Bersama tersebut diberi irah-irah” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial135.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 55 SK Menkeu/KMK.01/2002 bahwa:
Pernyataan Bersama mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan hakim
dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Jika tidak dapat dibuat Surat Pernyataan bersama, PUPN secara
sepihak berwenang menerbitkan Surat Penetapan Jumlah Piutang Negara
yang wajib dilunasi oleh debitor dalam jangka waktu yang telah ditentukan
oleh PUPN136. Tindakan penetapan secara paksa ini dilakukan agar proses
pengurusan berjalan terus.
2.5. Surat Paksa
Debitor yang telah menandatangani Pernyataan Bersama tetapi
tidak menyelesaikan pembayaran Piutang Negara seperti ditetapkan dalam
Pernyataan Bersama atau Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) telah
135 M. Khoidin. Op.cit halaman 39-40.
136 Ibid. halaman 40
107
diterbitkan maka tindakan yang dilakukan KP2LN adalah mengeluarkan
Surat Paksa yang ditandatangani Ketua Panitia Cabang137.
Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Ketua Panitia
Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh
hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak tanggal diberitahukan (Pasal 1 angka 14 SK Menkeu No.
300/KMK.01/2002).
Pemberitahuan Surat Paksa ini dituangkan dalam Berita Acara yang
ditandatangani o!eh Jurusita Piutang Negara, saksi-saksi dan Penanggung
Hutang atau penerima Surat Paksa.
2.6. Penyitaan
Jika debitor tidak dapat memenuhi isi surat paksa, akan dilakukan
penyitaan barang jaminan/harta kekayaan lain yang selanjutnya akan
dijual melalui lelang untuk pelunasan hutang-hutangnya138. Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Sutarno bahwa penyitaan dilaksanakan
terhadap barang jaminan milik Debitor dan atau milik Penjamin Hutang.
Bila barang jaminan tidak ada atau ada tetapi nilainya diperkirakan
tidak melunasi sisa hutang, penyitaan dapat dilakukan terhadap Harta
Kekayaan Lain. Penyitaan Barang Jaminan dan Harta Kekayaan Lain
dilakukan oleh Jurusita Piutang Negara berdasarkan Surat Perintah
137 Sutarno. Op.cit. halaman 405. Bandingkan dengan pendapat M. Khoidin dalam bukunya
Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, halaman 40 yang menyatakan bahwa apabila
debitor tidak mau datang memenuhi panggilan PUPN atau tidak bersedia membuat atau
menandatangani Surat Pernyataan Bersama, maka PUPN menerbitkan Surat Penetapan Jumlah
Piutang Negara yang berisi jumlah hutang debitor, diikuti dengan menerbitkan Surat Paksa.
138 H.R. Daeng Naja. Op.cit. halaman 347
108
Penyitaan dan disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Jurusita dalam melakukan penyitaan akan memberitahukan kepada Debitor
dan atau Penjamin Hutang sebagai pemilik barang/harta yang disita139.
Setelah pelaksanaan penyitaan oleh Jurusita akan dibuat Berita Acara
Penyitaan yang ditandatangani Jurusita Piutang Negara, saksi-saksi dan
Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang.
Penyitaan yang telah dilaksanakan didaftarkan kepada instansi
yang berwenang, sepanjang barang yang disita sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku wajib didaftarkan (Pasal 182 SK
Menkeu No. 300/KMK.01/2002).
2.7. Lelang
Peraturan lelang/Vendureglement sudah diberlakukan di Indonesia sejak
tahun 1908 yang kemudian diatur secara khusus dengan SK Menkeu untuk
piutang-piutang negara.
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara
langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara
lisan dan atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat (Pasal
1 angka 1 SK Mekeu No. 304/KMK.01/2002)
Lelang ini diklasifikasi menjadi dua yaitu lelang eksekusi dan lelang non eksekusi.
Lelang eksekusi merupakan penjualan umum untuk melaksanakan atau
mengeksekusi putusan atau penetapan pengadilan atau dokumen yang
dipersamakan dengan putusan pengadilan, seperti Hipotek, Hak Tanggungan (HT),
139 Sutarno. Op.cit. halaman 406.
109
Jaminan Fidusia (JF)140. Sedangkan Lelang non eksekusi merupakan penjualan di
muka umum di luar pelaksanaan putusan atau penetapan pengadilan yang terdiri
dari 141:
(1) lelang barang milik/dikuasai negara;
(2) lelang sukarela atas barang milik swasta.
Lelang eksekusi ini merupakan langkah yang ditempuh oleh Panitia Cabang
dengan cara menerbitkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan apabila
setelah dilakukan penyitaan Penanggung Hutang tidak menyelesaikan
hutangnya.
Dalam Pasal 245 ayat (1) SK Menkeu No. 300/KMK.01/2002
disebutkan bahwa Surat Perintah Penjualan Barang sitaan ini memuat
sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
a. Pertimbangan hukum diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang
Sitaan.
b. Dasar hukum penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan.
c. Perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk melaksanakan
Lelang.
d. Uraian barang sitaan yang akan dilelang.
e. Tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang
Sitaan.
f. Tanda tangan Panitia Cabang.
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan diberitahukan secara tertulis
kepada Debitor dan atau Penjamin Hutang. Dengan diterbitkannya Surat
Perintah Penjualan Barang Sitaan ini, Kantor Pelayanan (KP2LN) akan
140 M. Yahya Harahap. Op.cit. halaman 116
141 Ibid. halaman 117. Bandingkan dengan pendapat dari Bachtiar Sibarani. “Masalah Privatisasi
Lelang”. Jurnal Keadilan. Vol. 4 No. 1 Tahun 2005/2006 halaman 21, yang menyebutkan bahwa
lelang sukarela (non eksekusi) adalah pelelangan dalam rangka memenuhi permintaan sukarela
pemilik atau pemegang hak suatu barang.
110
melakukan penjualan Barang Sitaan tersebut142. Oleh karena itu, Nota
Dinas dari Kepala Seksi Piutang Negara berlaku sebagai Surat Permohonan
Lelang.
Mengenai penjualan Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan dapat
dilakukan melalui 3 (tiga) cara143:
a. Melalui Pelelangan yaitu penjualan barang jaminan dan atau harta
kekayaan milik Debitor atau milik Penjamin Hutang yang dilakukan di
muka umum dihadapan Pejabat lelang.
b. Penjualan Tidak Melalui Lelang
Penjualan Tidak Melalui lelang adalah pencairan barang jaminan dan
harta kekayaan milik Debitor yang dilakukan oleh Debitor dalam rangka
penyelesaian hutang.
c. Penebusan
Penebusan adalah pencairan Barang Jaminan yang dilakukan oleh
Penjamin Hutang dalam rangka penyelesaian hutang.
Sebelum lelang, pengumuman lelang dilaksanakan oleh kantor Pelayanan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal
246 SK Menkeu No. 300/KMK.01/2002). Pengumuman dilakukan dua kali
berselang 15 hari dalam media/Surat Kabar setempat. Dalam pengumuman
ini biasanya diumumkan objek yang akan dilelang, tempat, hari/tanggal dan
jam pelelangan dilaksanakan.
142 Sutarno. Op.cit. halaman 407
143 Ibid. halaman 407-410
111
Untuk kepentingan lelang ini, maka perlu ada nilai limit. Nilai limit
barang yang akan dilelang ditetapkan oleh Panitia Cabang dan berdasarkan
laporan penilaian yang masih berlaku. Pada saat pelelangan nilai limit
sudah dipegang oleh Pejabat Lelang dalam memandu pelelangan dan
setelah pelelangan akan dibuat berita acara lelang atau risalah lelang.
2.8. Tindakan Paksa Badan dan Pencegahan (Cekal)
Dalam hal debitor/penanggung hutang tidak mau membayar
hutangnya walaupun diketahui bahwa debitor tersebut sebenarnya mampu
membayar hutangnya, maka PUPN dapat menggunakan cara lain yaitu
paksa badan dan pencegahan (cekal) terhadap penanggung hutang.
Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling) sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960, yaitu pengekangan
kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung
Hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku harus bertanggung jawab (Pasal 1 angka 29 SK Menkeu No.
300/KMK.01/2002)144.
Objek Paksa Badan adalah Penanggung Hutang, Penjamin Hutang,
pemegang saham dan ahli waris yang telah menerima warisan dari
Pananggung Hutang.
Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Paksa Badan setelah
memperoleh izin dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat, setelah rencana
144 Bandingkan dengan PERMA Nomor : 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan, dalam Pasal 1
huruf a disebutkan bahwa paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan
seseorang debitor yang beritikad tidak baik ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan oleh
pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.
112
Paksa Badan ini disetujui oleh Ketua Panitia Pusat (Pasal 189 ayat (1) dan
(2) SK Menkeu No. 300/KMK.01/2002)
Pencegahan dapat dilakukan bagi penaggung hutang ataupun penjamin
hutang agar tidak bepergian ke luar negeri. Pencegahan hanya dapat dilakukan
setelah SP3N diterbitkan dan dilaksanakan dengan memperhatikan efektivitas dan
efisiensi (Pasal 120 SK Menkeu No. 300/KMK.01/2002).
Dalam Pasal 121 SK Menkeu No. 300/KMK.01/2002 disebutkan bahwa
Pencegahan dapat dilakukan dalam hal :
a. sisa hutang lebih dari Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau kurang dari
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) tetapi objek pencegaan sering bepergian
ke luar wilayah RI;
b. objek pencegahan beritikad tidak baik; dan
c. nilai barang jaminan diperkirakan tidak menutupi hutang.
3. Eksekusi Hak Tanggungan oleh DJPLN/KP2LN
3.1. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kanwil DJPLN
Kedudukan dari Kanwil DJPLN diatur dalam Pasal 1 Kepmenkeu No.
445/KMK.01/2001 yang menegaskan bahwa:
(1) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang
selanjutnya dalam Keputusan ini disebut Kantor Wilayah adalah instansi
vertikal. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Piutang
dan Lelang Negara.
(2) Kantor Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala
Dalam Pasal 2 Kepmenkeu No.445/KMK.01/2001 disebutkan bahwa:
113
Kantor Wilayah mempunyai tugas melaksanakan bimbingan teknis,
pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan tugas di bidang pengurusan piutang
negara dan lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 menyebutkan bahwa: dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Kantor Wilayah menyelenggarakan fungsi :
a. Pemberian bimbingan teknis, penggalian potensi, pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan penetapan, penagihan, eksekusi pengurusan piutang negara ;
b. Pemberian bahan pertimbangan atas usul penghapusan, keringanan
hutang, pencegahan, paksa badan atau penyelesaian piutang negara ;
c. Pemberian bimbingan teknis pengelolaan barang jaminan dan pemeriksaan
harta kekayaan atau barang jaminan yang tidak diketemukan milik
penanggung hutang atau penjamin hutang ;
d. Pemberian bimbingan teknis, penggali potensi, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan lelang serta pengembangan lelang ;
e. Pemberi pelayanan bantuan hukum di bidang pengurusan piutang negara
dan lelang ;
f. Pemberian bimbingan teknis pemantauan, evaluasi, dan pelaksanaan
pelayanan informasi serta pelaksanaan verifikasi pengurusan piutang
Negara dan lelang ;
g. Pembinaan terhadap Balai Lelang dan superintendensi kepada Pejabat
Lelang Pemerintah ;
h. Pelaksanaan pengawasan teknis pengurusan piutang negara dan lelang,
pelaksanaan administrasi Kantor Wilayah.
3.2. Kedudukan, Tugas dan Fungsi KP2LN
Kedudukan KP2LN diatur dalam Pasal 21 Kepmenkeu
No.445/KMK.01/2001
yang menyebutkan bahwa :
(1) Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara adalah instansi vertikal
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
(2) Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara dipimpin oleh seorang
Kepala.
Mengenai tugas KP2LN diatur dalam Pasal 22 Kepmenkeu
No.445/KMK.01/2001 yang menegaskan bahwa :
114
Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara mempunyai tugas
melaksanakan pelayanan pengurusan piutang negara dan lelang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23 Kepmenkeu tersebut menyebutkan bahwa : Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara menyelenggarakan fungsi :
a. Pelaksanaan penetapan dan penagihan piutang negara serta
pemeriksaan kemampuan penanggung hutang atau
penjamin hutang dan eksekusi barang jaminan ;
b. Pelaksanaan pemeriksaan barang jaminan milik
penanggung hutang atau penjamin hutang serta harta
kekayaan lain milik penanggung hutang ;
c. Penyiapan bahan pertimbangan dan pemberian keringanan
hutang ;
d. Pengusulan pencegahan, pengusulan dan pelaksanaan
paksa badan, serta penyiapan bahan pertimbangan
penyelesaian atau penghapusan piutang negara;
e. Pelaksanaan pemeriksaan dokumen persyaratan lelang dan
dokumen objek lelang ;
f. Penyiapan dan pelaksanaan lelang serta penyusunan dan
verifikasi minuta risalah lelang, serta pembuatan salinan,
Petikan, kutipan, dan grose risalah lelang ;
g. Pelaksanaan penggalian potensi piutang negara dan lelang
;
h. Pelaksanaan superintendensi kepada Pejabat Lelang
Swasta serta pengawasan Balai Lelang dan pengawasan
pelaksanaan lelang pada PT. Pegadaian (Persero) dan
lelang kayu kecil oleh PT. Perhutani (Persero) ;
i. Inventarisasi, registrasi, pengamanan, pendayagunaan, dan
pemasaran barang jaminan ;
j. Pelaksanaan registrasi dan penatausahaan berkas kasus
piutang negara, pencatatan surat permohonan lelang, dan
penyajian informasi piutang negara dan lelang ;
k. Pelaksanaan pemberian pertimbangan dan bantuan hukum
pengurusan piutang negara dan lelang ;
l. Verifikasi dan pembukaan penerimaan pembayaran
piutang negara dan hasil lelang ;
m. Pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara.
115
3.3. Nota Kesepakatan Kerjasama
Dewasa ini berkembang suatu bentuk perjanjian yang dinamakan
“Memorandum of Understanding” (MOU), yang dalam bahasa Inggris
dinamakan juga “later of intent”145. Bentuk perjanjiannya tertulis.
Suatu MOU itu dalam praktek hukum dianggap hanya sebuah kontrak
yang simpel saja. Karena itu, biasanya tidak dibuat secara terlalu formalistis.
Tanpa suatu akta notaris. Hanya saja karena MOU juga dianggap sebagai
suatu “Say Hello” untuk suatu kesepakatan dalam hal akan dilakukan sesuatu
proyek besar misalnya, maka terkadang penandatanganan suatu MOU juga
dibuat secara seremonial146. Hal berarti bahwa secara tidak langsung sudah
ada publikasi tentang MOU tersebut.
Dalam perbendaharaan kata-kata Indonesia, istilah MOU
`diterjemahkan ke dalam berbagai istilah yang bervariasi, yang kelihatannya
belum begitu baku. Sebut saja misalnya istilah-istilah seperti “Nota
Kesepakatan”, “Perjanjian Kerja sama”, “Perjanjian Pendahuluan”, dan lainlain.
Menurut Munir Fuady, istilah “Nota Kesepakatan” merupakan
terjemahan bahasa Indonesia yang paling pas dan paling dekat dengan
pengertian MOU tersebut147.
Dalam perkembangannya, sering dibuat kesepakatan kerja sama atau
MOU dalam penyelesaian suatu masalah, misalnya nota kesepakatan
kerjasama antara DJPLN dengan Bank Mandiri dalam melakukan eksekusi
Hak Tanggungan berdasar Pasal 6 UUHT.
145 Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Op.cit. halaman 35
146 Munir Fuady. 2002. Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek Buku Keempat. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. halaman 89
147 Ibid. halaman 90
116
Nota kesepakatan kerjasama ini dapat dibuat karena dalam SK Menkeu No.
300/KMK.01/2002 diatur juga tentang kerjasama.
Dalam Pasal 313 SK Menkeu No. 300/KMK.01/2002 disebutkan bahwa :
(1) Direktorat Jenderal dapat melakukan kerjasama dengan :
a. Penyerah Piutang;
b. Badan Usaha Milik Negara penjamin kredit;
c. pihak-pihak yang mempunyai keahlian di bidang pengelolaan asset,
restrukturisasi hutang, peningkatan kualitas sumber daya manusia; dan
atau
d. Instansi lain yang berkaitan dengan pengurusan piutang negara.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 314 menyebutkan bahwa :
Dalam rangka pelaksanaan kerjasama, biaya-biaya yang timbul dapat
dibebankan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
313 ayat (1), Direktorat Jenderal, dan atau Penanggung Hutang.
Ketentuan mengenai kerjasama akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Direktur Jenderal. (Pasal 315)
3.4. Syarat, Prosedur dan Sanksi Eksekusi HT berdasar Pasal 6 UUHT
Pasal 6 UUHT mengatur eksekusi secara langsung atau parate
eksekusi tanpa perlu adanya fiat dari Pengadilan Negeri. Artinya Kreditor
langsung melakukan penjualan di muka umum dengan perantaraan kanror
lelang. Untuk itu harus dilakukan dengan memenuhi syarat dan prosedur yang
berlaku.
Setiap Penjual yang bermaksud melakukan penjualan secara lelang
mengajukan permohonan lelang tertulis disertai dengan dokumen yang
disyaratkan kepada Kepala Kantor lelang (Pasal 2 ayat (1) Kepmenkeu No.
304/KMK.01/2002).
117
Syarat lelang sebagaimana diatur Pasal 6 Kepmenkeu No.
304/KMK.01/2002 adalah :
(1) Kantor Lelang menentukan syarat-syarat umum dalam pelaksanaan lelang;
(2) Penjual dapat menentukan syarat-syarat yang bersifat khusus;
(3) Syarat-syarat lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak boleh
bertentangan dengan peraturan umum lelang dan peraturan perundanganundangan
yang berlaku;
(4) Syarat umum dan syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal;
Dalam Pasal 7 Kepmenkeu No. 304/KMK.01/2002 disebutkan bahwa:
(1) Setiap pelaksanaan lelang tanah atau tanah dan bangunan dilengkapi
dengan Surat Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan setempat.
(2) Dalam hal tanah atau tanah dan bangunan yang akan dilelang belum
terdaftar di Kantor Pertanahan setempat:
a. Kepala kantor Lelang mensyaratkan kepada Penjual meminta Surat
Keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menerangkan status
kepemilikan; dan
b. berdasarkan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
Kantor Lelang meminta Surat Keterangan Tanah ke Kantor
Pertanahan setempat.
Di dalam Surat Edaran nomor : SE-23/PN/2000 tanggal 22 November 2000
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan, disebutkan dokumen
persyaratan lelang antara lain terdiri dari :
• Salinan/fotocopy Perjanjian Kredit;
• Salinan /fotocopy Sertifikat Hak Tanggungan dan Akta
Pemberian Hak Tanggungan;
• Salinan/fotocopy Sertifikat hak atas tanah yang dibeban Hak
Tanggungan;
• Salinan/fotocopy bukti bahwa debitor wanprestasi yang dapat
berupa peringatan-peringatan maupun pernyataan dari
pimpinan/Direksi bank yang bersangkutan selaku kreditor;
• Surat pernyataan dari Pimpinan/Direksi Bank yang
bersangkutan selaku Kreditor yang isinya akan
bertanggungjawab apabila terjadi gugatan.
Pelaksanaan lelang dilakukan pada jam dan hari kerja.
118
Penjualan secara lelang didahului dengan Pengumuman Lelang yang
dilakukan oleh Penjual melalui surat kabar harian, selebaran, atau tempelan
yang mudah dibaca oleh umum dan atau melalui media elektronik termasuk
Internet di wilayah kerja Kantor Lelang tempat barang akan dijual (Pasal 13
Kepmenkeu No.445/KMK.01/2002).
. Pengumuman untuk lelang eksekusi terhadap barang tidak bergerak atau
barang tidak bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang bergerak
dilakukan dua kali berselang 15 (lima belas) hari.
Dalam setiap pelaksanaan lelang harus ada nilai limit yang ditentukan
oleh Penjual dan diserahkan kepada Pejabat Lelang selambat-lambatnya
pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang.
Setiap lelang dilaksanakan di hadapan Pejabat Lelang dan setelah
lelang dibuat risalah lelang atau berita acara pelaksanaan lelang. Oleh karena
itu setiap pelaksanaan lelang sepenuhnya menjadi tanggungjawab penjual
bila ada keberatan, verzet atau gugatan.
3.5. Pembayaran Hutang dan Pelunasan
Dalam Pasal 310 SK Menkeu No. 300/KMK.01/2002 disebutkan bahwa:
(1) Pelaksanaan pembayaran hutang termasuk biaya administrasi Pengurusan
Piutang Negara dilakukan melalui Rekening Bendaharawan Penerima
Kantor Pelayanan atau Penyerah Piutang.
(2) Dalam hal pembayaran berasal dari hasil lelang, penerimaan pembayaran
dilakukan melalui Rekening Bendaharawan Penerima Kantor Pelayanan.
Dalam hal hutang Penangung Hutang telah lunas, Panitia Cabang
menerbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas. Surat Pernyataan
Piutang Negara Lunas diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi dan bukti
119
pembayaran. Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas disampaikan kepada
Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.
4. Akibat hukum yang timbul dari tugas PUPN dan DJPLN/KP2LN
4.1. Perkara di Peradilan umum
4.1.1. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau
berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia mempunyai kepentingan
untuk memperoleh perlindungan hukum, maka oleh karena itu ia
mengajukan tuntutan hak ke Pengadilan148. Tuntutan hak inilah yang
diwujudkan dalam bentuk gugatan terhadap orang yang merugikan haknya.
Suatu gugatan dapat diajukan karena terjadi ingkar janji dari salah satu
pihak dalam suatu perjanjian, tetapi juga karena adanya perbuatan melawan
hukum seperti diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Oleh karena itu tidak
terkecuali Pemerintah pun dapat digugat bila dianggap melakukan suatu
perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
Persoalan perbuatan melawan hukum oleh penguasa khusus
menyangkut perbuatan-perbuatan dari aparat pemerintah, yang biasanya
disebut administrasi. Tugas badan-badan pemerintah disertai dengan
kekuasaan. Perbuatan-perbuatan pemerintah dapat mengenai hak-hak dan
kepentingan-kepentingan dari rakyat. Dalam suatu negara hukum
seharusnya rakyat dilindungi terhadap penerapan-penerapan yang salah dari
undang-undang, pelanggaran wewenang dan kesewenang-wenangan dari
148 Sudikno Mertokusumo. Op.cit. halaman 48
120
pihak administrasi149. Oleh karena itu menurut Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, perbuatan melawan hukum dari pada penguasa (onrechtmatige
overheidsdaad) harus dibicarakan secara khusus, karena tugas yang harus
dilakukan oleh badan-badan kenegaraan dua sifatnya. Yaitu dapat letaknya
dalam bidang yang dikuasai oleh hukum publik, tetapi dapat juga yang
bersifat keperdataan, misalnya apabila badan tersebut bertindak sebagai
pembeli, sebagai fihak yang menyewakan dan sebagainya150. Hal ini berarti
bahwa dalam bidang perdata badan hukum publik dapat dituntut atau
digugat di Pengadilan .
Bilamana suatu perkara diajukan ke Pengadilan Negeri maka menurut
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Uripkartawinata151, asasnya “yang
berwenang adalah pengadilan negeri tempat tinggal tergugat”.
Dalam hal ini PUPN dan DJPLN/KP2LN dapat juga digugat di
Pengadilan Negeri, bila dianggap melakukan suatu perbuatan melawan
hukum dalam kaitan dengan tindakannya sebagai penguasa yang merugikan
orang lain.
4.1.2. Perlawanan Terhadap sita eksekusi atau lelang oleh pihak ketiga atau
tereksekusi
Apabila ada alasan, terhadap pelaksanaan putusan hakim yang
berupa penyitaan barang milik pihak yang kalah dapat diajukan perlawanan.
Perlawanan dapat diajukan oleh pihak yang kalah dan dapat juga oleh pihak
149 Rachmat Setiawan. 1982. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Alumni.
halaman 84
150 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1980. Hukum Perutangan Bagian B. Yogyakarta: Seksi Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. halaman 67-68
151 Ny. Retnowulan Sutantio dan Uripkartawinata. 2002. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek. Bandung: Mandar Maju. halaman 11
121
ketiga152. Pihak ketiga disini adalah yang mempunyai kepentingan dengan
barang jaminan yang disita atau akan dilelang.
Oleh karena itu, Pihak ketiga dapat melakukan perlawanan terhadap
penyitaan apabila ternyata barang yang disita adalah miliknya dan dia dapat
membuktikan hak miliknya itu153. Perlawanan ini diajukan ke Pengadilan
Negeri yang berwenang memeriksanya.
4.1.3. Penundaan Pelelangan oleh Pengadilan Negeri
Pelelangan yang akan dilaksanakan oleh PUPN/DJPLN kadangkadang
ditunda dengan adanya suatu penetapan dari Ketua Pengadilan
Negeri, berdasar adanya permohonan yang diajukan oleh tereksekusi.
Permohonan ini dapat diajukan tersendiri atau dimasukkan dalam gugatan
yang diajukan terhadap PUPN atau DJPLN/KP2LN .
Dalam Pasal 267 ayat (1) Kepmenkeu No. 300/KMK01/2002
disebutkan bahwa : lelang yang akan dilaksanakan pada prinsipnya tidak
dapat ditunda kecuali: a. adanya putusan atau Penetapan Pengadilan; b.
persyaratan lelang tidak dipenuhi; atau c. adanya pembayaran hutang.
4.2. Sita Persamaan
Terlampau banyak kasus yang berbicara tentang tabrakan diantara
Pengadilan dengan PUPN. Berapa banyak kasus sita yang saling tindih
terhadap suatu barang pada waktu yang bersamaan. Padahal sesuai dengan
prinsip, tidak boleh diletakkan sita bertindih terhadap suatu barang pada
152 Abdul;kadir Muhammad, Op.cit. halaman 209
153 Ibid. halaman 210
122
waktu yang bersamaan. Sering terjadi dalam kenyataan, suatu barang yang
telah disita Pengadilan Negeri disita eksekusi lagi oleh PUPN. Sebaliknya
berapa banyak kasus barang yang telah disita eksekusi PUPN, disita lagi oleh
Pengadilan Negeri154. Hal ini menunjukan bahwa belum ada kordinasi yang
baik antara kedua lembaga ini.
Dalam Pasal 179 SK Menkeu No.300/KMK/01/2002 disebutkan
bahwa: Pelaksanaan penyitaan tidak dapat dilakukan terhadap barang yang
telah disita lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, Instansi Pajak, atau instansi
lain yang berwenang.
Pasal 180 SK Menkeu tersebut menegaskan bahwa: Terhadap barang
yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179, Jurusita Piutang
Negara menyampaikan salinan Surat Paksa kepada instansi yang lebih dahulu
melakukan penyitaan disertai surat permintaan agar penyitaan yang telah
dilakukan oleh instansi tersebut diberlakukan juga untuk pemenuhan Surat
Paksa.
4.3. Gugatan di PTUN
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka gugatan terhadap pemerintah
diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Seperti kita ketahui Peradilan
Tata Usaha Negara tersebut hanya berwenang mengadili sengketa Tata Usaha
Negara, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sengketa ini berpangkal dari ditetapkannya
suatu keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
154 M. Yahya Harahap. Opcit. halaman 368
123
Negara. Oleh karena itu pada hakikatnya sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa tentang sah atau tidaknya suatu keputusan tata Usaha Negara yang
telah dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara155. Dengan
demikian putusan Pengadilan Tata Usaha Negara juga hanya mengenai sah
atau tidaknya produk hukum yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.
Dalam Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 5 Tahun 1986 ditegaskan
bahwa:
1. Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
2. Badan atau Pejabat tata Usaha Negara adalah Badan atau
Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keputusan tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejuabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Terkait tugas PUPN dalam pengurusan piutang negara, maka menurut
M. Khoidin, kewenangan PUPN di bidang peradilan layak dipersoalkan
karena PUPN merupakan badan tata usaha negara yang dibentuk oleh
eksekutif yang melaksanakan tugas dan wewenang di bidang
pemerintahan156. Hal ini tentu berbuntut adanya gugatan di PTUN.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
155 Rozali Abdullah. 1992. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
halaman 4
156 M. Khoidin. Opcit. halaman 41
124
Usaha Negara, maka ada perubahan pada Pasal 2. Dalam pasal ini ditegaskan
bahwa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
menurut undang-undang ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan peraturan yang bersifat
umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdeasarkan ketentuan perundangundangan
yang berlaku;
f . Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.
125
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penelitian di Kanwil V DJPLN, KP2LN Semarang, Bank -
Bank Pemerintah dan beberapa Kantor Advokat di Semarang, maka disajikan
hasil penelitian dan pembahasan sebagai berikut.
A. Hasil Penelitian
1. Proses Eksekusi Hak Tanggungan oleh PUPN
Proses eksekusi Hak Tanggungan atau pengurusan piutang negara
dilakukan melalui tahapan-tahapan eksekusi Hak Tanggungan / pengurusan
piutang negara oleh PUPN yang operasionalnya dilakukan oleh
DJPLN/KP2LN.
Sebagaimana diketahui bahwa PUPN dicetuskan dengan UU No. 49
Prp. Tahun 1960 oleh Pemerintah yang didasarkan atas kenyataan pada
saat itu, banyak piutang negara atau dana-dana negara yang dikeluarkan
pemerintah, baik untuk merombak struktur perekonomian maupun untuk
meningkatkan pembangunan ternyata sebagian besar tidak kembali ke kas
negara. Oleh karena itu, diambil langkah dengan cara penanggulangan
yang cepat, agar dana-dana tersebut kembali segera ke kas negara untuk
dipergunakan sebagai dana pembangunan nasional. Salah satu piutang
negara ini berasal dari dana pinjaman/kredit dari bank pemerintah yang
macet.
126
Berdasar UU No.49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN, maka ada
kewajiban untuk menyerahkan pengurusan piutang negara termasuk bank
negara kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Panitia ini merupakan suatu
panitia yang sifatnya interdepartemental baik PUPN di tingkat pusat
maupun PUPN Cabang di daerah beranggotakan 5 (lima) orang termasuk
ketuanya merangkap anggota. PUPN melaksanakan tugas dan
wewenang pengurusan berdasarkan UU No. 49 Prp Tahun 1960 yang
dalam operasionalnya dilaksanakan oleh PUPN Cabang sesuai wilayah
kerja yang telah ditetapkan. Dengan keanggotaan 5 (lima) orang
tersebut, Panitia ini tidak mungkin mampu menyelenggarakan
operasional pengurusan piutang negara diseluruh daerah/wilayah
Indonesia. Oleh karena itu untuk menyelenggarakan operasional
pengurusan piutang negara, maka Pemerintah membentuk suatu lembaga
operasional yang melaksanakan keputusan PUPN. Lembaga yang
menyelenggarakan keputusan PUPN tersebut adalah Badan Urusan
Piutang Negara (BUPN) yang kemudian dirubah menjadi Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Sebagai unsur pelaksana
BUPLN di daerah dibentuk 9 Kantor Wilayah BUPLN yang
membawahi 32 Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N)
dan 27 Kantor Lelang Negara (KLN). BUPLN kemudian dirubah lagi
menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN).
Kemudian dengan Kepmenkeu No. 45/KMK.01/2001, maka ditetapkan untuk
tingkat daerah ada 9 Kanwil DJPLN yang membawahi 56 KP2LN (yang
merupakan penggabungan dari KP3N dan KLN).
127
Walaupun penyelenggaraan operasional pengurusan piutang negara
dilaksanakan oleh DJPLN/KP2LN, namun pada prinsipnya tetap PUPN
yang melakukan pengurusan piutang negara, seperti penandatanganan
Surat Pernyataan Bersama dan Surat Paksa dan surat-surat lainnya
sebagai dasar hukum dalam penyelesaian suatu piutang negara.
Oleh karena itu ada perangkapan jabatan dimana Ketua PUPN pusat
merangkap sebagai Direktur Jenderal DJPLN dan Ketua PUPN Cabang
dirangkap oleh kepala KP2LN. Kepala Kanwil DJPLN menjadi anggota
PUPN.
Mengenai Susunan Organisasi Kantor Wilayah DJPLN terdiri dari :
a. Bagian Umum ;
b. Bidang Piutang Negara ;
c. Bidang Lelang ;
d. Bidang Informasi dan Hukum ;
e. Kelompok Jabatan Fungsional.
Di bawah Kanwil DJPLN ada kantor operasional yaitu Kantor
Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) yang terdiri dari 2 (dua)
Tipe yaitu :
a. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Tipe A ; dan
b. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Tipe B ;
Susunan Organisasi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Tipe A
terdiri dari :
a. Sub bagian Umum ;
128
b. Seksi Piutang Negara ;
c. Seksi Pengelolaan Barang Jaminan ;
d. Seksi Pelayanan Lelang ;
e. Seksi Dokumentasi dan Potensi Lelang ;
f. Seksi Informasi dan Hukum ;
g. Kelompok Jabatan Fungsional
Susunan Organisasi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Tipe B
terdiri dari :
a. Subbagian Umum ;
b. Seksi Piutang Negara ;
c. Seksi Pengelolaan Barang Jaminan ;
d. Seksi Lelang ;
e. Seksi Informasi dan hukum ;
f. Kelompok Jabatan Fungsional ;
Bidang dan seksi-seksi sebagaimana tersebut di atas inilah yang
menyelenggarakan operasional keputusan PUPN Cabang.
Khusus Kanwil V DJPLN di Semarang mempunyai wilayah kerja yang
meliputi 3 provinsi yaitu provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Provinsi Kalimantan Selatan dan 6 KP2LN yaitu :
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Tegal, Purwokerto dan Banjarmasin.
Untuk KP2LN Semarang termasuk tipe A yang wilayah kerjanya
meliputi Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak,
129
Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Rembang, Kabupaten
Pati, dan Kabupaten Blora.
Mengenai Proses eksekusi Hak Tanggungan / pengurusan piutang
negara dari perbankan oleh PUPN cabang melalui KP2LN dilakukan
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut.
1.1. Penyerahan Piutang Negara
Penyerahan pengurusan piutang negara atau Berkas Kasus Piutang
Negara (BKPN) kepada PUPN dilakukan oleh Bank Negara sebagai
kreditor dengan syarat harus diselesaikan sendiri oleh Bank Negara atau
Bank Daerah terlebih dahulu dengan debitor atau penanggung
hutangnya secara persuasif dengan cara negosiasi. Dalam hal
penyelesaian piutang negara oleh Bank Negara atau Bank Daerah ini
tidak berhasil diselesaikan sendiri, maka piutang ini wajib diserahkan
pengurusannya kepada PUPN Cabang melalui KP2LN di daerah
masing-masing sesuai wilayah kerjanya. Penyerahan oleh bank sebagai
kreditor dilakukan secara tertulis disertai resume yang memuat berbagai
informasi dan dokumen-dokumen perjanjian kredit dan jaminan bila
besarnya kredit macet itu paling sedikit Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah).
Resume berkas kasus piutang negara dimaksud antara lain harus
memuat informasi tentang:
• identitas Kreditor/penyerah piutang;
• identitas Debitor dan atau Penjamin Hutang;
• bidang usaha Penanggung hutang;
130
• keadaan usaha Pananggung hutang pada saat diserahkan;.
• perjanjian kredit;
• penjamin kredit oleh pihak ketiga.
• sebab-sebab kredit/piutang dinyatakan macet;
• tanggal realisasi kredit dan tanggal-tanggal Penyerah Piutang
mengkategorikan kredit sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank
Indonesia dalam hal piutang negara berasal dari perbankan.
• rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda
dan ongkos/beban lainnya.
• daftar barang jaminan;
• daftar Harta Kekayaan lainnya.
• penjelasan singkat upaya-upaya penyelesaian hutang yang telah
dilakukan oleh Kreditor/Penyerah Piutang, dan
• informasi lainnya yang dianggap perlu;
Disamping resume juga ada dokumen-dokumen yang dilampirkan
dalam penyerahan pengurusan piutang negara perbankan, berupa
fotocopi:
• Perjanjian Kredit yang membuktikan adanya piutang;
• Rekening koran, atau dokumen lain sejenis yang
membuktikan besarnya hutang.
• Surat menyurat antara Penyerah Piutang dengan
Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang yang
berkaitan dengan upaya-upaya penagihan;
131
• Surat pemberitahuan dari Penyerah Piutang kepada
Penanggung Hutang bahwa pengurusan Piutang negara
diserahkan kepada Panitia Cabang;
• Bukti pemilikan dan pengikatan barang jaminan;
• Bukti penjaminan kredit oleh pihak ketiga atau bukti lain
sejenis;
• Akta pendirian perusahaan;
• Izin usaha, Izin Mendirikan Bangunan, dan atau surat-surat
izin lainnya;
• Kartu identitas diri Penanggung Hutang dan atau Penjamin
Hutang;
• Daftar Harta Kekayaan Lain; dan
• Asli Surat Pernyataan Kesanggupan Penyerah Piutang untuk
mengajukan permohonan roya.
Bilamana informasi yang disampaikan oleh pihak bank sebagai
Penyerah Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) dalam resume
masih kurang dan perlu penjelasan, maka KP2LN dalam hal ini
seksi Piutang Negara dapat meminta Bank/Penyerah Piutang
untuk melengkapi data-data dan bila diperlukan dapat
memberikan penjelasan atas suatu data yang kurang atau melakukan
penelitian atas hal tersebut.
Data di lingkungan Kanwil V DJPLN menunjukkan bahwa
penyerahan piutang negara yang diterima sampai dengan Bulan
Desember tahun 2005 ini yang berasal dari Perbankan sebanyak 1.690
132
Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) dengan nilai Rp. 159.552,62
juta. Penerimaan terbesar ada pada KP2LN Semarang diikuti oleh
Banjarmasin, Tegal, Purwokerto, Surakarta dan Yogyakarta.
1.2. Penelitian
Dengan adanya penyerahan Berkas Kasus Pengurusan Piutang
Negara (BKPN) dari Kreditor/Bank, maka KP2LN mengadakan
penelitian terhadap BKPN tersebut dan hasil penelitian
dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus. Berdasarkan
resume dan dokumen penyerahan, KP2LN menghitung besarnya
piutang negara dari bank tersebut.
Setelah meneliti berkas, maka Panitia Cabang akan mengambil
sikap menerima, menolak atau mengembalikan pengurusan piutang
negara tersebut. Apabila Panitia Cabang (Ketua PUPN Cabang)
menetapkan bahwa berkas kasus piutang negara dari Kreditor
tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan dan dapat dibuktikan
adanya dan besarnya piutang negara, maka Panitia Cabang
menerbitkan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
(SP3N). Sebaliknya, jika dari hasil penelitian ini Panitia Cabang
menyatakan penyerahan pengurusan piutang negara tidak
memenuhi syarat karena tidak dapat dibuktikan adanya dan
besarnya Piutang Negara maka Panitia Cabang menolak
penyerahan pengurusan piutang negara dengan menerbitkan Surat
Penolakan Pengurusan Piutang Negara. Panitia Cabang dapat juga
133
mengembalikan berkas pengurusan piutang negara dalam hal
terdapat kekeliruan dari Penyerah Piutang karena Penanggung
Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan;
piutang terkait dengan perkara pidana; atau Penyerah Piutang
bersikap tidak kooperatif.
Mengenai isi Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N)
yang dikeluarkan Panitia Cabang sekurang-kurangnya memuat :
• nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan piutang
negara.
• identitas Kreditor /Penyerah Piutang dan Debitor.
• pernyataan menerima pengurusan piutang negara.
• rincian dan jumlah piutang negara yang telah
diperhitungkan sesuai dengan ketentuan perhitungan
piutang negara perbankan.
• tanda tangan Panitia Cabang.
Dengan diterbitkannya SP3N maka pengurusan piutang negara
beralih dari Kreditor/Bank kepada Panitia Cabang dan
penyelenggaraannya dilakukan oleh KP2LN. Dengan demikian
Kreditor/Bank wajib menyerahkan dokumen-dokumen asli Barang
Jaminan tersebut kepada KP2LN untuk pengurusan selanjutnya.
1.3. Panggilan
Setelah Panitia Cabang menerbitkan SP3N, maka Kantor
Pelayanan (KP2LN) melakukan pemanggilan secara tertulis
kepada penanggung hutang dalam rangka penyelesaian hutang.
134
Di dalam surat panggilan sudah diatur tenggang waktu untuk
menghadap yang diperkirakan setelah surat sampai ditambah
dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghadap.
Dalam hal Penanggung Hutang berdomosili jauh dari Kantor
Pelayanan, maka debitor/Penanggung Hutang dapat dipanggil
menghadap petugas kantor pelayanan di Kantor Penyerah Piutang
(Bank).
Apabila setelah dilakukan panggilan ternyata Penanggung hutang
tidak memenuhi panggilan untuk menghadap, maka Kantor
Pelayanan melakukan panggilan terakhir secara tertulis paling
lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal
menghadap yang ditetapkan dalam surat panggilan.
Panggilan dapat dilakukan melalui pengumuman lewat
Surat Kabar Harian, media elektronik, papan pengumuman di
Kantor Pelayanan dan atau media massa lainnya bila Penanggung
Hutang menghilang atau tidak diketahui tempat tinggalnya di
Indonesia.
1.4. Pernyataan Bersama
Sesuai waktu yang ditentukan Debitor/Penanggung Hutang
datang memenuhi panggilan atau datang atas kemauan sendiri untuk
menghadap, maka petugas Kantor Pelayanan melakukan wawancara
dengan Penanggung Hutang mengenai kebenaran adanya besarnya
piutang negara serta cara-cara penyelessiannya. Hasil wawancara
dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab yang ditandatangani
135
oleh Penggung Hutang, Kepala Kantor Pelayanan atau Pejabat yang
ditunjuk dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Berdasarkan Berita Acara tersebut kemudian dibuat Pernyataan
Bersama yang ditandatangani oleh Ketua Panitia Cabang, Penanggung
Hutang dan dua orang saksi yang telah dewasa.
Dalam hal Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang dan sanggup
menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan, dibuat
Pernyataan Bersama yang antara lain memuat :
• irah-irah” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”;
• identitas penanggung hutang;
• identitas Penyerah Piutang;
• besarnya piutang negara dengan rincian terdiri dari hutang
pokok, bunga, denda dan atau ongkos/beban lain;
• besarnya Biaya Administrasi pengurusan piutang negara;
• pengakuan hutang oleh Penanggung Hutang;
• kesanggupan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan
hutang dan cara penyelesainnya;
• sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang;
• tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama;
• Tandatangan Ketua Panitia Cabang;
• tanda tangan Penanggung Hutang di atas meterai cukup; dan
• tandatangan para saksi.
136
Pernyataan Bersama yang dibuat ini mempunyai kekuatan yang sama
seperti putusan hakim dalam perkara perdata yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Jangka waktu penyelesaian hutang yang ditetapkan dalam Pernyataan
Bersama adalah 12 (dua belas) bulan kecuali Penanggung Hutang
mendapat keringanan hutang.
Dalam hal Penanggung hutang meninggal dunia, maka Pernyataan
Bersama dibuat dengan ahli waris Penanggung Hutang yang
dibuktikan dengan fatwa waris atau penetapan dari Pengadilan.
Apabila Penanggung Hutang diwakili oleh kuasanya, Pernyataan
Bersama dibuat dengan kuasa Pernyataan Bersama.
Besarnya Pembayaran yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama
dapat dilakukan secara tunai maupun angsuran. Untuk angsuran tidak
boleh melebihi triwulanan. Apabila Penanggung Hutang tidak
membayar angsuran sesuai ketentuan pernyataan bersama, Kantor
Pelayanan dalam waktu 7 hari kerja memberikan peringatan tertulis
kepada Penanggung Hutang memenuhi kewajibannya.
Jika tidak dapat dibuat Pernyataan bersama, karena Penanggung
Hutang tidak memenuhi panggilan dan atau pengumuman panggilan
atau tidak mengakui jumlah hutang tetapi tidak dapat memberikan
bukti-bukti pendukung yang sah atau Penangung Hutang mengakui
jumlah hutang tetapi menolak menandatangani Pernyataan Bersama,
Panitia Cabang secara sepihakberwenang menerbitkan Penetapan
Jumlah Piutang Negara yang wajib dilunasi oleh Penangung Hutang.
137
1.5. Surat Paksa
Debitor/Penanggung Hutang yang telah menandatangani
Pernyataan Bersama tetapi tidak menyelesaikan pembayaran piutang
negara seperti ditetapkan dalam Pernyataan Bersama atau Penetapan
Jumlah Piutang Negara (PJPN) yang telah diterbitkan, maka tindakan
yang dilakukan Panitia Cabang adalah mengeluarkan Surat Paksa
yang ditandatangani Ketua Panitia Cabang.
Surat Paksa ini merupakan perintah dari Ketua Panitia Cabang
kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh
hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
jam terhitung sejak tanggal diberitahukan oleh jurusita.
Isi Surat Paksa antara lain memuat tentang :
• Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”
• Identitas Kreditor/Penyerah Piutang serta nomor dan
tanggal surat penyerahan pengurusan piutang negara.
• Identitas Debitor/Penanggung Hutang.
• Sisa hutang yang harus diselesaikan termasuk Biaya
Administrasi pengurusan piutang negara.
• Alasan yang menjadi dasar penagihan
• Dasar hukum penerbitan Surat Paksa.
• Perintah kepada Debitor untuk melunasi seluruh
hutangnya dalam jangka waktu 1 X 24 jam terhitung sejak
tanggal pemberitahuan Surat Paksa.
138
• Tempat dan tanggal penetapan dan tanda tangan Ketua
Panitia Cabang.
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Piutang Negara kepada
Penanggung Hutang/Debitor dengan membacakan dan
menyerahkan salinan Surat Paksa. Pemberitahuan Surat Paksa ini
dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa yang
isinya memuat tentang:
• hari, tanggal dan jam pemberitahuan Surat Paksa.
• identitas Jurusita Piutang Negara, penerima Surat Paksa
dan saksi-saksi dan;
• tempat pemberitahuan Surat Paksa.
Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa ini kemudian
ditandatangani o!eh Jurusita Piutang Negara, saksi-saksi dan
Penanggung Hutang atau penerima Surat Paksa.
1.6. Penyitaan
Dalam hal setelah lewat waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
jam sejak Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Hutang tidak
melunasi hutangnya, Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah
Penyitaan.
Penyitaan dilaksanakan terhadap barang jaminan milik Debitor dan
atau milik Penjamin Hutang. Bila barang jaminan tidak ada atau
ada tetapi nilainya diperkirakan tidak melunasi sisa hutang,
penyitaan dapat dilakukan terhadap harta kekayaan lain.
139
Penyitaan barang jaminan dan harta kekayaan lain dilakukan oleh
Jurusita Piutang Negara berdasarkan Surat Perintah Penyitaan dan
disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Jurusita dalam
melakukan penyitaan akan memberitahukan kepada Debitor dan atau
Penjamin Hutang sebagai pemilik barang/harta yang disita.
Penyitaan di luar wilayah kerja KP2LN dapat dilakukan dengan
meminta bantuan kantor pelayanan terdekat.
Pelaksanaan penyitaan oleh Jurusita dituangkan dalam Berita
Acara Penyitaan yang ditandatangani Jurusita Piutang Negara,
saksi-saksi dan Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang.
Penyitaan yang telah dilaksanakan harus didaftarkan kepada
instansi yang berwenang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional
(BPN) terkait dengan jaminan tanah.
1.7. Lelang
Apabila setelah dilakukan penyitaan barang jaminan/Hak Tanggungan dari
Penaggung Hutang ternyata belum juga dilunasi hutangnya kepada
Kreditor/Bank, maka Panitia Cabang akan mengeluarkan surat perintah
penjualan barang sitaan.
Isi Surat Perintah Penjualan Barang sitaan ini antara lain memuat
tentang:
• Pertimbangan hukum diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang
Sitaan.
• Dasar hukum penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan.
140
• Perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk melaksanakan
Lelang.
• Uraian barang sitaan yang akan dilelang.
• Tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang
Sitaan.
• Tanda tangan Panitia Cabang.
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan yang diterbitkan Ketua Panitia
Cabang ini diberitahukan secara tertulis kepada Debitor dan atau
Penjamin Hutang. Dengan diterbitkannya Surat Perintah Penjualan
Barang Sitaan ini Kantor Pelayanan (KP2LN) akan menunjuk
Pejabat Lelang yang akan melakukan penjualan Barang Sitaan
tersebut. Oleh karena itu, nota dinas dari Kepala Seksi Piutang Negara
berlaku sebagai surat permohonan lelang.
Sebelum lelang dilaksanakan, PUPN Cabang / KP2LN akan
mengumumkan rencana pelaksanan lelang tersebut melalui Surat Kabar
dua kali berselang 15 hari. Dalam pengumuman lelang ini diumumkan
objek Hak Tanggungan yang akan dilelang, ukuran luasnya dan namanama
pemilik sertifikat hak atas tanah tersebut. Pada bagian terakhir
lelang dimuat syarat-syarat lelang dan waktu serta tempat pelaksanaan
lelang.
Dengan adanya pengumuman di Surat Kabar setempat ini, maka bagi
yang berminat untuk membeli sebidang tanah/rumah atau lebih persil
yang akan dilelang ini dapat mendaftarkan diri sebagai calon pembeli
dengan membayar uang muka yang ditentukan dalam surat kabar sesuai
141
dengan bidang tanah dan atau bangunan rumah yang diminatinya. Uang
jaminan ini disetorkan ke nomor rekening KP2LN sesuai bank yang
ditunjuk dalam surat kabar paling lambat satu hari sebelum pelaksanaan
lelang sudah efektif masuk pembukuan.
Sebelum lelang dilaksanakan, maka nilai limit dari setiap barang
jaminan/tanah atau persil yang akan dilelang ini sudah diajukan oleh tim
penilai kepada kepala KP2LN untuk ditetapkan dan diserahkan dalam
sebuah amplop kepada Pejabat Lelang pada saat melaksanakan
penawaran penjualan umum atau lelang. Pada saat sebelum lelang
dilaksanakan sesuai waktu yang ditentukan, peserta lelang akan
mendaftar kembali kepada petugas yang mendampingi pejabat lelang.
Tepat waktu yang ditentukan maka Pejabat Lelang yang ditunjuk
didampingi dua orang peserta penjual dari KP2LN akan memasuki
ruang lelang. Salah satu peserta penjual akan membuka acara lelang
dengan memberikan penjelasan-penjelasan antara lain :
• mengenai tanah-tanah yang dibatalkan lelangnya disebut
nomor-nomornya sesuai urutan dalam pengumuman lelang
PUPN/KP2LN di Harian;
• Tanah-tanah yang SKPT nya belum ada, dan
• Tanah yang nilai limitnya belum ada ditunda;
• Lelang dilaksanakan lisan dengan cara tawar naik-naik,
dengan penawar tertinggi sebagai pemenang;
142
• Peserta dianggap sudah mengetahui lokasi tanah yang
ditawar sehingga bila ditetapkan sebagai pemenang tidak
bisa ajukan klaim kepada PL/KP2LN;
• Peserta lelang dianggap sudah mengetahui lokasi tanah
atau persil yang akan dibeli, sehingga bila ditentukan
sebagai pemenang dan setelah membayar lunas harga
persil tidak dapat menggugat PUPN/KP2LN dengan alasan
misalnya luasnya ternyata tidak sesuai dengan
pengumuman dll.
• Tanah yang belum kosong setelah dinyatakan sebagai
pemenang dapat mengajukan penetapan ke Pengadilan
Negeri untuk melakukan pengosongan sehingga tidak bisa
ajukan klaim ke bank atau KP2LN. Pembeli lelang tetap
dilindungi.
Peserta diberi waktu untuk bertanya bila ada hal-hal yang kurang jelas.
Setelah itu waktu selanjutnya diserahkan kepada Pejabat Lelang yang
juga memberikan penjelasan singkat sebelum membacakan risalah
lelang antara lain mengenai :
• Bea pajak BPHTB ..............5%
• Bea lelang pembeli ........... 1%
• Uang miskin ................... 0,4%
Formulir BPHTB (Bea Peralihan HakAtas Tanah dan Bangunan)
diambil di kantor Pajak dan bayar ke Bank Pemerintah setempat di kota
dimana letak tanah yang bersangkutan.
143
Risalah lelang diberikan 10 hari setelah hari lelang dan diserahkan
kepada pemenang lelang setelah BPHDP (tembusan lembar ke 3 dan 5
dari kantor DPP) diserahkan ke KP2LN/Pejabat Lelang.
Setelah penjelasan singkat ini kemudian oleh Pejabat lelang dibacakan
risalah lelang dengan menggabungkan risalah beberapa tanah yang akan
dilelang.
Setelah dibaca kemudian diberi kesempatan kepada para peserta lelang
untuk bertanya
Kemudian Pejabat Lelang tanya peserta lelang yang ada sudah
bayar/setor uang muka di bank tapi belum daftar supaya segera daftar.
Disampaikan oleh Pejabat Lelang disebutkan banyaknya peserta lelang
sesuai daftar yang ada hari ini dengan rincian banyak seperta sesuai
persil dengan nomor dan debitornya sesuai pengumuman lelang;
Untuk tanah sesuai dengan nomor urut pengumuman lelang yang tidak
ada peminatnya sehingga tidak perlu dibacakan, sehingga yang dibaca
hanya tanah yang ada peminatnya.
Setelah membaca kemudian Pejabat Lelang membuka amplop untuk
dilihat harga limit persil tersebut dan kemudian oleh Pejabat Lelang
dilakukan penawaran kepada peserta yang sudah mendaftar untuk
membeli persil tersebut. Panawaran dilakukan secara lisan dan naik-naik.
Penawar tertinggi kemudian ditetapkan sebagai pemenang lelang.
Kemudian dilanjutkan lagi dengan penawaran persil berikut kepada
pesertanya.
144
Bila persil yang ditawarkan kepada peserta ternyata tawaran tidak
sampai pada harga limit, maka penawaran ditutup.
Pelaksanaan lelang kemudian ditutup oleh Pejabat Lelang dan diserahkan
kembali kepada peserta penjual yang membawa acara.
Hasil penjualan ini kemudian disetorkan ke Bank Negara/Kreditor yang
mempunyai piutang tersebut dan kalau ada kelebihan, maka akan
diserahkan kepada Penanggung Hutang/Debitornya.
Bilamana hasil yang akan lelang tidak mencukupi untuk
pelunasannya karena penanggung hutang memang nyata-nyata tidak
mampu lagi, maka hasil lelang yang ada disetor ke Bank/Kreditor dengan
mengeluarkan Pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih
(PSBDT) dan bila debitor itu sudah mampu maka sisanya akan dibayar.
Penjualan dapat saja dilakukan tidak melalui lelang untuk pencairan
barang jaminan dan harta kekayaan milik Debitor yang dilakukan sendiri
oleh Debitor guna penyelesaian hutangnya. Untuk dapat menjual sendiri
barang jaminan, Debitor harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Kantor Pelayanan yang isinya : uraian barang yang akan dijual,
nilai penjualan, identitas calon pembeli dan cara pembayaran.
• Permohonan Penjualan Tidak Melalui Lelang dapat
diajukan oleh Debitor kepada Kantor Pelayanan pada
semua tingkat pengurusan dengan syarat permohonan
diterima Kantor Pelayanan selambat-lambatnya 14 hari
sebelum pelaksanaan lelang.
145
Pembayaran Penjualan Tidak Melalui Lelang dapat dilakukan secara
tunai maupun dengan angsuran. Apabila pembeli wanprestasi
terhadap syarat pembayaran maka persetujuan Penjualan Tidak Melalui
Lelang menjadi batal dan pembayaran yang sudah dilakukan
diperhitungkan sebagai pengurangan jumlah hutang.
Cara lainnya adalah dengan penebusan yaitu pencairan Barang
Jaminan yang dilakukan oleh Penjamin Hutang guna penyelesaian
hutang. Hal ini dilakukan karena penjaminlah yang memiliki
barang yang dijadikan jaminan hutang oleh Penanggung Hutang.
Untuk menebus barang jaminan, Penjamin Hutang harus
mengajukan permohonan secara tertulis dengan tujuan menebus
Barang Jaminan miliknya dengan nilai paling sedikit sama dengan
Nilai Pengikatan sebagai syarat.
Tahapan eksekusi dapat dilihat pada bagan berikut:
BAGAN PELAYANAN PIUTANG NEGARA
Surat
Paksa
Sita
Perintah
Penjualan
Brg Sitaan
Lelang
Tidak
Patuh
Patuh
Belum Lunas
Bayar Lunas
Sandera
Pernyataan
Bersama
Penetapan Jumlah
Piutang Negara
Tidak patuh/menolak
menandatangani PB
Patuh / memenuhi
Panggilan
Piutang Negara
untuk sementara
blm dpt ditagih
Panggilan I
Panggilan II
Pemeriksaan Fisik
Barang Jaminan
Pemblokiran Brg
Jaminan/Harta
Pencegahan
SP3N
KP2LN
Penyerah Piutang
146
Data hasil evaluasi pengurusan piutang negara di Kanwil V DJPLN
Semarang menunjukkan bahwa Outstanding piutang negara seluruh
KP2LN di wilayah kerja Kanwil V DJPLN Semarang per 2 Januari 2005
dari piutang perbankan sebesar Rp. 732,82 juta dan $ 4.349.012. Urutan
KP2LN yang memiliki outstanding piutang negara tertinggi adalah
KP2LN Semarang, diikuti KP2LN Banjarmasin, dan Surakarta, Tegal,
Purwokerto dan Yogyakarta.
Berdasarkan potensi nilai piutang negara yang diurus dan perolehan
hasil Tahun 2004 diusulkan target Kanwil Tahun 2005 yaitu sebesar
Rp. 84.125,25 juta atau 10,93% dari outstanding 31 Desember 2004
sebesar Rp.769.782,44 juta, namun demikian Kantor Pusat DJPLN
menetapkan target tahun 2005 sebesar Rp.112.810,24 atau 14,65% dari
outstanding piutang negara tahun 2005.
Hasil pengurusan piutang negara hanya mencapai 83,44% atau Rp.
94.130,19 juta dari target yang ditetapkan sebesar Rp. 112.810,24 juta
yang berasal dari perbankan sebesar Rp. 82.273,24 dan non perbankan
Rp. 11.846,94 juta.
Walaupun hasil pengurusan piutang negara belum mencapai target yang
ditetapkan kantor pusat DJPLN, tetapi realisasi tersebut telah melampui
target yang diusulkan Kanwil V DJPLN Semarang yaitu sebesar
118,89% dari Rp. 84.125 juta (sesuai dengan potensi piutang negara yang
diurus).
147
Hasil tertinggi penagihan piutang negara diperoleh untuk PT. BRI diikuti
dengan PT. Bank Jateng, Piutang Negara Non Perbankan, PT. BNI Tbk.,
PT. Bank Mandiri, PT. BTN.
Kegiatan administrasi pengurusan piutang negara sangat tergantung dari
potensi BKPN dan sumber daya manusia yang melakukan proses
pengurusan piutang negara dalam hal ini pemegang BKPN yang
bertanggungjawab mengelola BKPN sesuai ketentuan yang berlaku.
Diakui memang masih adanya kelambatan-kelambatan dalam
pelaksanaan dari tahap ke tahap pengurusan piutang negara yang
disebabkan sistim administrasi yang ada belum memenuhi informasi
percepatan pengurusan piutang negara dan permasalahan hukum yang
terjadi dalam pengurusan piutang negara.
Kendala/Permasalahan yang dihadapi :
1. Pengurusan Piutang Negara
a) Jumlah outstanding BKPN tidak didukung dengan kualitas
nilai jaminan yang memadai atau tidak didukung dengan
barang jaminan.
b) Jaminan yang status tanahnya belum bersertifikat,
mengalami kesulitan dalam permintaan Surat Keterangan
Tanah belum bersertifikat dari BPN sebagai syarat lelang.
c) Barang jaminan milik pihakketiga (bukan debitor) yang
belum secara sempurna. Akan mengalami kesulitan dalam
penerbitan SKT lelang.
148
d) Rendahnya penyerahan piutang macet terutama dari BNI
dan Bank Mandiri.
e) BKPN yang berpotensi masalah hukum terutama yang
berkaitan dengan masyarakat banyak tidak dapat
diselesaikan secara cepat, bahkan mengakibatkan resiko
tinggi bagi petugas.
2. Pelaksanaan Lelang
a) Permohonan Balai Lelang berkaitan dengan objek lelang yang
berada pada KP2LN di wilayah Kanwil V DJPLN Semarang yang
dilakukan pelelangannya di luar KP2LN di wilayah Kanwil V
DJPLN sangat mengurangi objek dan hasil lelang kanwil V DJPLN
sedangkan objek lelang Kantor Wilayah lain (seperti Kanwil IV dan
Kanwil VI) yang dilaksanakan di lingkungan Kanwil V di dominasi
kurang lebih 80 % lelang kayu jati sehingga kurang mendukung
target bea lelang karena tarif bea lelangnya kecil yaitu Rp. 100.000,-
b) Adanya keraguan dari bank-bank swasta untuk meminta pelaksanaan
lelang sesuai UUHT melalui KP2LN atau pengadilan. Keraguan
tersebut disebabkan karena belum adanya peraturan pelaksanaan
yang berkaitan dengan Pasal 6 UUHT dan tidak dimilikinya
kewenangan pengosongan oleh KP2LN.
c) Adanya pelunasan hutang atau lelang Hak Tanggungan yang
dimohon oleh Bank Mandiri sebelum pelaksasnaan lelang yang
mengakibatkan berkurangnya penerimaan hasil bersih dari bea
lelang.
149
d) Adanya pelunasan hutang atas lelang Hak Tanggungan yang
dimohon oleh Bank Mandiri sebelum pelaksanaan lelang yang
mengakibatkan berkurangnya penerimaan hasil bersih dan bea
lelang.
Upaya Pemecahan Masalah yang akan ditempuh antara lain:
1. Pengurusan Piutang Negara
a. Monitoring MOU dengan Penyerah Piutang.
b. Diberikan kesempatan untuk menjual sendiri barang jaminan di luar
lelang
c. Melakukan kordinasi dengan pihakterkait termasuk BPN.
d. Melakukan kordinasi dengan Penyerah Piutang agar menyerahkan
piutang macetnya apabila telah memenuhi kriteria macet sesuai
dengan ketentuan kolektibilitas kredit perbankan.
e. Memanfaatkan sarana dan prasarana pendukung kelancaran kerja
seefektif dan seefisien mungkin.
2. Pelaksanaan Lelang
a. Perlu diadakan pendidikan/sosialisasi khusus pejabat lelang dan
pemandu lelang.
b. Diusulkan terhadap objek lelang yang dimintakan lelang Balai
Lelang di wilayah kerja Kanwil V DJPLN tetap dilaksanakan
KP2LN yang bersangkutan.
c. Melaksanakan penggalian potensi lelang dengan melakukan
sosialisasi kepada Perhimpunan Bank Swasta se Jateng dan DIY
tentang lelang Pasal 6 UUHT.
150
Mengenai kegiatan Pengurusan Piutang Negara oleh KP2LN Semarang dan
Kanwil V DJPLN Semarang, dipaparkan pada tabel 1 dan tabel 2 berikut:
TABEL 1
KEGIATAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
KP2LN SEMARANG
SAMPAI DENGAN BULAN DESEMBER 2005
S.d. Bulan Desember 2005 Jumlah
No. Jenis Kegiatan Mandiri BRI BNI BTN BPD
1 Surat Penerimaan Pengurusan Piutang
Negara 2 254 11 0 59 326
2 Panggilan dan Panggilan Terakhir 31 597 20 14 147 809
3 Pernyataan Bersama 0 29 1 0 20 50
4 Peringatan PB 0 0 0 0 0 0
5 Penetapan Jumlah Piutang Negara 22 218 13 63 66 382
6 Surat Paksa 28 317 15 108 84 552
7 Berita Acara Penyampaian Surat Paksa 20 177 20 72 61 350
8 Surat Perintah Penyitaan 17 154 9 73 47 300
9 Berita Acara Penyitaan 18 132 9 75 26 260
10 Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan 13 190 14 71 14 302
11 Pengumuman/Pemberitahuan Lelang
PUPN 21 104 19 52 20 216
12 Pelaksanaan Lelang PUPN 16 76 11 51 14 168
13 Surat Pernyataan Lunas 9 160 5 137 73 384
14 Surat Pernyataan Selesai 3 52 4 7 10 76
15 Surat Perintah Pengangkatan Sita 0 8 0 88 0 96
16 Berita Acara Pengangkatan Sita 0 1 0 1 0 2
17 Surat Penetapan PSBDT 0 1 14 43 0 58
Jumlah 200 2470 165 855 641 4331
Sumber data : Kanwil V DJPLN Semarang
TABEL 2
151
KEGIATAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA KANWIL V DJPLN
SAMPAI DENGAN BULAN DESEMBER 2005
S.d. Bulan Desember 2005
No. Jenis Kegiatan
Mandiri BRI BNI BTN BPD
Jumlah
1 Surat Penerimaan Pengurusan Piutang
Negara 13 1431 44 46 175 1709
2 Panggilan dan Panggilan Terakhir 161 2567 79 94 350 3251
3 Pernyataan Bersama 13 298 11 4 67 393
4 Peringatan PB 0 0 0 0 0 0
5 Penetapan Jumlah Piutang Negara 143 1046 46 77 131 1443
6 Surat Paksa 141 1327 52 200 186 1906
7 Berita Acara Penyampaian Surat Paksa 129 1085 0 147 191 1552
8 Surat Perintah Penyitaan 70 856 47 140 153 1266
9 Berita Acara Penyitaan 69 957 29 141 133 1329
10 Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan 127 804 43 140 100 1214
11 Pengumuman/Pemberitahuan Lelang
PUPN 184 867 73 168 163 1455
12 Pelaksanaan Lelang PUPN 177 603 52 129 123 1084
13 Surat Pernyataan Lunas 41 830 19 196 192 1278
14 Surat Pernyataan Selesai 17 237 27 30 37 348
15 Surat Perintah Pengangkatan Sita 29 259 9 123 35 455
16 Berita Acara Pengangkatan Sita 6 9 0 1 0 16
17 Surat Penetapan PSBDT 33 10 15 75 0 133
Jumlah 1353 13186 546 1711 2036 18832
Sumber data : Kanwil V DJPLN Semarang
2. Keabsahan Nota Kesepakatan Kerjasama antara Bank Mandiri
dengan DJPLN untuk melakukan eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT
152
2.1. Isi Nota Kesepakatan Kerjasama
Nota Kesepakatan Kerjasama antara PT. Bank Mandiri dengan DJPLN
tentang pelaksanaan lelang objek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6
dengan nomor : NKB – 001/PL/2005 dan nomor : DIR.MOU/009/2005
isinya sebagai berikut :
Pada hari ini Senin tanggal 28 bulan Nopember tahun dua ribu lima,
yang bertanda tangan dibawah ini :
1. PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk berkedudukan dan berkantor pusat di
Jakarta yang didirikan berdasarkan hukum negara Republik Indonesia,
dalam hal ini diwakili oleh Agus Martowardojo selaku Direktur
Utama, oleh karena itu sah bertindak untuk dan atas nama PT. Bank
Mandiri (Persero) Tbk, selanjutnya disebut Bank Mandiri.
2. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan
Republik Indonesia berkedudukan di Jakarta, dalam hal ini diwakili
oleh Machfud Sidik selaku Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara Departemen Keuangan Republik Indonesia, selanjutnya
disebut DJPLN.
Dalam Nota Kesepakatan Kerjasama ini DJPLN dan Bank Mandiri
disebut sebagai “Para Pihak”.
Para Pihak menerangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa sesuai Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berada
Diatasnya yang selanjutnya dalam Nota Kesepakatan Kerjasama ini
disebut UUHT, Bank Mandiri selaku pemegang Hak Tanggungan
153
tingkat pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum;
2. Bahwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
DJPLN melalui unit operasionalnya yaitu KP2LN adalah satu-satunya
pihak yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan lelang
eksekusi termasuk lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT ;
3. Bahwa guna memperlancar dan mempercepat pelaksanaan lelang
objek Hak Tanggungan oleh DJPLN/KP2LN atas permohonan Bank
Mandiri berdasarkan Pasal 6 UUHT tersebut dipandang perlu untuk
dilakukan kerjasama secara terkoordinasi, efektif dan efisien serta
saling menghormati.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Para Pihak sepakat untuk
menandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama ini dengan ketentuanketentuan
sebagaimana diuraikan dibawah ini :
Bagian I
Tujuan
Pasal 1
Nota Kesepakatan Kerjasama ini bertujuan untuk mempercepat dan
mengoptimalkan pelaksanaan lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT oleh
DJPLN/KP2LN atas permohonan Bank Mandiri sebagai pemegang Hak
Tanggungan pertama.
Bagian II
Bentuk dan Prinsip Kerjasama
Pasal 2
154
Bentuk Kerjasama
1. Bank Mandiri akan melakukan inventarisasi dan pengkajian awal
yang berkaitan dengan pelelangan objek Hak Tanggungan
berdasarkan Pasal 6 UUHT yang akan diserahkan kepada
DJPLN/KP2LN.
2. Selanjutnya hasil evaluasi dan pengkajian sebagaimana disebut dalam
ayat (1) akan dilakukan penelitian oleh DJPLN/KP2LN untuk
ditetapkan jadwal lelangnya.
3. Dalam hal terdapat masalah-masalah yang memerlukan pertimbangan
dan atau keputusan pimpinan, maka masalah-masalah tersebut akan
dibahas dan diselesaikan secara bersama oleh tim Ad Hoc Bank
Mandiri dan DJPLN.
Pasal 3
Prinsip Kerjasama
1. Pelaksanaan lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT hanya dilakukan
terhadap objek Hak Tanggungan yang tidak bermasalah dengan ciriciri
yaitu :
a. Objek Hak Tanggungan tidak dalam gugatan/Verzet di pengadilan :
b. Tidak dibebani Hak Tanggungan oleh kreditor lain :
c. Semua dokumen untuk persyaratan lelang telah lengkap dan
mempunyai kebenaran formal.
Dokumen untuk persyaratan lelang Hak Tanggungan yang disebut
dalam poin c diatas adalah :
• Salinan / fotocopy perjanjian kredit;
155
• Salinan / fotocopy Sertifikat Hak Tanggungan dan Akta
Pemberian Hak Tanggungan;
• Salinan / fotocopy sertifikat hak atas tanah yang dibebani
Hak Tanggungan;
• Salinan / fotocopy bukti bahwa debitor wanprestasi yang
dapat berupa peringatan-peringatan maupun pernyataan dari
pejabat bank yang berwenang selaku kreditor;
• Surat Pernyataan diatas materai cukup dari Pejabat Bank
Mandiri yang berwenang selaku kreditor yang isinya akan
bertanggung jawab apabila ada gugatan.
2. Dalam hal objek Hak Tanggungan berupa tanah dan bangunan dalam
keadaan berpenghuni maka Pejabat Penjual dari Bank Mandiri harus
memberitahukan hal tersebut kepada peserta lelang.
3. Pelaksanaan lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT hanya dapat dilakukan
apabila dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dimuat janji
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf
e UUHT, yaitu apabila debitor cidera janji pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
4. Pengumuman lelang objek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6
UUHT dilakukan oleh Bank Mandiri sesuai dengan tata cara
pengumuman lelang eksekusi yaitu :
156
a. Pengumuman dilakukan dua kali berselang 15 (lima belas)
hari. Jangka waktu pengumuman lelang pertama ke
pengumuman lelang kedua sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) hari, dan diatur sedemikian rupa sehingga pengumuman
kedua tidak jatuh pada hari libur / libur besar;
b. Pengumuman pertama diperkenankan tidak menggunakan
surat kabar harian, tetapi dengan cara pengumuman melalui
tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan atau melalui
media elektronik termasuk internet. Namun demikian apabila
dikehendaki Penjual pengumuman pertama dapat dilakukan
dengan surat kabar harian;
c. Pengumuman kedua harus dilakukan melalui surat kabar
harian dan dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas)
hari sebelum hari pelaksanaan lelang.
5. Nilai limit untuk pelaksanaan lelang objek Hak Tanggungan
berdasarkan Pasal 6 UUHT ditetapkan oleh penjual berdasarkan hasil
penilaian dari penilai independen yang menjadi rekanan Bank
Mandiri.
6. Pejabat Bank Mandiri yang berwenang harus membuat surat
pernyataan diatas materai cukup bahwa debitor benar-benar
wanprestasi yang didukung dengan bukti-bukti antara lain berupa
surat peringatan kepada debitor.
7. Pejabat Bank Mandiri yang berwenang harus membuat surat
pernyataan diatas materai cukup bahwa Bank Mandiri selaku kreditor
157
pemegang Hak Tanggungan tingkat pertama akan bertanggung jawab
apabila dikemudian hari terdapat tuntutan atau gugatan atas
pelaksanaan lelang Pasal 6 UUHT.
8. Pejabat Bank Mandiri yang berwenang harus membuat pernyataan
diatas materai cukup bahwa Bank Mandiri selaku pemegang Hak
Tanggungan akan melepaskan Hak Tanggungan yang membebani
objek Hak Tanggungan apabila laku terjual melalui lelang.
9. DJPLN/KP2LN berhak menolak untuk melaksanakan lelang objek
Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT apabila tidak memenuhi
ketentuan dalam butir-butir diatas.
10. Pelaksanaan lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT ini dapat melibatkan
Balai Lelang untuk jasa pra lelang.
Bagian III
Ketentuan Lain
Pasal 4
1. Pelaksanaan Nota Kesepakatan, Kerjasama ini dilakukan dengan tetap
memberikan keleluasaan bagi Bank Mandiri untuk melaksanakan
penjualan sukarela/dibawah tangan atas agunan yang menjadi objek
Hak Tanggungan sesuai kesepakatan dengan pemberi Hak
Tanggungan berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan.
2. Hal-hal yang belum diatur dalam Nota Kesepakatan Kerjasama ini
akan diatur lebih lanjut berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
158
Pasal 5
Apabila terjadi perbedaan penafsiran oleh Para Pihak dalam proses
pelaksanaan Nota Kesepakatan Kerjasama ini, Para Pihak akan
menyelesaikan sesuai prinsip musyawarah untuk mufakat yang paling
menguntungkan bagi kepentingan kedua Para Pihak.
Pasal 6
Nota Kesepakatan Kerjasama ini berlaku sejak tanggal Nota Kesepakatan
Kerjasama ini dan dapat diakhiri oleh Para Pihak atas persetujuan tertulis
Para Pihak.
Pasal 7
Setiap komunikasi diantara Para Pihak yang berkaitan dengan Nota
Kesepakatan Kerjasama ini dilakukan secara tertulis dan disampaikan
pada alamat :
BANK MANDIRI : Plaza Mandiri, Jl. Gatot Subroto Kav.
36 – 38 Jakarta
DJPLN : Jl. Wahidin No. 1 Gedung D Lantai 10
Jakarta Pusat
2.2. Keabsahan Nota Kesepakatan Kerjasama
Dalam Pasal 6 UUHT ditegaskan : “apabila debitor cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
159
umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut”.
Hal ini berarti dengan berlakunya UUHT, tidak diperlukan lagi
proses berperkara di Pengadilan melalui suatu gugatan yang berakhir
dengan putusan yang kemudian dieksekusi setelah putusan tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap. Bahkan tidak diperlukan lagi
suatu fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri yang berwenang.
Dengan berlakunya UUHT, maka bagi kreditor/ pemegang Hak
Tanggungan pertama dari bank swasta sudah dapat langsung
menggunakan ketentuan Pasal 6 UUHT ini, bila debitor cidera janji.
Namun bagi Bank Pemerintah masih berlaku UU No. 49 Prp. Tahun
1960 yang mengharuskan kreditor / bank pemerintah untuk menyerahkan
piutangnya kepada PUPN untuk diurus sesuai ketentuan UU tersebut dan
peraturan pelaksanaannya.
Untuk memenuhi ketentuan Pasal 6 UUHT, DJPLN (semula
BUPLN) telah mengeluarkan Surat Edaran nomor: SE-23/PN/2000
tanggal 22 November 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
Hak Tanggungan. Isi Surat Edaran pada intinya sebagai berikut:
Lelang eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUHT
dapat dilaksanakan berdasarkan dua landasan yaitu:
a. 1. Pemegang Hak Tanggungan pertama menjual objek Hak
Tanggungan (jaminan) atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum sesuai Pasal 6 UUHT.
160
Berdasarkan Pasal 6 ini memberikan hak kepada Kreditor pemegang
Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri apabila Debitor pemberi Hak Tanggungan cidera
janji. Penjualan objek Hak Tanggungan tersebut pada dasarnya
dilakukan dengan cara lelang dan tidak memerlukan fiat eksekusi dari
Pengadilan mengingat penjualan berdasarkan Pasal 6 UUHT ini
merupakan tindakan pelaksanaan perjanjian. Pelaksanaan lelang
eksekusi berdasarkan Pemegang Hak Tanggungan pertama
dilaksanakan dengan memperhatikan:
1) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan harus dimuat janji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 jo. Pasal 11 ayat (2) huruf
e UUHT yaitu apabila debitor cidera janji pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
guna mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut.
2) Bertindak sebagai pemohon lelang adalah kreditor pemegang Hak
Tanggungan pertama.
3) Pelaksanaan lelang melalui Pejabat Lelang Kantor Lelang Negara.
4) Pengumuman lelang mengikuti tatacara pengumuman lelang
eksekusi.
5) Tidak diperlukan persetujuan Debitor untuk pelaksanaan lelang.
6) Nilai limit sedapat mungkin ditentukan oleh Penilai.
161
7) Pelaksanaan lelang Pasal 6 UUHT dapat melibatkan Balai Lelang
pada jasa pra lelang.
8) Dokumen persyaratan lelang antara lain terdiri dari:
• salinan/fotocopy Perjanjian Kredit.
• salinan/fotocopy Sertifikat Hak Tanggungan dan Akta
Pemberian Hak Tanggungan.
• salinan/fotocopy sertifikat hak atas tanah yang dibebani
Hak Tanggungan.
• salinan/fotocopy bukti bahwa Debitor wanprestasi yang
dapat berupa peringatan-peringatan maupun pernyataan
dari Pimpinan/Direksi Bank yang bersangkutan selaku
Kreditor.
• surat pernyataan dari Pimpinan/Direksi Bank yang
bersangkutan selaku Kreditor yang isinya akan
bertanggung jawab apabila terjadi gugatan.
b. Pemegang Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial yang
terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan menjual melalui
pelelangan umum sesuai Pasal 14 ayat (2) UUHT.
Apabila lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT (butir 1 diatas) tidak
dapat dilakukan karena Akta Pemberian Hak Tanggungan tidak
memuat janji sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 jo. Pasal 11 ayat
(2) huruf e atau karena adanya kendala/gugatan dari Debitor atau
dari pihak ketiga maka eksekusi dilaksanakan berdasarkan titel
eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan yang
162
memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
keputusan hakim yang tetap. Lelang berdasarkan titel eksekutorial
yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan pada dasarnya
dilakukan secara lelang dan memerlukan fiat eksekusi dari
Pengadilan. Pelaksanaan eksekusi / lelang ini dilakukan dengan
memperhatikan :
1) Bertindak sebagai pemohon lelang adalah Pengadilan Negeri.
2) Pelaksanaan lelang melalui Pejabat lelang Kantor Lelang Negara.
3) Pelaksanaan lelang mengikuti tata cara pengumuman lelang
eksekusi.
4) Tidak diperlukan persetujuan Debitor dalam pelaksanaan lelang.
5) Nilai limit sedapat mungkin ditentukan oleh Penilai.
6) Pelaksanaan lelang ini dapat melibatkan Balai Lelang pada jasa
pra lelang.
7) Dokumen persyaratan lelang antara lain terdiri :
• salinan/fotocopy penetapan aanmaning/teguran.
• salinan/fotocopy penetapan sita Pengadilan.
• salinan/fotocopy penetapan lelang Pengadilan.
• salinan/fotocopy perincian hutang atau jumlah yang dipenuhi.
• salinan/fotocopy surat pemberitahuan lelang pada termohon
eksekusi.
Dengan adanya Surat Edaran tentang petunjuk pelaksanaan
lelang Hak Tanggungan tersebut diatas, PUPN/DJPLN telah
163
melangkah maju dalam menyelesaikan piutang negara. Eksekusi
barang jaminan sebagai penyelesaian akhir tidak hanya berdasarkan
pada Pernyataan Bersama dan Surat Paksa tetapi mencari peluang
peluang atau memanfaatkan peraturan undang-undang yang ada yaitu
eksekusi lelang Hak Tanggungan sesuai UUHT1. Oleh karena itu
diharapkan, dengan adanya reorganisasi BUPLN menjadi DJPLN dan
adanya penyatuan organisasi Kantor Lelang Negara dalam satu
organisasi DJPLN diharapkan hambatan-hambatan eksekusi lelang
Hak Tanggungan dapat diatasi, sehingga para Kreditor pemegang Hak
Tanggungan pertama dapat memanfaatkan hak eksekusi tersebut
dengan mudah dalam rangka menyelesaikan kredit macet2.
Bank-bank Pemerintah ternyata tidak langsung menggunakan
Pasal 6 UUHT tersebut dalam prakteknya bila si debitor wanprestasi,
tetapi membuat suatu Nota Kesepakatan Kerjasama, seperti yang
dilakukan oleh Bank Mandiri dengan DJPLN untuk melakukan
eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT.
Sehubungan dengan adanya Nota Kesepakatan Kerjasama antara
Bank Mandiri dengan DJPLN sebagaimana tersebut di atas, maka Doni
Indarto mengemukakan bahwa MOU antara Bank Mandiri dengan
DJPLN dibuat dalam rangka proses lelang Hak Tanggungan, karena
Bank Mandiri mempunyai cabang yang ada di seluruh Indonesia, maka
dibuatlah satu MOU sekaligus untuk sekalian penjabarannya. Hal ini
1 Sutarno. 2004. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan. Bandung: Alfabeta. halaman 416
2 Ibid
164
dilakukan karena dari pendataan yang ada, barang jaminan yang akan
dilelang ada di seluruh Indonesia, karena itu di tingkat pusat dibuat
MOU dan penjabarannya di daerah dilakukan oleh masing-masing
cabang Bank Mandiri yang dikendalikan oleh tingkat pusat. Jadi MOU
ini tetap sah-sah saja menurut hukum dan tidak menyimpangi UU PUPN.
Yang jelas tujuannya adalah untuk mempercepat proses pelelangan
dengan menggunakan Pasal 6 UUHT, agar bisa menarik uang negara
dari masyarakat dengan cepat. Jadi ini hanya untuk segi praktisnya saja
agar lebih cepat3.
Menurut M. Sitompul, Penggunaan Pasal 6 UUHT oleh bankbank
pemerintah hanya untuk mempercepat penyelesaian piutang dan
sifatnya kasuistis. Bank-bank BUMN yang mengajukan permohonan
eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT bila bermasalah, maka prosesnya tidak
lagi mendasarkan pada Pasal 6 UUHT tetapi melalui proses PUPN
dengan menggunakan UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN kecuali,
bagi bank-bank swasta. Mestinya Bank-bank Pemerintah menggunakan
UU PUPN, namun karena mau cepat maka diperlukan Nota
Kesepakatatan Kerjasama (MOU) dengan DJPLN untuk mempercepat
pengembalian piutang negara. Sebenarnya hal ini merupakan suatu
penyimpangan tetapi penyimpangan dalam arti positif. Nota kesepakatan
kerjasama antara Bank Mandiri dengan DJPLN untuk melakukan lelang
berdasar Pasal 6 UUHT, ini adalah sah karena untuk mengurangi NPL
3 Wawancara dengan Doni Indarto. Kasi Dokumentasi dan Potensi Lelang KP2LN Semarang, tanggal
20 April 2006
165
nya. Di satu sisi kalau semua Bank-bank BUMN menggunakan Pasal 6
UUHT, maka kerjanya PUPN sudah tidak ada lagi.
Oleh karena itu untuk melakukan eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT, maka
syaratnya harus sudah ada kerjasama antara bank pemerintah tersebut
dengan DJPLN, kalau belum ada maka akan ditolak karena DJPLN tidak
berani mengambil risiko. Oleh karena itu kantor-kantor operasional tidak
akan berani, karena bila hal ini dilakukan berarti sudah melanggar ramburambu
yang ada4.
Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Broto Hastono,
bahwa MOU antara Bank Pemerintah dengan DJPLN/KP2LN : ini
didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam KUH
Perdata. Positifnya dengan adanya MOU untuk melakukan eksekusi
berdasar Pasal 6 UUHT adalah untuk mempercepat penyelesaian utangutang
yang berasal dari kredit macet5.
Pendapat lainnya menurut Andreas Haryanto, bahwa suatu perkara
kredit macet dari bank pemerintah sudah jelas cara penyelesaiannya yaitu
sesuai dengan UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN, harus
diserahkan kepada PUPN, tapi sekarang ini ada suatu perjanjian
kerjasama. Kalau tidak dengan perjanjian apakah tidak bisa? Masalahnya
ada disitu. Apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan DJPLN ini hanya
suatu kesepakatan saja antara para pihak untuk menyelesaikan masalah,
4 Wawancara dengan M. Sitompul. Bagian Informasi dan Hukum Kanwil V DJPLN Semarang,
tanggal 12 April 2006
5 Wawancara dengan Broto Hastono. Advokat pada Kantor Advokat Santotoso Triatman, SH dan
rekan di Semarang, tanggal 25 April 2006
166
tapi kalau perjanjian itu melanggar undang-undangnya maka, jelas tidak
bisa dikatakan sebagai legalitas untuk mengeksekusi tanpa melalui PUPN.
Kerjasama antara Bank Pemerintah dengan DJPLN diharapkan menjadi
payung hukum sehingga legal. Padahal kalau ada masalah akan
dikembalikan, ke banknya. Makanya hal ini sebenarnya, tidak
menyelesaikan suatu masalah, tapi bisa disadari hal itu. Mengapa bankbank
swasta maupun bank pemerintah mengambil suatu penerobosan
langsung untuk dilakukan pelelangan. Masalahnya, kalau melalui
pengadilan, jelas akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, makanya
tidak berarti bahwa penggunaaan Pasal 6 UUHT itu tidak baik, tapi
karena apaboleh buat mau melalui pengadilan sangat ruwet sekali,
sehingga kadang-kadang asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya
murah tidak pernah terwujud6.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Ignatius Ridwan Widyadharma,
bahwa nota kesepakatan kerjasama antara Bank Mandiri dengan DJPLN
adalah sah-sah saja, tapi seharusnya tidak perlu dilakukan kedua belah
pihak, karena pelaksanaan pelelangan ini sudah seharusnya menjadi tugas
kantor lelang untuk menerima berdasar UUHT karena itu pekerjaannya.
Perjanjian kerjasama ini berlebihan, karena tanpa kesepakatan kerjasama
ini pun seharusnya lelang harus berjalan, karena bunyi Pasal 6 UUHT
6 Wawancara dengan Andreas Haryanto. Advokat pada kantor Advokat D.Djunaedi, SH dan rekan di
Semarang, tanggal 28 April 2006
167
demikian. Oleh karena, lembaga yang berwenang melelang adalah
KP2LN atau Balai Lelang7.
Agung Setiawan, mengemukakan bahwa Pasal 6 UUHT ini
merupakan penerobosan hukum dalam arti positif dalam pengertian
sebagai jalan pintas untuk penyelesaian piutang yang tidak bertele-tele.
Hanya saja mengapa ada MOU ini yang perlu diteliti lagi, ada apa
sebenarnya sehingga muncul MOU antara bank-bank pemerintah tertentu
dengan DJPLN? Apakah untuk segi praktisnya saja?
Bilamana berkaitan dengan piutang negara, maka MOU nya sah-sah saja
agar uang negara dari kredit macet segera kembali8.
MOU yang dibuat antara DJPLN dengan bank pemerintah adalah sah
karena untuk mempercepat pelunasan piutang tetapi khususnya BPD
Jateng belum pernah dibuat MOU untuk melakukan eksekusi berdasar
Pasal 6 UUHT.
Dalam pelelangan langsung berdasar Pasal 6 UUHT bank
bertanggungjawab atas segala tuntutan yang muncul kemudian baik
secara perdata maupun pidana. Mau lelang berdasar Pasal 6 UUHT
tergantung banknya berani ataukah tidak? Soalnya masalah begini sensitif
atau rawan sekali karena kadang yang tidak terkait sering ikut-ikutan9.
7 Wawancara dengan Ignatius Ridwan Widyadharma, Advokat di Semarang, tanggal 9 Mei 2006
8 Wawancara dengan Agung Setiawan, Advokat di Semarang, tanggal 3 Mei 2006
9 Wawancara dengan Yuda Primanto. Bagian Kredit Bank BPD Jateng di Semarang pada tanggal 2
Mei 2006
168
3. Akibat Hukum Yang Timbul Sebagai Konsekuensi Dari Tugas PUPN
dan DJPLN/KP2LN Dalam Melaksanakan Eksekusi Hak Tanggungan
Konsekuensi dari tugas PUPN dan DJPLN/KP2LN dalam melaksanakan
eksekusi Hak Tanggungan/Pengurusan Piutang Negara dapat menimbulkan
akibat hukum terhadap Debitor/Penanggung Hutang, Kreditor dan terhadap
Pihak Ketiga.
3.1. Akibat Hukum Terhadap Debitor
3.1.1. Debitor Patuh
Debitor/Penanggung Hutang yang sudah menandatangani pernyataan
bersama dan atau yang ditetapkan jumlah piutangnya oleh PUPN, dan
merasa bertanggungjawab atas hutangnya akan membayar lunas
hutangnya. Pembayaran dapat dilakukan secara tunai maupun angsuran
sesuai dengan kesepatan dalam pernyataan bersama.
3.1.2. Debitor tidak patuh
Kemungkinan terjadi bahwa Debitor/Penanggung Hutang tidak patuh
terhadap pernyataan bersama yang sudah dibuat, atau Penetapan
Jumlah Piutang dari PUPN cabang, sehingga Panitia ini mengambil
tindakan sesuai tahap-tahap eksekusi yaitu mengeluarkan surat paksa,
surat perintah penyitaan barang jaminan Debitor/Penanggung Hutang
dan surat perintah penjualan barang sitaan atau pelelangan.
Disamping itu bagi debitor yang tidak patuh dan nakal, dapat dikenakan
cekal bila sering bepergian keluar negeri atau dikenakan tindakan paksa
badan.
169
Tindakan paksa badan dan pencegahan (cekal) dan paksa badan
merupakan upaya yang dilakukan PUPN dan DJPLN/KP2LN
terhadap diri debitor/penanggung hutang yang tidak patuh untuk
membayar hutangnya atau beritikad buruk dan diketahui mempunyai
harta kekayaan agar mau membayar hutangnya kepada negara.
Terhadap diri debitor yang mampu, tetapi tidak mempunyai itikad baik
untuk menyelesaikan kewajibannya dilakukan pencegahan untuk pergi
ke luar negeri. Pencekalan ini diusulkan oleh Ketua PUPN kepada
Menteri Keuangan dan selanjutnya dikordinasikan ke Imigrasi guna
dicekal, disamping itu juga pihak kepolisian juga diberi tembusan10
Tindakan Paksa badan ini dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.
Objek paksa badan adalah Penanggung Hutang, Penjamin Hutang,
pemegang saham dan ahli waris yang telah menerima warisan dari
Pananggung Hutang.
Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Paksa Badan setelah
memperoleh izin dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat, setelah
rencana paksa badan ini disetujui oleh Ketua Panitia Pusat.
Namun sampai sekarang paksa badan (gijzeling) belum pernah
dilakukan karena objek paksa badan harus ditempatkan pada suatu
tempat dan biayanya selama paksa badan dijalani disuatu tempat,
ditanggung oleh PUPN/DJPLN. Mengenai tempat ini bisa dititipkan ke
Lembaga Pemasyarakatan tapi biaya tetap ditanggung PUPN/DJPLN.
10 Wawancara dengan M. Sitompul. Bidang Informasi dan Hukum Kanwil V DJPLN Semarang,
tanggal 12 April 2006
170
3.1. 3. Debitor Keberatan
Bilamana Debitor/Penanggung Hutang keberatan karena merasa
dirugikan oleh tindakan PUPN dan DJPLN / KP2LN, maka akan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Hal ini nampak pada penanganan perkara di Pengadilan pada
lingkungan Kanwil V DJPLN Semarang pada periode Triwulan IV
Tahun 2005 yang berjumlah 180 perkara (172 perkara perdata dan 8
perkara TUN), dengan rincian penanganan sebagai berikut :
1. Kanwil V DJPLN : 22 perkara
2. KP2LN Semarang : 62 perkara
3. KP2LN Yogyakarta : 43 perkara
4. KP2LN Surakarta : 12 perkara
5. KP2LN Purwokerto : 24 perkara
6. KP2LN Banjarmasin : 12 perkara
7. KP2LN Tegal : 5 perkara
Pada umumnya gugatan ke Pengadilan Negeri terkait dengan
Perbuatan Melawan Hukum yang dianggap dilakukan Kreditor Bank
sebagai Penyerah Piutang Negara dan PUPN atau DJPLN/KP2LN.
Mengenai gugatan perbuatan melawan hukum dapat disimak dalam
perkara Penyelesaian Kredit Macet melalui BUPLN Perkara No.
18/Pdt.G/1997/PN.K.KP jo. No. 44/Pdt/1998/PT.PR. jo. No.
1748.K/Pdt/1999, yang duduk perkaranya sebagai berikut.
171
Bahwa perkara ini berawal dari kredit yang akhirnya tidak dapat
dibayar, dimana Yuseran Basran, seorang pengusaha, Direktur CV.
Travindo Pusat Kapuas yang berkedudukan di Jl. Jend. A Yani – Selat
Hilir – Kabupaten Kapuas, memerlukan dana tambahan kerja dan untuk
maksudnya itu ia telah menghubungi PT. Bank Rakyat Indonesia – BRI
(Persero).
Terjadi kesepakatan, dimana BRI memberikan kredit kepada Yuseran
Basran yang dituangkan dalam:
1. Perjanjian Membuka Kredit (PMK) tanggal 1 Juni 1994 dengan
perjanjian kredit Rp.40.000.000,- bunga 17 % per tahun provisi 1
% untuk jangka waktu 12 bulan dari Juni 1994 s/d Juni 1995.
2. Perjanjian Suplesi Kredit (PSK) tanggal 27 Agustus 1994 kredit
sebesar Rp.10.000.000,- dengan syarat yang sama.
3. Perjanjian Suplesi Kredit Rp.25.000.000,- tanggal 23 Februari
1995 dengan bunga 21 % pertahun, provisi 1 % dari jatuh tempo
menjadi tanggal 1 Juni 1996.
4. Dengan demikian nasabah Yuseran Basran memperoleh kredit
dari Bank BRI Kapuas sebesar Rp.75.000.000,- yang jatuh tempo
dilunasi 1 Juni 1996.
Jaminan kredit dari nasabah adalah beberapa bidang tanah yaitu sertifikat
hak milik no. 548 dan no. 1634 atas nama pemegang hak Yuseran Basran,
dan diikat dalam jaminan Crediet Verband.
Dengan berlakunya UUHT, maka diadakan Surat Perjanjian
Perubahan Pengikatan Jaminan, tanggal 7 November 1996 dari bentuk
172
Crediet Verband menjadi Hak Tanggungan No.104/1996 tanggal 19
November 1996 yang kemudian dilegalisir oleh Ketua Pengadilan Negeri
Kuala Kapuas No.1172/1996.
Pada saat jatuh tempo 1 Juni 1996 ternyata nasabah Yuseran Basran tidak
dapat membayar utangnya kepada BRI. Oleh karena itu PT BRI memberi
somasi 3 kali kepada nasabah Yuseran Basran agar dapat membayar
hutangnya. Surat somasi ke I tanggal 3 Januari 1997, ke II tanggal 24
Februari 1997 dan ke III tanggal 2 April 1997. Meskipun demikian
nasabah Yuseran Basran belum mampu membayar lunas hutangnya ke
BRI Cabang Kapuas.
Karena tidak dibayar hutangnya Yuseran Basran tersebut, maka Bank
BRI memutuskan kredit nasabah Yuseran Basran sebagai kredit macet
yang menurut UU No.49 Prp. Tahun 1960 jo S.K. Menteri Keuangan R.I.
No.293/KMK.09/1993 yaitu Penyelesaian Kredit Macet di bank
Pemerintah harus diserahkan kepada BUPLN.
Setelah kredit dinyatakan macet oleh BRI, maka perhitungan hutangnya
dihitung sebagai berikut:
- Hutang Pokok Rp. 75.000.000,-
- Bunga s/d September 1997
- Denda atas kelambatan pembayaran
hutang (Penalty 50 % dari suku bunga) Rp. 52.709.544,-
Total hutang Rp.127.709.544,-
- Jumlah hutang nasabah Yuseran Basran masih ditambah
10 % bea administrasi BUPLN Rp. 12.770.954,-
173
Total seluruhnya Rp. 140.480.498,-
Penyelesaian hutang nasabah Yuseran Basran resmi menjadi urusan
BUPLN Cab. Palangkaraya dengan surat Bank BRI Oktober 97 No. 2558-
X-KC/PLK/09-1997.
BUPLN memanggil nasabah debitor Yuseran Basran untuk
menyelesaikan pembayaran hutangnya dengan jumlah tersebut diatas
kepada negara namun ditolaknya dengan karena hutang pokoknya hanya
Rp.75.000.000,-. Dengan demikian tidak ada kesepakatan antara Yuseran
Basran dan BUPLN, sehingga tidak ada dan tidak ditandatangani Surat
Pernyataan Bersama, karena jumlah hutang masih disengketakan dan
tidak disetujui serta belum pasti.
BUPLN berdasar SK Menteri Keuangan RI. No. 293/KMK.09/1993,
diterbitkan SK No. 52/PUPNC/III.09/1997, yang isinya menetapkan
sendiri secara sepihak jumlah hutangnya Debitor Yuseran Basran sebesar
Rp.140.480.498,- yang wajib dibayar lunas;
Pihak debitor menolak SK dari PUPN tersebut dan menolak
membayarnya, karena belum ada pernyataan bersama tentang jumlah
hutang yang disepakati kedua pihak.
BUPLN kemudian menerbitkan:
- Surat Perintah Penyitaan Barang Jaminan
- Berita Acara Penyitaan Barang Jaminan
- Surat Paksa
- Surat Perintah Penjualan Sitaan
174
- Pengumuman lelang barang sitaan yang isinya barang-barang
tanah jaminan milik debitor Yuseran Basran akan dijual lelang
tanggal 16 Desember 1997.
Nasabah/debitor Yuseran Basran keberatan atas tindakan hukum dari
BUPLN Cabang Kapuas diatas dan karena jalan musyawarah tidak dapat
menyelesaikan masalah tersebut, maka Yuseran Basran dan istrinya
Zamrud melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan perdata di
pengadilan Negeri Kuala Kapuas terhadap Para Tergugat:
1. PT BRI (Persero) Cab. Kuala Kapuas sebagai Tergugat.
2. Pemerintah RI Cq Dep Keu RI Cq BUPLN Wil III Jakarta Cq.
Kantor Pengurusan Piutang Negara Palangkaraya sebagai
Tergugat II
Tuntutan dalam surat gugatan pada pokoknya sebagai berikut :
I. Dalam Provisi:
1. Memeriksa perkara ini secara dipercepat.
2. Melarang Tergugat II untuk selama pemeriksaan perkara ini
berlangsung untuk menangguhkan pelaksanaan tindakan
pelanggaran atas barang-barang milik Penggugat sesuai dengan
pengumuman lelang II dengan ketentuan bila dilanggar Tergugat II
dihukum uang paksa (dwangsoom) Rp.100.000.000,- yang dapat
ditagih dengan segera.
3. Menyatakan putusan Provisi ini dapat dijalankan lebih dulu.
II. Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan seluruhnya.
175
2. Menyatakan Perbuatan Tergugat ke I adalah Perbuatan
Melawan Hukum (onrechtmatige daad).
3. Menyatakan sebagai hukum bahwa Perbuatan Tergugat ke II
sebagai Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa
(onrechtmatige overheids daad) dengan segala akibat
hukumnya.
4. Menyatakan sebagai hukum:
Surat PUPN Cab. Palangkaraya Kep. 052/PUPNC/III,09/1997
tentang penetapan jumlah piutang negara atas Yuseran Basran
tanggal 10 Oktober 1997.
Surat Paksa No. SP073/1997 tanggal 11 Oktober 1997.
Surat Perintah Penyitaan No.SPP.095/1997.
Berita Acara Pernyataan No. BAP.095/1995.
Surat Perintah Penjualan Barang Barang Sitaan semuanya
tidak mempunyai kekuatan hukum atau : Buiten effect gesteld.
5. Menghukum tergugat I dan tergugat II secara tanggung
renteng maupun sendiri-sendiri untuk membayar ganti rugi
kepada penggugat akibat perbuatan melanggar hukum uang
Rp.200.000.000,-
6. Memerintahkan Pengangkatan sita atas tanah dan rumah yang
dilakukan oleh Jurusita pada KP3N Palangkayara.
7. Memberi keadilan untuk ditetapkan berapa jumlah hutang
Penggugat kepada Tergugat I Bank Rakyat Indonesia Cab.
Kuala Kapuas.
176
8. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dulu, meskipun
ada perlawanan, banding, kasasi.
9. Menghukum tergugat membayar biaya perkara.
Atau: Setidak-tidaknya memberi putusan lain yang patut dan adil
dalam peradilan yang baik – ex aequo et bono.
Atas permohonan Provisi dari penggugat, maka Ketua pangadilan Negeri
Kuala Kapuas mengabulkannya dan memerintahkan ke PUPN untuk
menunda lelang barang Penggugat.
Dalam persidangan yang ditentukan, hadir kuasa hukum penggugat : Drs.
H.M. Fachru Daemas, AS.SH.MBA.Ph.D., sedang Tergugat I hadir kuasa
hukumnya Heru Santoso, SH. Dkk. dan Tergugat II hadir kuasanya :
Hanafi Ruchiyat Mutasar.
Karena usaha Pengadilan Negeri untuk mendamaikan kedua pihak yang
bersengketa ternyata tidak berhasil, maka pihak Tergugat diberi
kesempatan memberikan jawabannya atas gugatan tersebut.
Para Tergugat dalam memberi jawaban atas materi pokok sengketa yang
isinya menyangkut dalil-dalil gugatan Penggugat, didahului pula dengan
mengajukan eksepsi.
Eksepsi yang diajukan Tergugat I intinya sebagai berikut :
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Kuala Kapuas yang menunda
pelelangan barang sitaan debitor tidak sah, karena ditetapkan tanpa
melalui persidangan dan pihak Tergugat tidak pernah didengar.
177
- Penggugat keliru menyusun gugatan, sebab keberatan terhadap
lelang, seharusnya diajukan perlawanan (verzet) bukan dalam
bentuk “gugatan”.
- Kredit yang macet menurut UU No. 49 Prp 1960 oleh BRI telah
diserahkan kepada PUPN, sehingga BRI tidak seharusnya digugat,
gugatan terhadap BRI, salah alamat.
- Gugatan Penggugat tidak jelas (obscuur libel). Dalam surat
gugatan tidak disebutkan apa kesalahan pihak BRI, tiba-tiba dalam
petitumnya : Tergugat I – BRI – mohon Pengadilan Negeri untuk
dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum.
- Gugatan yang kurang pihak Tergugatnya yaitu tidak mengikut
sertakan Kantor Lelang Negara Palangkaraya/Kantor Lelang
Kuala Kapuas sebagai pihak Tergugat.
- Penggugat menuntut agar Keputusan PUPN a’quo dinyatakan
tidak berkekuatan hukum. Hal ini berarti perkara ini bukan
wewenang Pengadilan Negeri melainkan Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Para Tergugat mengajukan gugatan rekonpensi.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili gugatan ini, dalam
putusannya memberi pertimbangan hukum yang inti pokoknya sebagai
berikut :
- Sebelum gugatan ini diperiksa oleh Majelis hakim, dengan surat
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Kuala Kapuas telah menunda
178
pelelangan. Hal in merupakan wewenang Ketua Pengadilan
Negeri dan majelis tidak perlu mempertimbangkan lagi.
- Permohonan putusan Provisionil karena tidak diajukan alasan
positanya, maka gugatan provisionil dinyatakan tidak dapat
diterima;
- Mengenai eksepsi yang diajukan baik oleh Tergugat I maupun
Tergugat II, semuanya dinyatakan ditolak oleh Majelis;
- Mengenai materi pokok perkara, Majelis Hakim berpendirian
sebagai berikut:
- Menilik dari Surat Gugat dan jawaban para Tergugat serta suratsurat
bukti, membuktikan bahwa jenis hutang/kredit ini bukan
merupakan jenis hutang yang dapat diterbitkan suatu grosse akta
yang berpotensi eksekutabel, karena kreditnya dilakukan lebih
dari satu kali dan jumlahnya juga selalu berubah-ubah.
- Menurut Penggugat jumlah hutangnya Rp.75.000.000,- namun
dilain pihak menurut Tergugat jumlah hutang Penggugat adalah
Rp. 127.709.544,- sementara itu menurut APHT (Akta Pemberian
Haktanggungan) hutang Penggugat tercantum Rp. 40.000.000,-
demikian pula pada SHT (Sertifikat Hak Tanggungan).
Seharusnya dalam SHT sudah dicantumkan jumlah hutang
Penggugat secara pasti, bukan hanya disebut Rp. 40.000.000,-
- Dari fakta tersebut, Majelis berpendapat, bahwa keberatan
Penggugat tentang perbedaan jumlah hutang dapat difahami, yang
akhirnya Penggugat menolak menandatangani “Surat Pernyataan
179
Bersama” yang berisi kesepakatan jumlah hutang yang dibuat oleh
BUPLN.
- Oleh karena itu, maka jumlah hutang Penggugat dapat dikatakan
belum pasti, sehingga penyelesaiannya harus melalui suatu
gugatan di Pengadilan, sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 12
ayat (2) UU No. 49 Prp. 1960, sehingga kredit macet ini tidak
dapat langsung dieksekusi melainkan harus melalui proses
gugatan, vide Putusan MA-RI No. 206 K/Pdt/1984 dan No. 1310
K/Pdt/1985 ; yang kaidah hukumnya : “Grosse akta yang jumlah
hutangnya tidak sama dengan yang tercantum didalamnya adalah
besarnya kredit belum final, karena itu tindakan hukum oleh
PUPN (Tergugat II) dalam perkara ini adalah tidak sah.
- Perbuatan Tergugat I yang menyerahkan penyelesaian kredit
macet kepada Tergugat II adalah bertentangan dengan kewajiban
hukum Tergugat I, sehingga perbuatannya dikategorikan sebagai
perbuatan melanggar hukum.
- Demikian pula perbuatan Tergugat II yang menerima penyerahan
penyelesaian kredit macet dari Tergugat I yang bertentangan
dengan hukum tersebut serta tindakan lanjutan dari Tergugat II
(Surat Paksa-surat sita, surat lelang) adalah tidak sah, sehingga
Tergugat II melakukan : Perbuatan Melanggar Hukum dari
Penguasa.
- Menurut Pasal 1365 BW pihak yang melakukan perbuatan
melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi.
180
- Penggugat dalam merumuskan tuntutan ganti ruginya adalah tidak
jelas, tidak nampak perhitungan secara rinci serta tidak kelihatan
hal-hal yang menimbulkan perasaan yang tidak mengenakkan, lagi
pula kaidah yang dilanggar, tidak untuk melindungi kepentingan
yang dirugikan (Penggugat), karena bagaimanapun juga hutang
tetap hutang dan harus dibayar. Karenanya perbuatan melanggar
hukum dari Tergugat mesti menimbulkan kerugian, akan tetapi
tidak mengakibatkan adanya ganti rugi.
- Segala tindakan tergugat tentang penyelesaian kredit macet ini
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka penyitaan
barang harus diangkat.
- Mengenai gugatan rekonpensi, Majelis berpendapat bahwa apa
yang menjadi dasar gugatan rekonpensi ini adalah tidak jelas,
apakah wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum, sehingga
gugatan rekonpensi ini harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Berdasar atas pertimbangan di atas, Majelis memberi putusan sebagai
berikut :
Mengadili:
Dalam Provisi:
Menyatakan gugatan provisionil tidak dapat diterima.
Dalam Eksepsi:
Menolak eksepsi para Tergugat I dan II.
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan untuk sebagian.
181
- Menyatakan perbuatan Tergugat I sebagai perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad)
- Menyatakan sebagai hukum (verklaard voor recht) perbuatan Tergugat
II sebagai perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh penguasa
dengan segala akibat hukumnya.
- Menyatakan sebagai hukum (verklaard voor recht) bahwa:
1. Surat PUPN Cab. Palangkaraya No. Kep.
052/PUPNC/III/09/1997 tentang Penetapan jumlah piutang
negara atas nama Yuseran Basran tanggal 10 Oktober
1997.
2. Surat Paksa No.SP073/PUPNC/III/09/1997.
3. Surat Perintah Penyitaan No.SPP.095/1997.
4. Berita Acara Penyitaan No. BAP.095/1997.
5. Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan No. SPPBS. 109-
1997.
Semuanya tidak mempunyai kekuatan hukum.
- Memerintahkan pengangkatan sita atas tanah dan rumah yang telah
dilakukan oleh jurusita pada KP3N Palangkaraya tanggal 25 Oktober
1997 Nomor: BAP-095 BAP/WPN.03/KP.04/1997;
- Membebankan biaya perkara yang timbul kepada Tergugat I dan
Tergugat II secara tanggung renteng sebesar Rp. 107.000,- (seratus tujuh
ribu rupiah);
Dalam Rekonpensi:
- Menyatakan gugatan rekonpensi tidak dapat diterima.
182
- Membebankan biaya perkara yang timbul dalam gugat rekonpensi
kepada Pengugat rekonpensi (Tergugat I konpensi) sebesar Nihil.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas ini diajukan
banding oleh Tergugat I/Pembanding I dengan memori bandingnya yang
kemudian diberikan pertimbangan hukumnya yang antara lain sebagai
berikut.
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding yang diajukan oleh
Tergugat I/Pembanding I dan Penggugat/Pembanding II dalam tenggang
waktu dan menurut cara-cara yang ditentukan oleh Undang-undang, maka
permohonan banding tersebut dapat diterima;
Menimbang, bahwa setelah Pengadilan Tinggi dengan seksama
mempelajari dan memeriksa berkas perkara yang terdiri dari berita acara
pemeriksaan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas, surat-surat bukti dan
segala surat-surat yang bersangkutan dengan perkara ini serta salinan
resmi putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas tanggal 30 Juli 1998
Nomor : 18/Pdt.G/1997/PN.K.KP. mapupun memori banding yang
diajukan Tergugat I/Pembanding I sedangkan Penggugat/Pembanding II
tidak mengajukan memori banding ataupun kontra memori banding maka
Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum dan
amar putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas aquo dengan dasar
pertimbangan sebagai berikut :
Dalam Konpensi :
Dalam Provisi :
183
Menimbang, bahwa jika diperhatikan tuntutan provisional Penggugat-
Terbanding/ Pembanding II ternyata bahwa tuntutan provisional tersebut
tanpa didasari oleh alasan hukum yang mendesak dan tuntutan provisional
tersebut sangat erat hubungannya dengan pokok perkara oleh karena itu
tuntutan provisional tersebut harus ditolak;
Dalam Eksepsi :
Menimbang, bahwa Tergugat I/Pembanding I dalam eksepsinya
menyatakan antara lain:
Bahwa gugatan Penggugat Terbanding/Pembanding II pada dasarnya
adalah keberatan terhadap eksekusi pelelangan barang jaminana hutang
yang akan dilaksanakan oleh kantor lelang negara Palangkaraya;
Keberatan terhadap eksekusi pelelangan harus diajukan dalam bentuk
perlawanan dan bukan dalam bentuk gugatan biasa;
Menimbang, bahwa Penggugat terbanding juga mengakui bahwa telah
terjadi tunggakan kredit atau kredit macet karena Penggugat Terbanding
tidak dapat mencicil;
Menimbang, bahwa oleh karena kredit tersebut macet maka Bank Rakyat
Indonesia telah menyalurkan kredit macet tersebut ke kantor Panitia
Urusan Piutang Negara;
Menimbang, bahwa berdasarkan surat bukti P.5 dan P.6 Panitia Urusan
Piutang Negara telah melakukan pemanggilan terhadap Penggugat
Terbanding untuk mengadakan penyelesaian kredit macet tersebut;
Menimbang, bahwa oleh karena tidak ditemukan penyelesaiannya, maka
Panitia Urusan Piutang Negara sesuai dengan surat bukti P.11
184
mengeluarkan perintah penyitaan terhadap jaminan hutang tersebut dan
menurut surat bukti P.15 akhirnya Panitia Urusan Piutang Negara pada
tanggal 7 Nopember 1997 mengeluarkan perintah penjualan barang sitaan
tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan surat bukti P.16 Panitia Urusan Piutang
Negara telah meminta waktu pelelangan barang sitaan tersebut kepada
kantor Lelang Klas II Kapuas;
Menimbang, bahwa menurut surat bukti T.II.16 dan T.II.17 kantor
Pejabat Lelang klas II Kapuas telah mengeluarkan pengumuman lelang ke
I dan ke II;
Menimbang, bahwa di saat akan dilaksanakan eksekusi pelelangan oleh
kantor Pejabat Lelang klas II Kapuas, Penggugat Terbanding sebagai
pihak tereksekusi mengajukan gugatan ini;
Menimbang, bahwa sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 31
Agustus 1977 Nomor : 697 K/Sip/1974 bahwa keberatan terhadap
pelelangan harus diajukan oleh tereksekusi lelang dalam bentuk
perlawanan dan bukan dalam bentuk gugatan;
Menimbang, bahwa disamping itu berdasarkan surat bukti T II/16 dan T
II/17 (pengumuman ke I dan ke II) maka sebagai pihak yang telah
mengumumkan lelang tersebut maka seharusnya kantor Lelang Negara /
kantor Pejabat Lelang kelas II Kapuas harus pula digugat;
Menimbang, bahwa oleh karena pinjaman Penggugat Terbanding
tergolong kredit macet maka Bank Rakyat Indonesia sesuai dengan Pasal
12 UU Nomor 49 Prp 1960 mesti menyalurkannya kepada Panitia Urusan
185
Piutang Negara, dengan demikian Bank Rakyat Indonesia tidak dapat
dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum oleh pejabat;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan dan alasan-alasan yang
diuraikan di atas Pengadilan Tinggi sependapat bahwa eksepsi yang
diajukan oleh Tergugat I/Pembanding I beralasan karena itu haruslah
dikabulkan dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
Menimbang, bahwa oleh karena dalam pokok perkara gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima maka gugatan rekonpensi harus pula dinyatakan tidak
dapat diterima;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan serta alasan-alasan yang
diuraikan di atas, Pengadilan berpendapat putusan Pengadilan Negeri
Kuala Kapuas tanggal 30 Juni 1998 Nomor : 18/Pdt.G/1997/PN.K.Kp.
yang dimohonkan bandingnya tidak dapat dipertahankan lagi dan harus
dibatalkan serta Pengadilan Tinggi akan mengadili sendiri perkara ini
dengan putusan yang amarnya seperti tersebut di bawah ini;
Menimbang, bahwa Penggugat Terbanding adalah pihak yang kalah maka
ia harus dibebani membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan;
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya ini oleh Penggugat
Terbanding telah diajukan kasasi.
Mahkamah Agung dalam perkara ini memberikan pertimbangan hukum
sebagai berikut.
Menimbang, bahwa permohonan kasas aquo beserta alasan-alasannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama diajukan dalam
186
tanggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang-undang,
maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formil dapat diterima;
Menimbang, bahwa terlepas dari keberatan-keberatan kasasi yang kan
oleh Pemohon kasasi, maka menurut Mahkamah Agung, Judex Facti telah
salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:
1. Hutang para Penggugat kepada Tergugat I (BRI Cabang Kuala Kapuas)
dijamin pelunasannya dengan “Hak Tanggungan” (bukti T-1.8) terdiri
dari “Sertifikat Hak Tanggungan”; “Buku Tanah Hak Tanggungan” dan
“Akata Pemberian Hak Tanggungan”, maka dalam penyelesaian hutang
tersebut yang harus diperlakukan adalah Undang-undang No. 4 Tahun
1996 tentang “UUHT”;
2. Para Penggugat ternyata tidak dapat melunasi hutangnya (cidera janji)
dalam jangka waktu yang telah ditentukan (per 1 Juni 1996), maka
berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 tahun 1996,
Tergugat I berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri yang pelaksanaannya diserahkan kepada Tergugat II
(Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara);
3. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka perbuatan Tergugat I dan
Tergugat II adalah sah menurut hukum;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka
menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon kasasi :
Yuseran Basran dan kawan tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan
187
Tinggi Palangkaraya tanggal 29 Oktober 1998 No.44/Pdt/1998/PT.PR.
dan putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas tanggal 30 Juni 1998 No.
18/Pdt.G/1997/PN.K.Kp. sehingga Mahkamah Agung akan mengadili
sendiri perkara ini yang amarnya berbunyi seperti tersebut di bawah ini;
Menimbang, bahwa oleh karena pemohonan kasasi dikabulkan dan
gugatan penggugat ditolak, maka para Pemohon kasasi/Penggugat asal
dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 14 tahun 1970 dan
Undang-Undang No. 14 tahun 1985 yang bersangkutan;
Mengadili:
Mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon kasasi 1. Yuseran
Basran, 2. Zambrud tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya tanggal 29
Oktober 1998 No. 44/Pdt/1996/PT.PR dan Putusan Pengadilan Negeri
Kuala Kapuas tanggal 30 Juni 1998 No. 18/Pdt. G/1997/PN.K.Kp.
Mengadili sendiri:
Dalam Konpensi:
Dalam provisi:
menolak gugatan Provisi Para Penggugat;
Dalam Eksepsi:
menolak Eksepsi dari Tergugat I dan Tergugat II;
Dalam Pokok Perkara:
menolak gugatan Para Penggugat seluruhnya;
Dalam Rekonpensi:
188
Menyatakan gugatan Penggugat dalam/Tergugat I tidak dapat diterima;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi:
Menghukum para Pemohon kasasi/para Penggugat asli untuk membayar
biaya perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi
ini ditetapkan sebanyak Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah);
Disamping gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri
sebagaimana tersebut di atas, Debitor yang merasa dirugikan karena
tindakan PUPN/KP2LN yang tidak sesuai prosedur administrasi dalam
tahapan-tahapan aksekusi dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Gugatan di PTUN terhadap PUPN/KP2LN pasti ada dan mempunyai
potensi besar sekali untuk digugat karena PUPN dan DJPLN/KP2LN
menjalankan tugas di bidang publik dan kebanyakan mengenai prosesnya
misalnya pengumuman lelang baru satu kali padahal mestinya 2 (dua) kali
juga lamanya waktu pengumunan ternyata kurang dari 15 (;ima belas) hari
dan lain-lainnya11.
Mengenai gugatan di PTUN, dari data yang ada diketahui bahwa di
lingkungan Kanwil V DJPLN Semarang terdapat 8 (delapan) perkara
diantaranya 2 (dua) gugatan untuk Kanwil V DJPLN dan sekarang dalam
tahap pemeriksaan di Mahkamah Agung, 2 (dua) gugatan untuk KP2LN
Semarang, dimana satu berkas dalam pemeriksaan di Pengadilan Tnggi
TUN dan satu berkas di periksa di Mahkamah Agung, gugatan untuk
11 Wawancara dengan Doni Indarto, Kasi Dokumentasi dan Potensi Lelang KP2LN Semarang tanggal
20 April 2006.
189
KP2LN Purwokerto ada 1 (satu) perkara, saat ini masih dalam pemeriksaan
di Mahkamah Agung dan KP2LN Banjarmasin ada 3 (tiga) perkara, 2
(dua) berkas perkara masih diperiksa di tingkat Pengadilan Tinggi TUN
dan satu lagi masih diperiksa di Mahkamah Agung.
3.2. Akibat Hukum Terhadap Kreditor
3.2.1. Kreditor Merasa Puas atas Pengurusan Piutang Negara
Bila PUPN melaksanakan pengurusan piutang negara/eksekusi Hak
Tanggungan secara cepat dan kerugian negara ini dapat dikembalikan
kepada bank selaku Kreditor yang menyerahkan piutang, maka pihak
bank sebagai kreditor tentu akan puas dengan hasil kerja
PUPN/KP2LN. Dengan demikian, pihak bank akan selalu menyerahkan
Berkas Kasus Piutang Negaranya untuk diselesaikan oleh
PUPN/KP2LN.
3.2.2. Kreditor Merasa Tidak Puas Atas Pengurusan Piutang Negara
Proses pengurusan piutang negara termasuk eksekusi Hak Tanggungan
melalui PUPN/DJPLN ternyata memerlukan waktu yang lama dan
upaya pengembalian kerugian negara sering menimbulkan masalah
baru. Keadaan demikian membuat bank-bank BUMN merasa tidak puas
dengan hasil kerja PUPN/KP2LN disamping itu kredit bermasalah terus
bertambah, sehingga perlu dicarikan jalan keluarnya.
Dengan berlakunya UUHT, sebenarnya bank-bank BUMN yang ada
jaminan Hak Tanggungan akan lebih memilih untuk menggunakan
ketentuan Pasal 6, karena langsung melelang atas kekuasaan sendiri bila
190
debitor wanprestasi, tanpa menyerahkan ke PUPN berdasar UU No. 49
Prp. Tahun 1960.
Perkembangan kredit bermasalah dari bank BUMN terus meningkat
sehingga perlu dicarikan solusinya.
Dalam Harian Kompas, disebutkan bahwa salah satu ketentuan
yang sering dipersalahkan atas terjadinya peningkatan kredit
bermasalah atau non performing loan (NPL) adalah PBI No.
7/2/PBI/2005 yang mensyaratkan penetapan kualitas yang sama bagi
penyediaan dana yang diberikan kepada debitor atau proyek yang sama
(uniform classification system). Namun, berdasarkan hasil penelitian,
kontribusi PBI tersebut terhadap peningkatan NPL perbankan hanya
sekitar 9 persen. Deputi Gubernur senior Bank Indonesia Miranda S
Goeltom mengatakan, BI mendukung berbagai inisyatif yang
dilaksanakan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan NPL
khususnya pada bank BUMN.
Sekretaris Menteri Negara BUMN M. Said Didu, selasa (25 April),
mengatakan pemerintah memutuskan untuk merevisi Peraturan
Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang penyelesaian piutang negara
dan Keputusan Menteri Keuangan No. 61 Tahun 2002 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara. Langkah itu dilakukan untuk untuk
memperlancar penyelesaian NPL di bank BUMN. Menurut Said, dalam
revisi tersebut akan ditegaskan bahwa piutang BUMN bukanlah piutang
negara sehingga tidak berlaku rezim pengelolaan piutang negara
terhadap piutang BUMN. Selanjutnya, piutang BUMN ditangani secara
191
rezim korporasi. Ini berarti bank BUMN sudah bisa melakukan hapus
tagih atau penjualan pada harga diskon (haircut) atas piutangnya
sepanjang disetujui rapat umum pemegang saham (RUPS). Bank
BUMN juga diperbolehkan mengalihkan NPL kepada pihak ketiga
tanpa harus melalui Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
(DJPLN).
Direktur utama Bank Mandiri Agus Martowardojo mengatakan,
keputusan pemerintah tersebut akan membuat penyelesaian NPL di
bank BUMN relatif lebih mudah. Dengan adanya harga diskon, debitor
akan terbantu dalam melunasi kreditnya. Namun Agus menilai
pemberian kewenangan harga diskon belum cukup mengakselerasi
penyelesaian NPL Bank Mandiri yang mencapai Rp.26,6 triliun. Bank
Mandiri masih membutuhkan landasan hukum tentang pembentukan
badan hukum khusus yang akan mengambil alih NPL. Salah satu tugas
badan ini adalah melakukan sekuritisasi NPL Bank Mandiri.
Penyelesaian NPL dalam jumlah besar, paling cepat dan efektif
dilakukan dengan sekuritisasi. Jika dilelang satu persatu ke investor
besar, akan membutuhkan waktu lama, kata sekretaris Perusahaan bank
Mandiri Ekoputro Adijayanto12.
Dalam Harian Seputar Indonesia, antara lain dijelaskan bahwa
rencana pemerintah merevisi dua aturan itu terkait dengan penegasan
bahwa piutang bank BUMN bukan merupakan piutang negara sehingga
12 Harian Kompas, “BI: Aturan Bukan Pemicu NPL Bank BUMN Diperbolehkan Mengalihkan NPL
kepada Pihak Ketiga”, Kamis, 27 April 2006, halaman 19
192
penyelesaian kredit bermasalah di bank-bank BUMN bisa ditempuh
melalui mekanisme kompromi”13.
Kemudian pada terbitan tanggal 9 Mei 2002 diuraikan bahwa
Pemerintah mengisyaratkan pembentukan special purpose vehicle
(SPV) untuk menangani kredit bermasalah bank BUMN tidak perlu lagi
direalisasikan, jika revisi PP No. 14 Tahun 2005 dan Peratutan Menteri
Keuangan No. 31 Tahun 2005 telah diselesaikan. Dirjen
Perbendaharaan Negara Depkeu Mulia P. Nasution mengatakan, hingga
saat ini pemerintah masih terus mengkaji secara intensif rencana
pembentukan SPV itu. Jangan sampai pembentukan SPV yang
sebetulnya untuk menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah
baru. Mulia menilai rencana pembentukan SPV masih menemui
ganjalan dari sisi ketentuan pasalnya. Bentuk SPV semacam lembaga
pembiayaan, otomatis masih perlu dikaji apakah lembaga tersebut akan
efektif menyelesaikan kredit bermasalah di bank bersangkutan.
Pemerintah tidak ingin mengulangi kesalahan yang dilakukan BPPN
dalam menyelesaikan kredit bermasalah, kalau ditangani sendiri oleh
pemerintah. Tetapi kalau swasta, tentu tergantung pasar. Jadi
pembentukan SPV perlu dikaji secara cermat, karena kalau PP No. 14
Tahun 2005 dan PMK No. 31 Tahun 2005 direvisi, apakah masih
diperlukan SPV?. Menurutnya, bila dalam revisi tersebut juga diberikan
evel of playing field kepada bank-bank milik pemerintah seperti yang
13 Harian Seputar Indonesia, “Penyelesaian NPL Bank BUMN Revisi PP 14/2005 langgar UU”,
Senin, 1 Mei 2006, halaman 2
193
diberlakukan pada bank-bank swasta, dengan sekaligus memperbaiki
risk management di bank-bank itu. Tentunya penyelesaian kredit
bermasalah tidak perlu lagi menggunakan SPV. Dengan sekaligus
memperbaiki risk management di bank-bank itu, kalau bisa ditempuh,
penyelesaian kredit bermasalah bisa dilakukan, selain itu
penanganannya dapat dilakukan secara akuntabel sebagaimana
dilakukan bank swasta. Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur
Bank Indonesia, Siti Fadjrijah menyatakan, pihaknya akan mendukung
pembentukan SPV jika memang itu diperlukan untuk penyelesaian
kredit bermasalah. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah jika
pembentukan SPV dilaksanakan maka permodalannya tidak boleh
melewati batas maksimum pemberian kredit. SPV itu kan perusahaan
baru, kalau hanya didirikan satu bank saja, ada aturan mainnya. Jangan
sampai melanggar BMPK-nya. Dia menambahkan, dari tiga cara untuk
menyelesaikan kredit bermasalah di perbankan, pertama, menjual kredit
itu kepada bank lain. Kedua, ditangani sendiri oleh tim khsusus
penyelesaian kredit bermasalah dalam suatu bank, dan ketiga dialihkan
pada SPV. Syarat utama penyelesaian kredit bermasalah adalah
kewenangan manajemen untuk menjual dan mengalihkan aset kredit
macet dengan harga yang disepakati.
Sementara itu, Dirut Bank Mandiri Agus Martowardoyo menyatakan
usulan pembentukan SPV diyakini tidak akan menciptakan lembaga
BPPN baru. Pembentukan SPV ini tidak ada maksud untuk menjalankan
proses yang tidak akuntabel dan transparan. Tujuan dari pembentukan
194
SPV ini agar ada pemisahan antara bad bank dan good bank. Supaya
good bank nya bisa melakukan fungsi intermediasi dengan efektif, dan
kita punya bad bank yang ditangani secara profesional untuk bisa
mengoptimalkan recovery (tingkat pengembalian)14.
Dalam Harian Media Indonesia, Menteri BUMN mengatakan sudah ada
kesamaan pandangan mengenai NPL. Untuk menyelesaikan masalah
piutang negara ini perlu ada kesamaan memandang. Ditegaskan
pemerintah perlu menyampaikan visinya mengenai penyelesaian NPL
bank BUMN kepada BPK untuk menghindari penafsiran berbeda dari
BPK mengenai hair cut yang akan dilakukan bank-bank BUMN dalam
menyelesaikan NPL-nya. Sebab bisa saja terjadi BPK akan memandang
hair cut itu sebagai tindakan yang merugikan keuangan negara.
Ditambahkan bahwa untuk pembentukan special purpose vehicle (SPV)
belum akan dilaksanakan, karena menunggu kajian lebih lanjut.
Diharapkan dengan merevisi Kepmenkeu No 31 Tahun 2005, NPL bank
BUMN menurun. Sementara itu, Direktur Jenderal Perbendaharaan
Depkeu Mulia Nasution mengatakan nantinya bank BUMN akan
melaksanakan kewenangannya, sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2004
tentang BUMN dalam menjalankan prinsip korporasi. “RUPS sebagai
organ tertinggi, artinya akan mengacu kepada UU Perseroan Terbatas,
pasar modal, perbankan, sama dengan bank-bank swasta.
Menyinggung, kemungkinan adanya moral hazard dari bankir BUMN
saat melakukan hair cut, Sugiharto mengatakan hal itu bisa
14 Harian Seputar Indonesia, “Kredit Bermasalah Bank BUMN”, Selasa, 9 Mei 2006 halaman 2
195
diminimalisasi dengan menjalankan standar prosedur operasi yang ada
di bank BUMN. Ia melihat restrukturisasi yang dilakukan bank BUMN
dengan cara memberikan hair cut merupakan hal yang perlu dilakukan.
Sebab bagi sebagian debitor, restrukturisasi tanpa adanya diskon atau
hair cut tidak akan berjalan efektif.
Dirut BNI Sigit Pramono mengatakan saat ini debitor yang ada di bank
BUMN adalah para debitor yang tidak mengikuti restrukturisasi di
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang menganut pola
pemberian diskon pokok dan bunga, karena itu, debitor yang tertinggal
di bank BUMN umumnya rentan terhadap perubahan kondisi makro
ekonomi. Dengan adanya diskon para debitor akan lebih mudah
membayar kewajibannya. Saat ini total kredit bermasalah di BNI
sekitar 13,7% atau senlai Rp. 8,7 triliun dan di Bank Mandiri sekitar
25,6 % atau senilai Rp.26 triliun15.
Terkait hal di atas, ada penafsiran bahwa piutang bank-bank BUMN
bukan piutang negara. Hal ini terjadi karena menurunnya kepercayaan
kepada PUPN dan DJPLN/KP2LN dalam pengurusan piutang negara
karena waktu penyelesaian yang kadang terlalu lama. Akibatnya adalah
bank-bank BUMN akan menarik berkas perkaranya dengan alasan
bahwa piutang-piutang bank BUMN bukan lagi piutang negara. Hal ini
bisa diterima karena bank-bank itu sudah berubah menjadi Perseroan
15 Harian Media Indonesia, “Solusi NPL Bank BUMN Disepakati”, Kamis, 18 Mei 2006, halaman 3
196
Terbatas, dimana mungkin pemerintah sudah tidak mayoritas lagi
sebagai pemegang saham16.
Menurut Doni Indarto pihak Bank mungkin kecewa dengan pengurusan
di PUPN/KP2LN karena terlalu lama dan juga kesalahan yang
merugikan pihak bank dalam hal penawaran barang jaminan yang
ternyata pengembaliannya tidak sesuai yang diharapkan. Kalau sudah
ada revisi PP No. 14 Tahun 2005 dan Kepmenkeu No. 31 Tahun 2005
yang menegaskan bahwa piutang bank BUMN bukan piutang negara,
maka BKPN yang ada akan diserahkan kembali untuk diurus oleh
banknya sendiri17.
3.3.Akibat Hukum Terhadap Pihak Ketiga
3.3.1. Pihak Ketiga Menerima
Surat-surat uang dikeluarkan oleh PUPN/KP2LN dengan sendirinya
berdampak kepada pihak ketiga, artinya mungkin saja keluarga dari
debitor dapat menyerahkan harta kekayaan lainnya sebagai jaminan
pelunasan piutang, dan hal ini diterima dengan baik.
3.3. 2. Pihak Ketiga Tidak Menerima/Keberatan
Pihak ketiga yang tidak menerima atau merasa haknya dirugikan atau
dilanggar dengan adanya suatu proses eksekusi oleh PUPN/KP2LN
umumnya mengajukan suatu perlawanan (derdenverzet).
16 Wawancara dengan M. Sitompul. Bidang Informasi dan Hukum Kanwil V DJPLN Semarang,
tanggal 29 Mei 2006
17 Wawancara dengan Doni Indarto, Kasi Dokumentasi dan Potensi Lelang KP2LN Semarang, tanggal
29 Mei 2006
197
Menurut Broto Hastono, mengacu kepada praktek penanganan
piutang negara oleh PUPN banyak bank-bank yang mendapat kucuran
dana bantuan seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada
bank-bank tertentu. BLBI ini kemudian dikucurkan kreditnya kepada
para nasabah yang mendapat, sebetulnya ini uang negara akan tetapi
diambil alih oleh Bank swasta. Jadi disini utang ini tetap dikatakan
utang nasabah kepada bank swasta, maka ketika akan langsung lelang
lewat KP2LN mesti ditolak debitornya. Pengajuan gugatan atau verzet
muncul karena si nasabah pinjam dari bank swasta, mengapa harus
diambil alih oleh KP2LN.
Masalah lain tentang Cessie dimana sewaktu kredit bermasalah bank
diambil alih oleh BPPN salah satunya tidak mau repot nagih-nagih.
Oleh karena itu hak tagihnya ini dijual atau dilelang kepada perusahaan
lain. Perusahaan lain inilah yang mempunyai hak tagih terhadap debitor
atau perusahaan yang mempunyai kredit macet terhadap bank.
Kemungkinan terjadi bahwa debitor sudah tidak ada atau suatu
perusahaan sudah bubar, maka piutang ini akan sulit ditagih, sehingga
pihak ketiga ini dapat saja mengajukan gugatan ke pengadilan18.
Menurut Agung Setiawan, verzet atas sita eksekusi atau lelang terhadap
Bank pemerintah dan PUPN/DJPLN (KP2LN) muncul karena debitor
dalam suatu perjanjian kredit bank ada pihak ketiga yang merasa
haknya dilanggar, asal ada alasan atau dasar hukum yang sah, kalau
18 Wawancara dengan Broto Hastono, Advokat pada kantor Advokat Santoso Triatman, SH dan rekan
di Semarang, tanggal 25 April 2006
198
tidak maka tindakan verzet atau gugatan ini hanya membuang-buang
waktu saja atau kalau tidak itu pasti ada itikad buruk dari pihak yang
mengajukan gugatan atau verzet19.
Perlawanan atau gugatan dapat berakibat ditundanya pelelangan.
Menurut Andreas Haryanto, lelang dihentikan atau tidak itu
tergantung pada pihak yang akan melelang, dan merupakan
kewenangan Pengadilan Negeri untuk meneruskan atau tidak.
Penundaan dilakukan bila menurut Pengadilan Negeri perlawanan dari
pihak ketiga atau pihak tereksekusi beralasan. Ketua Pengadilan Negeri
dapat menunda pelelangan untuk memeriksa verzet. Penundaan disini
bukan berarti verzetnya benar20.
4. Peraturan eksekusi Hak Tanggungan dan UU PUPN dimasa mendatang
4.1. Peraturan Eksekusi Hak Tanggungan
Menurut Barita Saragih, berdasarkan ketentuan Pasal 26 UUHT
memang harus ada peraturan pelaksana dari UUHT khususnya mengenai
hukum acara eksekusi. Namun selama aturan mengenai eksekusi Hak
Tanggungan itu belum ada, maka eksekusinya masih menggunakan Pasal
224 HIR/258 RBg. Oleh karena itu kedepan sebagaimana disyaratkan Pasal
26 UUHT, aturan perundang-undangan mengenai eksekusi Hak
Tanggungan ini harus ada. Pasal 224 HIR/258 RBg. bisa dirubah
redaksinya kedepan. Nanti apakah peraturan perundang-undangan yang
19 Wawancara dengan Agung Setiawan. Advokat di Semarang tanggal 3 Mei 2006
20 Wawancara dengan Andreas Haryanto, Advokat pada Kantor Advokat D. Djunaedi SH dan rekan di
Semarang tanggal 28 April 2006
199
mengatur masalah eksekusi dibuat dalam bentuk Undang-undang ataupun
dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UUHT ini tidak
masalah. Akan tetapi kalau Peraturan Pemerintah berarti ada dibawah
Undang-undang sehingga Peraturan Pemerintah itu sudah tidak setara
dengan Pasal 224 HIR/258 RBg. HIR merupakan produk berbentuk
Undang-undang. Jadi sebaiknya nanti ada peraturan perundang-undangan
berupa UU mengenai eksekusi itu, atau hukum acara Hak Tanggungan.
Pasal 6 UUHT tidak perlu dirubah lagi karena penjelasannya sudah cukup
jelas karena menjual langsung atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi)
sedangkan eksekusi dengan perantaraan pengadilan itu yang diatur Pasal 14
ayat (2) jo. Pasal 26 UUHT berdasar Sertifikat Hak Tanggungan sebagai
titel eksekutorial. Kalau mendasarkan pada Pasal 26 UUHT dan sepanjang
menyangkut hukum acara yang belum jelas dan belum ada peraturan
pelaksanaannya, maka Pasal 26 sudah memberi mandat akan adanya
peraturan mengenai hukum acara khususnya eksekusi. Refisi UUHT
tergantung kepada kendala-kendala hukum di lapangan. Kalau berdasarkan
kasus-kasus inkonkreto ditemukan kendala terhadap penerapan UUHT
perlu refisi, karena bagaimanapun suatu UU adalah produk manusia yang
tiada luput dari kekurangan dan kelemahan dan dengan berjalannya waktu
yang sangat dinamis ini berikut perkembangan bisnis, perkembangan
hukum maka suatu UU pasti dalam suatu periode tertentu sudah tidak dapat
menampung lagi kepentingan hukum dan untuk kepentingan transaksi
bisnis yang makin canggih yang makin kompetitif dimasa depan. Tentu
200
UU nya juga harus direfisi sehingga bisa mengakomodir kepentingan yang
lebih luas dimasa yang akan datang21
Pendapat lainya dari Ign. Ridwan Widyadharma bahwa Pasal 6
UUHT kedepan harus ada perbaikan, seharusnya lelang itu cukup tidak lagi
melalui Pengadilan tetapi melalui KP2LN langsung. Mengenai harga limit
dan lain-lain itu urusan KP2LN. Jadi harus dipertegas langsung saja ke
KP2LN, tidak perlu bertele-tele lagi.
Masalah lainnya di KP2LN adalah melelang tapi tidak bisa mengosongkan,
maka harus minta bantuan Pengadilan Negeri. Disinilah kelemahannya.
Kalau lelang oleh pengadilan, maka sebelum dilelang sudah dikosongkan
lebih dulu. Idealnya PUPN dan DJPLN/KP2LN harus bisa mengosongkan
lokasi yang dilelang. Orang membeli lelang untuk dinikmati dalam keadaan
kosong, tidak dalam keadaan masih dihuni oleh orang lain. Pasal 6 ini
kedepan harus mengatur masalah pengosongan sebelum dilelang.
Mengenai sita karena PUPN sudah masuk kantor lelang, tidak hanya
badannya tapi peralatannya juga. Walaupun tugasnya beda tapi harus ditarik
analog disitu. Dengan demikian hal ini harus diatur atau diberi pedoman
oleh Dirjennya (DJPLN).
Masalah lainnya adalah tambang seperti Gas yang berada dalam suatu
lokasi tanah milik seseorang yang tanahnya dijadikan jaminan Hak
Tanggungan itu juga perlu diatur. Hanya saja persoalannya gas dikuasai
negara, sedangkan tanahnya memang milik orang atau kelompok orang
21 Wawancara dengan Barita Saragih. Hakim Pengadilan Negeri Semarang tanggal 11 April 2006
201
yang memiliki tanah tersebut. Pemilik tanah yang akan menjaminkan hanya
saja isi dari tanah ini dikuasai negara. Oleh karena itu perlu kordinasi
karena semua bisa diatur, bisa tidaknya suatu lokasi tanah yang ada gasnya
dijadikan jaminan Hak Tanggungan.
Mengenai Pasal 20 (1) b jo Pasal 26 UUHT seharusnya eksekusi lembaga
satu saja. Kalau memang betul Debitor wanprestasi maka kreditor serahkan
pada kantor lelang. Dalam prakteknya juga toh, Pengadilan pun akan lelang
melalui Kantor Lelang. Prakteknya andaikata pengadilan mengadakan
lelang, tidak melelang dulu barang jaminannya tapi ada tahapan yang
dilalui. Jadi sebaiknya langsung ke Kantor lelang saja, jadi tidak melalui
jalur melingkar. Sebenarnya kalau sudah atas nama keadilan maka langsung
kantor lelang. Pasal ini harus dipertegas. Akibatnya karena ngambang jadi
tafsirnya demikian. Jadi ketidak tegasan Pasal 20 ayat (1) b UUHT jo Pasal
26 UUHT ada disitu karena bukan hanya minta fiat saja, tapi juga minta
dijalankan melalui pengadilan. Pokoknya ini memberikan kerancuan
sendiri. Masalahnya eksekusi ditentukan oleh lembaga apa? Kalau Kantor
Lelang yang melelang maka kantor lelang saja yang menentukan.
Oleh karena itu bila piutang negara dengan jaminan Hak Tangungan tidak
dibayar maka dilelang kantor lelang, kalau mau kesepakatan maka pakai
Balai Lelang, jadi harus tegas22.
Menurut Broto Hastono, Positifnya penggunaan Pasal 6 UUHT adalah
untuk mempercepat penyelesaian utang-utang atau kredit macet.
22 Wawancara dengan Ign. Ridwan Widyadharma, Advokat di Semarang tanggal 9 Mei 2006
202
Hanya saja dalam eksekusi terhadap jaminan yang dipasang Hak
Tanggungan itu apakah tidak ada sita jaminan terlebih dahulu (conservatoir
beslaag) atau sita eksekusi atas barang yang akan dilelang. Kalau barang ini
tidak disita terlebih dahulu apakah barang ini bisa langsung dilelang ?
Kalau proses ini berjalan aman, ini bagus sekali karena tidak ada
permasalahan karena tujuannya adalah menyelamatkan asset negara.
Penyitaan penting karena mungkin bertepatan waktu akan lelang ada
perlawanan dari pihak ketiga, maka barang jaminan sudah aman. Oleh
karena itu, Pasal 6 UUHT sudah bagus tapi harus diberi suatu aturan hukum
khusus menyimpang mengenai masalah ini. Jadi Pasal 6 ini belum
menjamin bagi kreditor dalam pelelangan. Kedepan masalah sita ini perlu
diatur dalam pasal-pasal ini. Jadi perlu diberi wewenang untuk menyita
aset-aset negara di luar Pengadilan Negeri oleh KP2LN.
Pasal 26 UUHT masih menggunakan hipotik yaitu 224 HIR/258 RBg.
HIR/RBg itu warisan kolonial Belanda, selama belum diatur secara khusus
maka masih dipakai Karena itu kedepan memang harus diatur dimana pasal
ini harus disesuaikan dengan Hak Tanggungan.
Eksekusi Hak Tanggungan ini tidak perlu ke Pengadilan Negeri lagi tapi
langsung pelelangan untuk mengirit waktu, biaya dan aset kekayaan negara
cepat terselamatkan.23.
Menurut Andreas Haryanto, selama Pasal 6 UUHT belum ada aturan
pelaksanaan yang khusus itu adalah keliru. Jadi sebenarnya Pasal 6 UUHT
23 Wawancara dengan Broto Hastono, Advokat pada Kantor Advokat Santoso Triatman, SH dan rekan
di Semarang tanggal 25 April 2006
203
belum bisa digunakan tapi yang digunakan adalah eksekusi berdasar Pasal
26 UUHT. Pasal 6 UUHT juga tidak tegas karena kreditor langsung ke
penjualan umum dengan bantuan kantor lelang. Apakah Kantor lelang
(KP2LN) dalam hal ini bukan PUPN punya kewenangan untuk melakukan
sita eksekutorial. Bilamana KP2LN tidak punya kewenangan untuk
melakukan sita eksekutorial apakah pada saatnya nanti eksekusi bisa
dilakukan dengan baik? Karena suatu eksekusi adalah suatu rangkaian atau
tahapan dari eksekusi mulai dari aanmaning, sita, pengumuman dan lelang.
Terkait lelang Pasal 6 UUHT adalah pelaksanaan dari isi perjanjian dimana
ada pihakyang wanprestasi, sehingga kalau dieksekusi maka empat tahapan
mulai dari aanmaning, sita, pengumuman dan lelang harus dilaksanakan.
Kedepan harus ada peraturan khusus mengenai pelaksanaan Pasal 6 UUHT
yang mengatur juga masalah sita, karena bila tidak ada akan merugikan
kreditor. Bagaimana cara melelang kalau tiba-tiba ada perlawanan atau
karena tidak ada sitanya ini akan menghambat pelelangan. Soalnya dalam
praktek kalau bank itu langsung menggunakan Pasal 6 UUHT dan kalau
barang jaminan yang dilelang itu masih dalam kekuasaan debitor tentu ada
pengosongan. Pengosongan itu tidak bisa dilakukan oleh kantor lelang
demikian juga dengan kreditor tidak bisa mengosongkan. Oleh karena itu
kreditor harus minta bantuan Pengadilan Negeri untuk mengosongkan.
Pengadilan untuk mengosongkan suatu objek harus melalui suatu proses
eksekusi. Apakah eksekusi yang dilakukan oleh Kantor Lelang sudah
dilakukan secara sah dengan melalui tahapan-tahapan tadi? Bila tidak
Pengadilan akan lepas tangan atau lempar tanggungjawab. Persoalannya
204
lelang nya tidak minta eksekusi ke Pengadilan tetapi meminta pengosongan
ke Pengadilan. Hal ini yang terjadi dalam praktek, sehingga akan
terbengkalai karena barang sudah dilelang tapi tidak bisa dikuasai, karena
Pengadilan Negeri tidak mau mengosongkan. Jalan keluarnya Pasal 6
UUHT sebagai upaya untuk menjamin suatu kepastian hukum agar kreditor
tidak dirugikan atas tindakan debitor yang kreditnya macet. Memang itu
harus tetap dilaksanakan karena bagaimana mungkin bank itu bisa eksis
kalau debitor macet tidak bisa berbuat apa-apa dan harus melalui
pengadilan. Sebetulnya Pasal 6 UUHT bagus karena memberikan jaminan
bagi bank atas harta kekayaannya yang dipinjam oleh orang lain.
Didalam hal ini masalah eksekusi, menyangkut lelang adalah masalah yang
sangat berhubungan dengan keadilan, sehingga segala sesuatunya harus
ada campur tangan pengadilan dalam pelaksanaannya. Makanya harus
dibuat aturan yang tegas dan tidak bertele-tele. Dalam arti dibuat peraturan
yang sangat sederhana dan tegas dan melibatkan pengadilan.
Jadi bolehlah peraturan dibuat, bahwa kreditor berhak melelang sendiri tapi
itu harus ada suatu ijin dari pengadilan artinya pengadilan memberi fiat
untuk pelaksanaan lelang karena itu pengadilan tidak perlu lagi ikut campur
dalam melelang. Jadi memang harus ada payung hukumnya, sebagai ijin
pengadilan perlu untuk Pasal 6 UUHT, tetapi segala sesuatunya bisa
dilakukan kantor lelang. Pasal 6 ini masih banyak masalah, karena
berhubungan dengan masalah keadilan, karena bagaimana seseorang itu
rumahnya dilelang pasti tidak ada orang yang rela. Pasal 6 UUHT
sepanjang belum diatur secara khusus mestinya mengacu kepada pasal 26
205
UUHT yang dieksekusi berdasar Pasal 224 HIR/258 RBg. Hal ini karena
pada Sertifikat Hak Tanggungan itu ada irah-irahnya yang berbunyi : Demi
Keadilan Berdarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Terkait Pasal 224
HIR/258 RBg yang menyebut hipotik ini, maka harus dipersamakan. Jadi
hanya masalah istilah saja dan akan lebih baik bila segala eksekusi Hak
Tanggungan itu adalah berlaku dalan UUHT . Sedangkan HIR hanya untuk
pengakuan utang saja Pasal 224 HIR/258 RBg. bukan hanya hipotik tapi
juga pengakuan hutang.
Oleh karena itu kedepan harus menggunakan eksekusi Hak Tanggungan
dan tidak mengacu lagi ke 224 HIR/258 RBg. Bagaimana suatu UU dibuat
tapi tidak menyelesaikan masalah karena segala sesuatu masih
menggunakan aturan lama. Oleh karena itu akan terjadi multi tafsir disitu.
Jadi perlu dibuatkan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan
Pemerintah juga tidak masalah. Kalau dibuat dalam bentuk Undang-undang
terlalu bertele-tele lagi membuatnya. Hal ini perlu karena UUHT belum
lengkap24.
Masalah Pengosongan perlu mendapat pengaturan dalam UUHT
kedepan. Selama belum diatur, maka eksekusi pengosongan harus
dimintakan ke Pengadilan Negeri, karena sesuai Undang-undang hanya
Pengadilan Negeri yang diberi wewenang untuk itu25.
24 Wawancara dengan Andreas Haryanto, Advokat pada Kantor Advokat D. Djunaedi SH dan rekan di
Semarang tanggal 28 April 2006
25 Wawancara dengan Agung Setiawan, Advokat di Semarang, tanggal 3 Mei 2006
206
4.2. UU PUPN
Keanggotaan PUPN harus dipertahankan karena sampai sekarang masih
tetap efektif untuk melaksanakan tugasnya yaitu dengan instansi terkait
asal anggota PUPN tersebut maka tentu ada akses kedalam.
UU PUPN kedepan harus dibuat hukum acara tersendiri, karena UU
PUPN sekarang masih menggunakan UU penagihan pajak yang dirubah
pada beberapa istilah seperti dalam pasal 11 UU PUPN. Upaya paksa
yang tadinya berdasarkan UU No. 19 tahun 1959 sekarang harus mengacu
kepada UU Pajak yang baru yaitu 3 hari. Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri Keuangan maupun Keputusan dari Dirjen DJPLN itu merupakan
pelaksana dari UU PUPN nanti. UU PUPN kedepan harus dirubah
dengan penekanan pada proses pengurusannya, dimana pada UU lama
jangka waktu pengurusannya agak lama, maka dengan adanya UU baru
diharapkan mungkin jangka waktu proses pengurusannya lebih cepat dan
penekanannya pada pelayanan sekarang. Jadi kedepan proses
pengurusannya yang harus dipercepat melalui jangka waktu dan tahapantahapan
pengurusannya. Misalnya, proses pengurusan harus ditentukan
sekian bulan karena selama ini belum pernah ditentukan. Masih molor
terus karena kekurangan data bisa terjadi, ketidak marketable dari barang
itu sendiri, kemudian ketidak lengkapan/kehadiran dari debitor itu sendiri,
debitornya hilang segala macam, lalu tidak proaktif. Dalam
207
penanganannya debitor beritikad baik atau tidak, dari situ sudah bisa
kelihatan dari proses pengurusan26.
Menurut Agung Setiawan, UU ini perlu dirubah di sesuaikan dengan
perkembangan peraturan perundang-undangan yang sekarang sehingga
tidak ada tumpang tindih dalam kewenangan, tidak menumbulkan multi
tafsir dan istilah27.
Sedangkan menurut M. Sitompul, UU PUPN ini hanya mengadopsi
UU Penagihan Pajak, jadi harus diganti. Seharusnya UU ini kedepan tidak
lagi PUPN tetapi UU tentang piutang negara, tidak perlu pakai pengurusan
piutang negara karena itu soal teknis saja. Keputusan Menteri Keuangan
dapat diambil alih beberapa hal pokok mengenai hukum acaranya untuk
diatur dalam UU PUPN nanti. Keputusan Menteri Keuangan merupakan
petunjuk pelaksanaan saja, jadi bisa diambil alih atau diadopsi dari situ
saja yang penting kalimat atau kata-katanya diganti28.
Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara ini hanya mengambil alih hukum acaranya dari dari
Hukum Penagihan Pajak, sehingga untuk saat mendatang harus
disesuaikan lagi dengan perkembangan sekarang. Hukum Penagihan Pajak
itu sendiri sudah sering direvisi atau dirubah.
26 Wawancara dengan Doni Indarto. KP2LN Semarang tanggal 20 April 2006
27 Wawancara dengan Agung Setiawan, Advokat di Semarang tanggal 3 Mei 2006
28 Wawancara dengan M. Sitompul, Kanwil V DJPLN Semarang tanggal 12 April 2006
208
B. Pembahasan
1. Proses eksekusi Hak Tanggungan oleh PUPN
1. 1. Penyerahan Piutang Negara
Bank sebagai kreditor yang mempunyai piutang kepada
debitor/penanggung hutang, selalu mengikuti perkembangan setoran
kredit dari debitor/penanggung hutangnya sesuai perjanjian kredit,
melalui catatan pembayaran yang dilakukan sesuai waktu yang
diperjanjikan. Dengan demikian, apabila debitor/penanggung hutang
terlambat dalam sebulan saja untuk melakukan setoran, maka pihak bank
sebagai pemberi kredit akan melakukan somasi/peringatan kepada debitor
agar segera melaksanakan kewajibannya yaitu melakukan setoran
kreditnya. Pada umumnya surat somasi memuat pemberitahuan hutang
pokok dan sisa hutang setelah dilakukan setoran-setoran kredit dan
kemudian diingatkan bahwa hutang ini akan membengkak karena bunga
pinjaman tetap berjalan ditambah denda. Oleh karena itu bila tidak
dipenuhi dalam jangka waktu tertentu yang ditentukan, maka akan
diambil tindakan menurut hukum yang berlaku dan pasti merugkan
debitor/penanggung hutang. Somasi ini biasanya dilakukan tiga kali
dengan jarak waktu tertentu misalnya dalam dua minggu atau satu bulan.
Namun apabila pihak debitor proaktif untuk datang ke bank untuk
menyampaikan apa yang menjadi kendalanya sehingga setorannya
terlambat, maka pihak bank akan ikut memberikan nasihat terkait
usahanya. Bahkan dapat melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap
usaha debitor dan kebenaran laporannya, sehingga berdasar fakta di
209
lapangan kemungkinan ada kebijakan dari pihak bank untuk
merestrukturisasi hutang debitor tersebut misalnya penurunan suku bunga
kredit atau penambahan fasilitas kredit seperti diatur dalam Surat
Keputusan Bank Indonesia Nomor: 31/150/KEP/DIR tanggal 12
November 1998. Dengan cara demikian, maka usaha debitor
terselamatkan, sehingga ada kemampuan untuk melakukan
setoran/pembayaran hutangnya.
Namun bilamana semua usaha untuk penyelesaian hutang
debitor/penanggung hutang tidak berhasil, atau terjadi kredit macet karena
faktor internal ataupun eksternal dan sudah melampaui 270 hari (9 bulan),
maka piutang bank ini wajib diserahkan kepada PUPN melalui KP2LN di
daerah hukumnya. Kewajiban untuk menyerahkan piutang negara ini
sesuai ketentuan Pasal 12 ayat ( 1 ) UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang
PUPN. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa : instansi-instansi
Pemerintah dan Badan-Badan negara yang dimaksud dalam Pasal 8
Peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya
dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung
hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia
Urusan Piutang Negara”. Pasal 8 mengatur tentang pengertian piutang
negara atau hutang kepada negara ialah jumlah yang wajib dibayar
kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak
langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian
atau sebab apapun. PUPN mempunyai tugas untuk mengurus piutang
negara ini sesuai ketentuan Pasal 4 UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang
210
PUPN. Oleh karena PUPN merupakan panitia yang sifatnya
interdepartemental, yang mustahil akan dapat menyelesaikan semua
piutang negara di seluruh Indonesia, maka Pemerintah membentuk
lembaga yang sekarang disebut DJPLN yang di daerah mempunyai kantor
operasional yaitu KP2LN untuk menyelenggarakan pengurusan piutang
negara. Dengan demikian penyerahan piutang kepada PUPN cabang harus
melalui KP2LN di daerah hukum masing-masing sebagai kepanjangan
tangan dari PUPN cabang. Penyerahan harus dilakukan melalui surat
dengan memuat resume permasalahannya dan dilampiri bukti-bukti,
sehingga berkas kasus piutang negara ini dapat dipelajari dan dianalisa.
Begitu diserahkan dan diterima di KP2LN, maka akan diregister di bagian
umum kemudian dilanjutkan ke seksi piutang negara untuk pengurusan
selanjutnya.
Laporan hasil evaluasi di Kanwil V DJPLN menunjukkan outstanding
piutang negara seluruh KP2LN di wilayah kerja Kanwil V DJPLN
Semarang per 2 Januari 2005 khusus piutang perbankan sebesar Rp.
732,82 juta dan $ 4.349.012. Piutang ini cukup besar dengan urutan
KP2LN yang memiliki outstanding piutang negara tertinggi adalah
KP2LN Semarang. Urutan tertinggi ini karena potensi kegiatan
perekonomian di wilayah KP2LN Semarang yang mempunyai wilayah
kerja meliputi 8 (delapan) kota yaitu Kota Semarang, Kabupaten
Semarang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Demak,
Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara dan Kabupaten Blora.
211
Penyerahan piutang negara dari Perbankan yang diterima sampai dengan
Bulan Desember Tahun 2005 adalah sebanyak 1.690 BKPN dengan nilai
Rp. 159.552,62 juta. Penerimaan terbesar ada pada KP2LN Semarang.
Penyerahan BKPN oleh bank pemerintah kepada PUPN/KP2LN dalam
jumlah di atas, merupakan kewajiban dengan harapan dari pihak bank
agar kerugian negara dapat segera dikembalikan.
1.2. Penelitian
Berkas Kasus Pengurusan Piutang Negara (BKPN) yang diserahkan
Kreditor / Bank ini kemudian diteliti kelengkapan berkasnya, dan
dihitung besarnya piutang sudah pasti atau belum dengan
memperhitungkan waktu sejak dinyakan kredit dari debitor macet
disesuaikan dengan ketentuan kolektibilitas yang dikeluarkan Bank
Indonesia yaitu 9 (sembilan) bulan atau lebih dan perhitungan hutang
pokok, bunga, denda dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan bank
sebagai kreditor. Hasil penelitian atau analisis ini kemudian
dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus.
Resume hasil penelitian kasus ini penting, karena dari penelitian
secara administrasi ini akan ditentukan diterima atau tidak BKPN tersebut.
BKPN yang memenuhi persyaratan dan dapat dibuktikan adanya dan
besarnya piutang negara, maka Panitia Cabang (PUPN) menerbitkan
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N). Penolakan
oleh Panitia Cabang dilakukan dengan mengeluarkan surat
penolakan, jika dari hasil penelitian Berkas Kasus Piutang Negara
212
ternyata tidak memenuhi syarat karena tidak dapat dibuktikan adanya
dan besarnya piutang negara. Pengembalian Berkas pada umumnya
disebabkan oleh adanya keterkaitan dengan perkara lain seperti
perkara pidana. Dalam hal demikian, maka perlu dilakukan
pemeriksaan terlebih dahulu terhadap perkara pidana yang terkait
piutang tersebut dan bila sudah ada putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap dan tidak ada masalah, barulah BKPN
tersebut dapat diserahkan kembali untuk diurus oleh PUPN/KP2LN
sesuai prosedur pengurusan.
Dalam hal diterbitkannya SP3N, maka dengan sendirinya terjadi
peralihan wewenang dari Kreditor/Bank kepada Panitia Cabang
(PUPN) yang penyelenggaraannya dilakukan oleh KP2LN. Dengan
kata lain PUPN Cabang dan KP2LN bertindak untuk dan atas nama
negara mewakili bank pemerintah sebagai penyerah piutang negara
guna mengurus dan menyelesaikan piutang tersebut dengan
debitor/penanggung hutang. Hal ini berbeda karena dalam hal
bertindak untuk kepentingan yang diwakili harus ada surat kuasa, dan
khusus piutang negara yang diserahkan sudah dengan sendirinya
beralih dengan terbitnya SP3N karena ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku. Jadi seolah-olah SP3N berfungsi sebagai
surat kuasa untuk menjawab penyerahan piutang negara dari
kreditor/bank.
Mengenai SP3N, bila dilihat pada tabel 1 datanya menunjukkan bahwa
untuk lingkungan KP2LN Semarang SP3N paling banyak dikeluarkan
213
untuk BRI yaitu 254 dibandingkan dengan bank-bank lainnya. Hal ini
berarti bahwa BRI paling banyak menyerahkan BKPN ke PUPN
Cabang/KP2LN Semarang. Hal yang sama terlihat pada tabel 2 dimana
SP3N yang dikeluarkan KP2LN dalam lingkungan Kanwil V DJPLN
Semarang untuk BRI sebanyak 1431. Data ini menggambarkan bahwa
BRI paling banyak melayani kredit kepada masyarakat, hanya saja
kesadaran ataupun kemampuan debitor untuk mengembalikan dana
kredit masih kurang. Hal sebaliknya terjadi pada Bank Mandiri dimana
pada tabel 1 hanya ada 2 (dua) SP3N sedangkan pada tabel 2 ada 13
(tigabelas) SP3N. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan Bank
Mandiri tidak menyerahkan BKPN ke PUPN Cabang/KP2LN tetapi
berupaya untuk menyelesaikan sendiri secara persuasif dengan
debitor/penanggung hutangnya ataupun melakukan restrukturisasi
hutang.
1.3. Panggilan
Setelah SP3N diterbitkan, maka langkah pengurusan pertama yang
dilakukan oleh Panitia Cabang adalah melakukan panggilan melalui
Kantor Pelayanan (KP2LN) secara tertulis kepada penanggung
hutang dalam rangka penyelesaian hutang kepada Bank/kreditor.
Surat panggilan ini dikirim per pos dengan memperhitungkan waktu
sampai diterima dan waktu untuk datang menghadap. Panggilan
demikian mestinya menjadi tugas dari jurusita piutang negara dari
KP2LN untuk mengantarnya ke alamat dan menyampaikan sendiri
214
kepada penanggung hutang yang bersangkutan. Bila bertemu
langsung, maka penanggung hutang dapat menandatangani risalah
panggilan yang disediakan sebagai bukti diterimanya surat panggilan
dari Panitia Cabang/KP2LN. Jika memang tidak bertemu dengan
penanggung hutang dan tidak ada orang lainnya pada alamat
dimaksud, maka surat panggilan dapat dititipkan pada RT/RW atau
ke kantor desa atau kelurahan setempat dengan meminta tandatangan
pada risalah panggilan sebagai bukti penyerahan panggilan.
Waktu untuk menghadap harus diperhitungkan sehingga paling tidak
3 (tiga) hari sebelum waktu yang ditentukan untuk menghadap, surat
panggilan sudah diterima. Dengan demikian panggilan ini dapat
dikatakan patut, karena ada selang waktu dan ada buktinya yaitu
tandatangan pada risalah panggilan yang diambil langsung oleh
jurusita PUPN/KP2LN. Jadi jurusita tidak hanya berfungsi untuk
melaksanakan pemberitahuan surat paksa atau melaksanakan sita
saja, tetapi juga harus melaksanakan panggilan sebagaimana di
Pengadilan Negeri.
Hal ini penting untuk diperhatikan karena bisa saja penanggung
hutang yang mengklaim bahwa surat tidak diterima atau terlambat
diterima sehingga dijadikan alasan untuk dapat mengajukan
perlawanan (verzet) maupun gugatan baik di Pengadilan Negeri atau
PTUN terhadap pengurusan yang dilakukan oleh PUPN/KP2LN.
Terobosan lain yang sudah diambil untuk memperpendek jarak
bila Penanggung Hutang berdomosili jauh dari Kantor Pelayanan
215
(KP2LN), yaitu debitor/Penanggung Hutang dapat dipanggil
menghadap petugas Kantor Pelayanan di Kantor Penyerah Piutang
(Bank). Disinilah pentingnya dilakukan kordinasi dan kerjasama
antara KP2LN dengan bank sebagai penyerah piutang sehingga
proses pengurusan ini berjalan lancar. Demikian juga dalam hal
jurusita piutang negara tidak mengetahui alamat penanggung hutang,
maka dapat diantar oleh salah satu petugas dari bank yang
bersangkutan ke alamat penanggung hutang, karena pihak bank
biasanya lebih mengetahui alamat Debitor/Penanggung Hutang.
Panggilan yang dilakukan di atas ini masih bersifat tertutup artinya
bila penanggung hutang masih ada dan mempunyai alamat yang jelas,
maka panggilan dilakukan secara langsung.
Namun panggilan dapat dilakukan secara terbuka melalui
pengumuman lewat Surat Kabar Harian, media elektronik, papan
pengumuman di Kantor Pelayanan dan atau media masssa lainnya
bila Penanggung Hutang sengaja menghindar/sembunyi atau tidak
diketahui tempat tinggalnya di Indonesia. Panggilan secara terbuka
ini ditempuh karena penanggung hutang beritikad buruk dalam
penyelesaian hutangnya, dengan sengaja tidak melaporkan alamatnya
yang baru pada bank, sebagai kreditornya. Penanggung hutang yang
beritikad baik, sewaktu dipanggil tidak berada di tempat dan
mengetahui adanya panggilan berikut baik melalui media yang ada,
sudah harus datang ke kantor Pelayanan untuk membicarakan
hutangnya dan cara penyelesaiannya.
216
1.4. Pernyataan Bersama
Debitor/Penanggung Hutang yang beritikad baik akan datang
memenuhi panggilan atau datang atas kemauan sendiri untuk menghadap,
guna membicarakan penyelesaian hutangnya. Oleh karena itu, bila datang
dan mengakui besar hutangnya termasuk bunga dan dendanya, maka
akan dilakukan negosiasi antara petugas Kantor Pelayanan dengan
Penanggung Hutang tentang cara-cara penyelesaian hutangnya.
Negosiasi ini penting bagi penanggung hutang untuk menawarkan cara
pembayaran yang disanggupinya. Hasil negosiasi dan pengakuan hutang
inilah yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara yang
ditandatangani oleh Penggung Hutang, Kepala Kantor Pelayanan atau
Pejabat yang ditunjuk dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Berdasarkan Berita Acara tersebut kemudian dibuat Pernyataan Bersama
yang ditandatangani oleh Ketua Panitia Cabang, Penanggung Hutang dan
dua orang saksi yang telah dewasa. Pernyataan bersama ini pada bagian
atas/kepalanya memuat irah-irah “ Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang berarti bahwa pernyataan bersama ini
mempunyai kekuatan eksekutorial dan inti isinya adalah pengakuan
hutang dari debitor dan kesanggupan untuk menyelesaikan
hutang/membayar dalam waktu yang ditentukan dan caranya membayar
melalui angsuran atau tunai sesuai yang disepakati bersama.
Ada kemungkinan Penanggung Hutang tidak dapat hadir karena
alasan hukum lainnya. Dalam hukum perdata ditentukan bahwa bila
debitor/Penanggung hutang meninggal dunia, maka hutangnya beralih
217
kepada siapa yang menjadi ahli warisnya. Prinsip ini berlaku juga dalam
pengurusan piutang negara, oleh karena itu bila penanggung hutang
meninggal dunia, maka Pernyataan Bersama dibuat dengan ahli waris
Penanggung Hutang yang dibuktikan dengan fatwa waris atau penetapan
dari Pengadilan.
Disamping itu bagi Penanggung Hutang yang tidak dapat hadir karena
ada halangan lain dapat diwakili oleh kuasanya berdasar surat kuasa
khusus sebagaimana diatur Pasal 1792 KUH Perdata, sehingga
Pernyataan Bersama dibuat dengan kuasa yang hadir berdasar surat kuasa
khusus tersebut.
Jangka waktu penyelesaian hutang yang ditetapkan dalam Pernyataan
Bersama adalah 12 (dua belas) bulan kecuali Penanggung Hutang
mendapat keringanan hutang. Untuk angsuran tidak boleh melebihi
triwulanan. Apabila Penanggung Hutang tidak membayar angsuran
sesuai ketentuan pernyataan bersama, Kantor Pelayanan dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja memberikan peringatan tertulis kepada Penanggung
Hutang untuk memenuhi kewajibannya. Dengan demikian kemungkinan
terjadi bahwa jangka waktunya dapat melebihi 12 (dua belas) bulan
karena pembayaran angsuran yang terlambat dan baru membayar setelah
diberi peringatan.
Persoalan muncul jika tidak dapat dibuat Pernyataan bersama, karena
Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan dan atau pengumuman
panggilan atau memang datang memenuhi panggilan tetapi tidak
mengakui jumlah hutang tetapi tidak dapat memberikan bukti-bukti
218
pendukung yang sah atau Penangung Hutang mengakui jumlah hutang
tetapi menolak untuk menandatangani Pernyataan Bersama. Dalam
keadaan seperti ini Panitia Cabang secara sepihak berwenang
menerbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) yang wajib
dilunasi oleh Penangung Hutang. Hal ini menunjukkan adanya itikad
buruk dari Penanggung Hutang, karena tidak mau bertanggungjawab atas
hutangnya. Penetapan jumlah piutang negara harus ditempuh Panitia
Cabang, bila penanggung hutang tidak mau negosiasi dan
menandatangani pernyataan bersama, karena penetapan jumlah piutang
negara ini merupakan dasar untuk mengambil langkah ke tahap
pengurusan berikut, apabila Penanggung Hutang tetap tidak mau
menyelesaikan hutangnya.
Data pada tabel 1 dan tabel 2 menunjukkan bahwa PUPN
Cabang/KP2LN banyak menerbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara.
Hal ini perlu dievaluasi kembali, apakah surat panggilannya sampai atau
tidak ke alamatnya. Bila surat panggilan sudah sampai, tetapi Penanggung
Hutang tidak datang, maka perlu diberi tindakan lain seperti paksa badan.
Pernyataan Bersama lebih bersifat pengakuan hutang seperti
dikatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman29 bahwa Pernyataan Bersama
ini mempunyai sifat sebagai pengakuan hutang kepada negara, yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan berkekuatan
memaksa dan dokumen itu diberi kepala “Atas Nama Keadilan”. Dengan
demikian ada kepentingan negara dalam hal ini.
219
Namun untuk pengakuan hutang seperti dikatakan di atas, yang berhutang
adalah penanggung Hutang dan yang mempunyai piutang adalah bank
negara yang dalam hal ini diwakili oleh PUPN/KP2LN. Seharusnya
pengakuan hutang ini dibuat secara sepihak saja oleh Penanggung
Hutang seperti pada akta-akta pengakuan hutang di Notaris. Namun
demikian dapat dipahami bahwa langkah ini adalah untuk lebih
mempertegas jumlah hutang dari Penanggung Hutang, karena pengakuan
hutang ini dibuat bersama dengan Ketua PUPN Cabang. Bahkan bila
penanggung hutang tidak datang atau tidak mau menandatangani
Pernyataan Bersama, maka Ketua PUPN dapat menetapkan sendiri secara
sepihak jumlah hutang dari penanggung hutang, seperti dikemukakan di
atas.
1.5. Surat Paksa
Surat Paksa yang dikeluarkan oleh PUPN Cabang ini merupakan
tahap/langkah berikut yang ditempuh bila pernyataan bersama dan atau
peringatan pernyataan bersama ataupun Penetapan Jumlah Piutang
Negara sudah tidak dihiraukan lagi oleh penanggung hutang.
Tenggang waktunya hanya 1 (satu) kali 24 jam sejak diberitahukan oleh
jurusita piutang negara, sudah harus diselesaikan hutangnya. Tenggang
waktu ini sangat singkat, sehingga hanya penanggung hutang yang sudah
menyiapkan dana yang dapat membayar dalam waktu satu hari ini.
29 Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Alumni. halaman 156
220
Surat Paksa yang diterbitkan oleh Ketua Panitia Cabang ini pada
bagian atas memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”, karena itu mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan
demikian sebelum disampaikan harus dibacakan terlebih dahulu, dengan
maksud agar debitor/penanggung hutang mengetahui isi surat paksa
tersebut dan konsekuensinya bila tidak segera dipenuhi dalam jangka
waktu tersebut. Oleh karena menyangkut administrasi
pertanggungjawaban, maka pembacaan dan penyerahan surat paksa ini
harus dimuat dalam berita acara pemberitahuan surat paksa yang
ditandatangani oleh jurusita piutang negara, penanggung hutang
/penerima surat paksa dan saksi-saksi.
Perlu dipertimbangkan juga waktunya, karena kemungkinan ada
penanggung hutang yang tidak tahu bila ada panggilan bahkan sampai
dikeluarkannya surat paksa baru mengetahui bila ada panggilan. Bagi
penanggung hutang yang demikian, perlu diberi kelonggaran untuk
menyelesaikan hutangnya dengan cara yang disepakati bersama.
Tenggang waktu dalam surat paksa di atas ini berpatokan pada ketentuan
UU Penagihan Pajak Tahun 1959 sejak diberlakukannya UU PUPN,
karena mengambil alih begitu saja. Dalam UU Pajak yang baru surat
paksa harus dilaksanakan dalam waktu 3 (tiga) kali 24 jam.
Data pada tabel 1 dan tabel 2 menggambarkan bahwa Surat
Paksa dan Berita Acara Penyampaian Surat Paksa cukup banyak
dikeluarkan oleh PUPN/KP2LN untuk memaksa Debitor /
Penanggung Hutang agar membayar hutangnya.
221
1.6. Penyitaan
Konsekuensi yang timbul dari tidak dipenuhinya surat paksa
adalah dikeluarkannya Surat Perintah Penyitaan oleh Panitia Cabang.
Sita yang dilaksanakan PUPN ini merupakan sita eksekusi dan
dilaksanakan dengan tujuan agar debitor penanggung hutang tidak
mengalihkan barang jaminan kepada pihak lain karena barang yang
yang disita ini bila tidak ditebus akan dilelang.
Penyitaan dilaksanakan terhadap barang jaminan/Hak Tanggungan
dari Debitor dan atau milik Penjamin Hutang. Namun demikian
PUPN/KP2LN mempunyai kewenangan untuk melakukan sita
tambahan terhadap harta kekayaan lain apabila jaminan Hak
Tanggungan ini ternyata nilainya diperkirakan tidak dapat melunasi
sisa hutang dari penanggung hutang. Harta kekayaan lain yang disita
ini akan dimulai dari barang bergerak lebih dahulu dan bila
diperkirakan masih belum mencukupi untuk menutupi hutang barulah
dilakukan sita lagi terhadap benda tetap lainnya.
Penyitaan terhadap harta kekayaan lain ini dilakukan atas dasar
ketentuan Pasal 159 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No.
300/KMK.01/2002 disamping itu juga di dalam Pasal 1131 KUH
Perdata sudah ditegaskan bahwa segala barang-barang bergerak dan
tak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan
ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitor
222
itu. Terkait hal ini oleh Purwahid Patrik30 dikatakan bahwa di
samping debitor mempunyai shuld juga ia harus bertanggungjawab
atas schuld itu apabila ia tidak membayar hutangnya, maka ia harus
membiarkan sebagian atau seluruh harta bendanya untuk diambil
oleh kreditor. Membiarkan harta bendanya untuk diambil baik
sebagian atau seluruhnya terhadap hutangnya yang tidak dibayar itu
disebut haftung (Pasal 1131). Jadi debitor mempunyai schuld dan
haftung kepada kreditor. Walaupun harta kekayaan
debitor/penanggung hutang menjadi jaminan untuk pelunasannya,
tetapi terhadap harta kekayaan lain milik debitor/penanggung hutang
ada yang tidak boleh disita antara lain tempat tidur, pakaian, alat-alat
pertukangan atau ternak yang digunakan untuk menjalankan usaha
penanggung hutang. Larangan sita ini karena barang-barang ini
menyangkut hal yang pribadi dan juga untuk usaha mencari nafkah.
Penyitaan dilakukan oleh Jurusita Piutang Negara berdasarkan Surat
Perintah Penyitaan dan disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi. Jurusita dalam melakukan penyitaan akan memberitahukan
kepada Debitor dan atau Penjamin Hutang sebagai pemilik
barang/harta yang disita. Pelaksanaan penyitaan oleh Jurusita perlu
juga diketahui oleh aparat desa atau kelurahan setempat, sebelum
dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani
30 Purwahid Patrik. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari Perjanjian dan
dari Undang-undang). Bandung: Mandar Maju. halaman 4
223
Jurusita Piutang Negara, saksi-saksi dan Penanggung Hutang dan atau
Penjamin Hutang.
Penyitaan terhadap tanah / Hak Tanggungan yang telah dilaksanakan
harus didaftarkan kepada instansi yang berwenang dalam hal ini BPN
setempat.
1.7. Lelang
Lelang eksekusi ini merupakan muara terakhir sebagai upaya paksa untuk
merealisasi hak dan atau sanksi. Hak yang dimaksud adalah hak dari
kreditor/bank untuk menarik kembali uang pinjamannya atau piutangnya
dengan cara penjualan barang jaminan dari penanggung hutang sebagai
sanksinya yang ditempuh oleh Panitia Cabang dengan menerbitkan Surat
Perintah Penjualan Barang Sitaan bila Penanggung Hutang tidak
menyelesaikan hutangnya. Di dalam surat perintah penjualan barang sitaan
dimuat dasar pertimbangan untuk dilaksanakannya pelelangan, barang yang
dilelang dan alasan lain. Pelaksanaan lelang oleh PUPN/KP2LN
didasarkan pada UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN dan Keputusan
Menteri Keuangan No. 300/KMK.01/2002 dan Keputusan Menteri
Keuangan No. 304/KMK.01/2002. Pelelangan ini merupakan kelanjutan
dari eksekusi terhadap surat pernyataan bersama dan surat paksa yang
mempunyai kekuatan eksekutorial karena ada irah-irahnya “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian tidak melalui
proses gugatan tetapi langsung dieksekusi melalui mekanisme di
PUPN/KP2LN.
224
Oleh karena itu pada tahap sebelum lelang surat Perintah Penjualan Barang
Sitaan harus diberitahukan secara tertulis oleh KP2LN dalam hal ini seksi
Pelayanan Lelang kepada penanggung hutang baik Debitor maupun
Penjamin Hutang agar diketahuinya. Bilamana hal ini tidak dilakukan
oleh pihak KP2LN, maka kemungkinan akan ada keberatan dari
penanggung hutang yang dapat mengajukan upaya-upaya untuk
menghambat pelaksanaan lelang. Disamping itu berdasar Surat
Perintah Penjualan Barang Sitaan ini Kantor Pelayanan (KP2LN)
akan menunjuk Pejabat Lelangnya yang berwenang untuk melakukan
penjualan barang jaminan tersebut. Sesuai bidang tugas, maka nota
dinas dari Kepala Seksi Piutang Negara berlaku sebagai Surat
Permohonan Lelang.
Barang jaminan yang akan dilelang harus ditentukan harga limitnya, oleh
karena itu tim penilai independen yang ditunjuk KP2LN akan mensurvai
harga pasar yang disesuaikan dengan lokasi tanah/bangunan atau barang
jaminan dan setelah memastikan harga tanah/bangunan dan atau barang
jaminan, maka harga limit ini diserahkan kepada kepala KP2LN.
Pelaksanaan pelelangan ini harus diketahui oleh khalayak ramai, oleh
karena itu merupakan kewajiban bagi PUPN/KP2LN untuk
mengumumkan rencana pelaksanan lelang tersebut melalui Surat Kabar
setempat sebanyak dua kali berselang 15 hari. Dengan adanya
pengumuman mengenai rencana pelaksanaan lelang objek tanah/barang
jaminan tersebut secara mendetail disertai syarat-syarat peserta lelang dan
waktu pelaksanaan lelang, maka diharapkan akan ada peminat yang akan
225
mendaftar sebagai peserta lelang untuk objek Hak Tanggungan tertentu
yang diumumkan. Kewajiban yang harus dipenuhi sebagai peserta lelang
adalah membayar uang jaminan yang disetor ke nomor rekening KP2LN
sesuai bank yang ditunjuk dalam surat kabar paling lambat satu hari
sebelum pelaksanaan lelang sudah efektif masuk pembukuan.
Dengan adanya pembayaran uang muka tersebut, maka penyetor yang
namanya akan menjadi peserta lelang mempunyai hak untuk menjadi
peserta lelang. Oleh karena itu, pada saat pelaksanaan lelang peserta ini
harus hadir, bila tidak maka hak sebagai peserta akan hilang/dibatalkan
sedangkan uangnya dapat diambil kembali.
Pada saat akan lelang inilah nilai limit dari setiap barang jaminan/tanah
atau persil yang akan dilelang dan sudah ditetapkan kepala KP2LN
diserahkan dalam sebuah amplop kepada Pejabat Lelang. Hal ini
dilakukan untuk menjaga kenetralan dalam pelelangan, oleh karena itulah
pada saat melaksanakan penawaran penjualan umum atau lelang untuk
tiap persil barulah amplop yang berisi nilai limit untuk persil yang
dilelang dibuka.
Sebelum lelang oleh pejabat lelang diberikan penjelasan agar peserta
lelang mengetahui persil yang dibatalkan, tanah yang SKPT dan harga
limitnya belum ada juga mekanisme penawaran persil dan cara
penawaran.
Mengenai proses pelelangan umumnya dilakukan secara terbuka dan lisan
dengan penawaran naik-naik dengan penawar tertinggi sebagai pemenang.
226
Persoalan bagi peserta lelang adalah bahwa setiap peserta lelang yang
ditentukan sebagai pemenang dan sudah melunasi harga tanah tersebut
tidak dapat mengklaim lagi ke KP2LN dengan alasan luas atau ukuran
tanahnya ternyata tidak sesuai dengan pengumuman.KP2LN berdalih
demikian karena setiap peserta lelang dianggap sudah mengetahui bahkan
sudah melihat ke lokasi tanah/persil yang akan dibeli, sehingga tidak bisa
mengklaim lagi. Dalam penjelasan yang demikian, nampak bahwa KP2LN
berusaha mengelak dan tidak mau digugat, karena hanya menjadi
pelaksana penjualan saja. Memang diperlukan satu kejelian dari peserta
yaitu teliti sebelum membeli, karena itu harus yakin betul dalam artian
sudah meninjau lokasi tanah tersebut barulah mendaftar sebagai peserta
lelang.
Persoalan lainnya adalah menyangkut tanah yang belum kosong
diharapkan setelah dinyatakan sebagai pemenang dianjurkan untuk
mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri untuk melakukan
pengosongan. Dengan demikian pemenang lelang tidak dapat mengklaim
ke bank atau KP2LN. Pembeli lelang tetap dilindungi sebagai pembeli
beritikat baik, karena itu haknya dapat dipertahankan terhadap siapapun
dan selalu mengikuti bendanya dimanapun benda itu berada.
Suatu keharusan bagi Pejabat Lelang untuk membacakan risalah lelang
sebelum penawaran dilakukan. Risalah lelang ini baru diserahkan kepada
pemenang lelang setelah 7 (tujuh) hari atau paling lambat 10 (sepuluh)
hari kemudian, setelah pelaksanaan lelang dengan syarat bahwa pemenang
lelang ini sudah membayar Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
227
(BPHTB) sebesar 5 % (lima persen) di kota tempat tanah tersebut terletak.
Caranya adalah pemenang lelang mendatangi kantor Pajak di kota tempat
tanah tersebut terletak dan meminta formulirnya dan melakukan
pembayaran ke Bank Pemerintah setempat. Tembusan lembar ke 3 (tiga)
dan 5 (lima) BPHTB ini diserahkan ke KP2LN sebagai syarat untuk
menerima risalah lelang. Apabila risalah lelang ini diserahkan oleh pejabat
lelang tanpa memenuhi syarat tersebut, maka Pejabat Lelang ini akan
dikenakan sanksi. Risalah lelang ini mempunyai kekuatan pembuktian
seperti akta notaris, karena risalah lelang ini menunjuk pemenang lelang
sebagai pembeli lelang sehingga dapat ditunjukkan sebagai dasar untuk
memohon agar sita PUPN/KP2LN diangkat, dan dapat digunakan sebagai
bukti pendaftaran balik nama di Kantor Pendaftaran Tanah atau juga
sebagai bukti untuk pengajuan pengosongan bila tanah yang dibeli masih
dikuasai orang lain.
Mengenai pembayaran bea lelang dan uang miskin maupun Pajak
Penghasilan yang dibebankan kepada pembeli adalah kewajiban yang
harus dipenuhi kepada negara, karena jasa dalam pelelangan.
Dalam melaksanakan lelang sering terjadi bahwa barang yang akan
dilelang ternyata berada di luar wilayah kerja PUPN/KP2LN, maka Panitia
Cabang melalui Kantor Pelayanan meminta bantuan secara tertulis kepada
Kantor Pelayanan dimana barang jaminan yang akan dilelang tersebut
berada untuk melelang barang tersebut.
Permintaan demikian harus disertai dengan dokumen-dokumen sebagai
persayaratan lelang dan resume pengurusan piutang negara.
228
Bilamana sudah diterima surat dan dokemen-dokumen sebagai
persyaratannya, maka Kantor Pelayanan yang diminta bantuannya harus
memberitahukan kembali kepada Kantor Pelayanan yang meminta
bantuan tersebut tentang rencana pelaksanaan lelang dan sekaligus juga
meminta nilai limit harga barang jaminan tersebut.
Kantor Pelayanan yang diminta bantuan untuk pelelangan ini menunjuk
Pejabat Lelangnya untuk melaksanakan lelang sesuai waktu yang
ditetapkan dan melaporkan kembali hasil pelelangan tersebut. Biaya
administrasi pelelangan dengan sendirinya akan masuk ke Kantor
Pelayanan pelaksana lelang tersebut.
Penjualan barang jaminan tidak selamanya melalui pelelangan. Oleh
karena itu debitor/penanggung hutang dapat mengajukan permohonan
Penjualan Tidak Melalui Lelang kepada Kantor Pelayanan pada semua
tingkat pengurusan dengan syarat permohonan diterima Kantor Pelayanan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang.
Hal ini berarti bahwa debitor dapat menjual sendiri barang jaminannya
apabila dianggap menguntungkan baginya dan kewajiban lain bagi
kreditor dan KP2LN dipenuhi.
Pembayaran Penjualan Tidak Melalui Lelang dapat dilakukan secara tunai
maupun dengan angsuran asalkan pembeli tidak wanprestasi terhadap
syarat pembayaran. Bila wanprestasi maka sanksinya adalah persetujuan
Penjualan Tidak Melalui Lelang menjadi batal dan pembayaran yang
sudah dilakukan diperhitungkan sebagai pengurangan jumlah hutang.
229
Hal-hal demikian tentunya sudah dimuat di dalam persetujuan
bersama antara debitor dengan KP2LN.
Pembayaran dilakukan secara tunai paling lama 2 (dua) bulan
sejak tanggal surat persaetujuan bila nilai penjualan tidak melalui
lelang kurang dari atau sama dengan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah) dan bila nilai ini lebih dari satu milyar, maka pembayaran
dapat dsilakukan secara angsuran paling lama 6 (enam) bulan. Jangka
waktu ini tentu saja berat, oleh karena itu walaupun ditentukan
demikian namun dalam praktek dapat diatur cara pembayaran yang
disanggupi dan tidak terlalu memberatkan bagi pembeli barang
jaminan tersebut.
Cara lainnya adalah dengan penebusan yang dilakukan oleh
Penjamin Hutang guna penyelesaian hutang, bila penjamin memiliki
barang yang dijadikan jaminan hutang oleh debitor/Penanggung
Hutang. Untuk itu harus diajukan permohonan secara tertulis dengan
tujuan menebus barang jaminan miliknya dengan nilai paling sedikit
sama dengan nilai pengikatan sebagai syarat.
Cara pembayaran atas penebusan dapat dilakukan secara tunai
maupun angsuran. Penjamin hutang melakukan pembayaran dilakukan
secara tunai bila nilai penebusan kurang dari atau sama dengan satu
milyar rupiah, sedangkan pembayaran secara angsuran paling lama
enam bulan jika nilai tebusan ini ternyata lebih dari satu milyar rupiah
Data pada tabel 1 menarik untuk diperhatikan khususnya pada BRI
dimana surat perintah penjualan barang sitaan 190, kemudian
230
pengumuman lelang 104 dan pelaksanaan lelang ada 76, surat pernyataan
lunas 160 dan surat pernyataan selesai 52.
Hal ini menunjukkan bahwa disamping lelang, penyelesaian di luar lelang
banyak dilakukan oleh PUPN maupun BRI dengan penanggung hutang,
bahkan pihakbank ikut mencari pembeli, sehingga jual beli dapat saja
dilakukan oleh penanggung hutang dengan pembeli.
Realisasi Hasil Pengurusan Piutang Negara menunjukkan bahwa hasil
pengurusan piutang negara khusus Perbankan hanya mencapai sebesar Rp.
82.273,24 juta. Walaupun hasil Pengurusan Piutang Negara belum
mencapai target yang ditetapkan kantor pusat DJPLN, tetapi realisasi
tersebut telah melampui target yang diusulkan Kanwil V DJPLN
Semarang sesuai dengan potensi piutang negara yang diurus. Potensi
piutang negara ditentukan oleh kemampuan penanggung hutangnya
disamping itu juga ditentukan oleh nilai barang jaminan itu sendiri
marketable atau tidak. Dikatakan tidak marketable bila tidak ada pembeli
yang mau, karena mungkin saja tanah jaminan itu (Hak Tanggungan) itu
letaknya tidak strategis karena jauh dari kota, tidak subur atau bermasalah,
sehingga kalau dibuat tempat usaha akan rugi karena jauh dari pasar.
Hasil tertinggi penagihan piutang negara diperoleh untuk PT. BRI, ini
wajar saja karena PT BRI paling banyak menyerahkan BKPN ke PUPN
untuk diurus.
Data pada tabel 2 khusus Piutang Negara Lunas sebanyak 1.278 BKPN
tertinggi pada KP2LN Semarang, Purwokerto, Tegal, Surakarta yaitu di
231
atas angka 200 BKPN sedangkan KP2LN Yogyakarta dan Banjarmasin
tingkat pencapaiannya masih di bawah angka 200 BKPN.
Piutang Negara Selesai sebanyak 348 BKPN. KP2LN yang tertinggi
melakukan proses penarikan kasus piutang negara adalah KP2LN
Semarang, Surakarta, Purwokerto, mencapai di atas 60 BKPN sedangkan
KP2LN Banjarmasin, Tegal dan Yogyakarta di bawah 60 BKPN.
Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT) yang diterbitkan Tahun
2005 adalah sebanyak 133 BKPN. Hal ini berarti bahwa 133 BKPN
tersebut sudah dilaksanakan lelangnya dan ternyata debitor/penanggung
hutang belum mampu untuk melunasi hutangnya, sehingga bila suatu
waktu debitor/penanggung hutang ini sudah mampu lagi maka sisa
hutangnya dapat dibayar.
Mengenai kegiatan adminstrasi Pengurusan Piutang Negara tergantung
pada potensi BKPN dan sumber daya manusia yang diberi tugas
melakukan proses pengurusan piutang negara tersebut. Keterlambatan
yang terjadi dalam pengurusan karena sumber daya manusianya, perlu
diatasi atau dicari jalan keluarnya terutama menyangkut waktu pengurusan
dalan suatu tahap tertentu. Disamping itu kalau menyangkut perkara perlu
dikordinasikan dengan lembaga yang berwenang menangani perkara
tersebut seperti Pengadilan.
Kendala dalam pengurusan piutang negara menunjukkan bahwa
sebenarnya disinilah letak kekurangan bank itu sendiri terutama bagian
analis kreditnya, karena tidak melakukan penelitian secara baik terhadap
jaminan yang diajukan oleh debitor. Bahkan bila tidak ada jaminan, maka
232
tindakan pemberian kredit kepada debitor ini merupakan suatu keberanian
dalam berspekulasi untuk mencari untung, tetapi malah rugi. Disamping
itu bila kredit tidak ada jaminan atau jaminan ada tetapi tidak marketable,
maka ada kesalahan yang dilakukan karena melanggar kebiasaan dan
aturan di bank dilarang mengambil risiko dalam ha-hal seperti ini.
Hal inilah yang menjadi faktor internal penyebab terjadinya kredit macet
bila dikaitkan dengan penggolongan sebab terjadinya kredit macet.
Disamping itu faktor eksternal yang terjadi yaitu kesulitan dalam
permintaan surat keterangan tanah belum bersertifikat sebagai syarat
lelang ke BPN dan juga tanah yang masih milik pihak ketiga dalam
penerbitan SKT Lelang.
Oleh karena itu perlu adanya kordinasi baik dengan pihak BPN, sehingga
dapat diterbitkan surat keterangan yang dimaksud. Namun dalam hal-hal
tertentu BPN tidak dapat menerima begitu saja permohonan KP2LN,
karena diperlukan penelitian juga ke lapangan untuk memastikan
kebenaran data yang diajukan. Oleh karena itu perlu waktu bagi BPN
untuk meneliti kembali, sehingga harus hati-hati untuk menerbitkan surat
untuk menghindari kemungkinan adanya hak orang lain atas tanah
dimaksud, guna menghindari gugatan.
Rendahnya penyerahan piutang macet terutama dari BNI dan Bank
Mandiri, menunjukkan bahwa kedua bank besar ini berusaha untuk
menyelesaikan sendiri secara persuasif dengan penanggung hutangnya
atau ada kemungkinan bahwa ada juga penanggung hutang yang adalah
orang-orang penting dalam pemerintahan, sehingga agaknya menjadi
233
penghambat dalam penyerahan suatu BKPN tersangkut orang-orang
tersebut. Disamping itu juga mungkin pihak Bank BNI dan Bank Mandiri
merasa tidak puas atas pengurusan piutang yang diserahkan karena lama
dan pengembalian kerugian negara tidak sesuai yang diharapkan.
Penanggung hutang atau pihak ketiga yang tidak puas terhadap
pengurusan BKPN sudah pasti menimbulkan masalah hukum yang
penyelesaiannya memerlukan waktu karena memang memperjuangkan
hak atau sengaja mengulur-ulur waktu saja. Oleh karena itu kerjasama
dengan pihak keamanan diperlukan juga disamping untuk menjaga agar
tidak menimbulkan risiko bagi petugas KP2LN.
Mengenai tenaga Pejabat Lelang perlu ditingkatkan kemampuannya dan
ditambah tenaganya, terutama pengetahuan tentang harga dan kualitas
barang tertentu yang akan dilelang seperti kayu jati.
Dengan kehadiran Balai Lelang Swasta ini dengan sendirinya akan
terjadi persaingan usaha secara sehat, walaupun akan mengurangi
pemasukan dari KP2LN, namun sebagai lembaga resmi pemerintah harus
memberikan pembinaan dan kelonggaran bagi Balai Lelang Swasta untuk
berkembang dengan catatan bahwa Pejabat Lelang tetap dari KP2LN.
Dalam proses eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT wajar kalau ada
keraguan dari bank-bank swasta untuk meminta pelaksanaan lelang sesuai
UUHT melalui KP2LN atau pengadilan, karena belum adanya peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan Pasal 6 UUHT dan tidak dimilikinya
kewenangan pengosongan oleh KP2LN. Hal inilah yang jadi masalah
dalam praktek penerapan UUHT, karena bank-bank Pemerintah maupun
234
swasta tidak mau dengan mengajukan eksekusi malah timbul masalah
baru yang justru menimbulkan kerugian yang lebih banyak.
Adanya pelunasan hutang sebelum lelang Hak Tanggungan akan
mengurangi beban kerja dari PUPN/KP2LN.
Upaya pemecahan masalah baik terhadap piutang negara maupun
pelaksanaan pelelangan ini merupakan langkah yang harus ditempuh,
namun yang terlebih penting adalah melakukan sosialisasi tentang
penerapan Pasal 6 dengan berdasar pada Surat Edaran Dirjen BUPLN
(DJPLN) No. 23 Tahun 2000 selama belum ada aturan pelaksanaan
eksekusi Hak Tanggungan khususnya Pasal 6.
Sosialisasi kepada bank-bank untuk penggunaan Pasal 6 UUHT harus
disertai contoh kasus beberapa bank yang sudah menggunakan Pasal 6
UUHT untuk melakukan eksekusi / menjual barang jaminan dan berjalan
dengan baik. Disamping itu juga harus diberi contoh juga tentang adanya
hambatan yang muncul saat menggunakan Pasal 6 UUHT dalam praktek.
Dengan demikian pihak bank yang akan menggunakan eksekusi berdasar
Pasal 6 UUHT sudah mengetahui risiko yang timbul. Hal yang perlu
ditegaskan adalah bahwa peraturan pelaksana dari UUHT khusus
menyangkut eksekusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 UUHT
belum ada.
Demikian juga dengan Penanggung Hutang perlu juga diberi sosialisasi
tentang keuntungan yang diperoleh dengan cara menjual sendiri barang
jaminan tidak melalui lelang.
235
2. Keabsahan Nota Kesepakatan Kerjasama antara Bank Mandiri
dengan DJPLN untuk melakukan eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT
2.1. Isi Nota Kesepakatan Kerjasama
Nota Kesepakatan Kerjasama yang dialih bahasakan dari kata
Memorandum Of Understanding (MOU) atau letter of intent, merupakan
suatu perjanjian antara para pihak yang didasari oleh adanya asas
kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata
yang antara lain menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat
sesuai undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Asas kebebasan berkontrak menurut Rutten yang dikutip
Purwahid Patrik31 bahwa orang bebas membuat atau tidak membuat
perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian
dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang-undang
mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.
Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat berbentuk tertulis atau
lisan namun pada umumnya bentuk tertulis yang dipilih untuk menjamin
kepastian hukum.
Ada tiga bentuk perjanjian tertulis yaitu Perjanjian dibawah tangan,
perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak
dan perjanjian yang dibuat dihadapan atau oleh notaris yang bentuknya
akta notariel.
Demikian pula dengan Nota Kesepakatan Kerjasama antara PT Bank
Mandiri (Persero) Tbk dengan DJPLN tentang pelaksanaan lelang objek
236
Hak Tanggungan berdasar Pasal 6 UUHT didasari oleh adanya asas
kebebasan berkontrak sebagaimana dikemukakan di atas dan juga sudah
memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya
suatu perjanjian.
Nota Kesepakatan Kerjasama antara PT Bank Mandiri dengan DJPLN ini
dibuat di bawah tangan, sehingga dengan sendirinya mengikat untuk kedua
belah pihak.
Oleh karena itu dalam setiap pembuatan perjanjian harus memenuhi
syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang
menyebutkan bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi
empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat
tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan syarat terakhir disebut
syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian32. Syarat subjektif dan
objektif dari perjanjian ini mempunyai konsekwensi bila ada salah satu
syarat yang tidak dipenuhi.
Konsekuensinya adalah bahwa bilamana syarat subjektif tersebut di atas
tidak dipenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan dan apabila syarat
31 Ibid. halaman 66
32 Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni. halaman 23-24
237
objektif tersebut di atas tidak dipenuhi maka perjanjian adalah batal demi
hukum.
Suatu Perjanjian dapat dibatalkan atau tidak tergantung pada pihak lain
yang ikut membuat dan menandatangani perjanjian tersebut, sedangkan bila
objek perjanjian ini ternyata dilarang oleh Undang-Undang, bertentangan
dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum, seperti ditegaskan dalam
Pasal 1337 KUH Perdata.
Nota Kesepakatan kerjasama ini lahir karena ada kesepakatan antara pihak
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dengan DJPLN, disamping itu nota
kesepakatan kerjasama di atas dibuat oleh dua lembaga atau badan yang
masing-masing diwakili oleh Direkturnya, sehingga sah karena menurut
hukum mereka diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
untuk dan atas nama lembaganya. Khusus untuk perusahaan berbadan
hukum berbentuk PT seperti PT Bank Mandiri hal ini tentu diatur didalam
Anggaran Dasar atau akta pendirian PT, sedangkan Direktur DJPLN
bertindak untuk dan atas nama Pemerintah. Dengan demikian masingmasing
pihak ini dapat dikatakan cakap dalam bertindak. Oleh karena itu
untuk syarat pertama dan kedua yang merupakan syarat subjektif sudah
dipenuhi.
Mengenai syarat ketiga yang menjadi suatu pokok persoalan tertentu
dalam Nota Kesepakatan Kerjasama ini adalah pelaksanaan lelang objek
Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT.
Sebenarnya UUHT dalam Pasal 6 sudah memberi kewenangan kepada
Kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan pertama untuk melakukan
238
penjualan barang jaminan di muka umum tanpa persetujuan debitor lagi.
Hanya saja DJPLN melalui unit operasionalnya KP2LN merupakan
lembaga yang berwenang melakukan pelelangan, sehingga perlu diatur
kerjasama ini agar lebih cepat prosesnya.
Oleh karena itu bila dikaitkan dengan unsur keempat dari syarat
perjanjian, maka nota kesepakatan kerjasama ini tidak dilarang oleh
undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau dengan
ketertiban umum.
Isi Nota Kesepakatan Kerjasama ini hanya mempertegas syarat dan
prosedur ketentuan Pasal 6 UUHT untuk pelaksanaannya saja, karena itu
syarat ketiga dan keempat yang merupakan syarat objektif ini juga sudah
terpenuhi.
Nota Kesepakatan Kerjasama ini tidak dibuatkan secara notaril artinya
dibuat dihadapan seorang notaris melainkan dibuat dibawah tangan dan
memenuhi format suatu perjanjian karena ada judul, nomor, keterangan
tentang penghadap, keterangan pendahuluan (premis), isi dan penutup.
Mengenai akta di bawah tangan ini dalam Pasal 1874 KUH Perdata
disebutkan bahwa : “yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan
adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat
urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang di buat tanpa
perantaraan seorang pejabat umum”.
Walaupun Nota Kesepakatan Kerjasama ini dibuat dibawah tangan tetapi
mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian yang sempurna
bagi para pihak sebagimana diatur dalam Pasal 1875 KUH Perdata.
239
2.2. Keabsahan Nota Kesepakatan Kerjasama
Adanya Nota Kesepakatan Kerjasama ini menimbulkan pertanyaan,
mengapa harus menggunakan Nota Kesepakatan Kerjasama dalam
pelaksanaan eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT? Padahal dalam Pasal 6
UUHT sudah mengatur dengan jelas hak parate eksekusi ini.
Kemungkinan karena belum adanya peraturan pelaksana menyebabkan
adanya keraguan untuk menggunakan ketentuan Pasal 6 ini, sehingga
harus menggunakan MOU khusus untuk Bank-bank BUMN atau BUMD.
Ada kekawatiran akan banyak persoalan yang akan timbul bila
mengajukan permohonan eksekusi ke KP2LN berdasar Pasal 6 UUHT,
karena tentunya akan menambah beban masalah bagi bank. Oleh karena
itu ada kehati-hatian dalam penggunaan eksekusi berdasar Pasal 6 karena
dianggap rawan masalah.
Bagi bank-bank swasta ketentuan Pasal 6 UUHT sangat mengguntungkan
karena prosesnya singkat, namun bagi bank pemerintah termasuk Bank
Mandiri ada UU No. 49 Prp Tahun 1960 yang mengharuskan penyerahan
piutang negara kepada PUPN.
Keuntungannya bagi kreditor adalah dalam hal eksekusi, karena apabila
debitor wanprestasi maka kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual barang jaminan melalui
pelelangan umum tanpa perlu adanya pesersetujuan lagi dari debitor seperi
diatur dalam Pasal 6 UUHT.
240
Proses eksekusi yang diatur dalam Pasal 6 UUHT ini jauh lebih cepat
karena langsung ke pelelangan umum, melalui KP2LN atau mengunakan
jasa Balai Lelang Swasta.
Apabila dibandingkan dengan pengurusan melalui PUPN menurut UU
PUPN, maka proses pengurusannya lama karena harus melalui tahapantahapan
sesuai ketentuan yang berlaku mulai dari penyerahan piutang
sampai pada pelelangan barang jaminan yang disita.
Kreditor/Bank pemerintah mempunyai hak untuk memilih di antara kedua
Undang-undang ini (UUHT atau UU PUPN) akan menggunakan yang
mana. Pilihan pasti yang menguntungkan dari sisi waktu tenaga dan biaya.
Dalam hal ini UUHT mengatur proses yang singkat.
Ketentuan dalam Pasal 6 UUHT sudah tegas mengatur adanya parate
eksekusi, walaupun sebelumnya pernah ada Yurisprudensi MA No. 3210
K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang menyatakan bahwa pelaksanaan
lelang harus didasarkan pada Pasal 224 HIR/258 RBg atas perintah dan
dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
Mengenai MOU ini hanya mengatur kembali apa yang diatur dalam Surat
Edaran Dirjen BUPLN (DJPLN) No. 23/PN/2000, oleh karena itu wajar
saja kalau Ignatius Ridwan Widyadharma mengatakan bahwa pembuatan
Nota Kesepakatan Kerjasama antara Bank Mandiri dengan DJPLN adalah
berlebihan, karena sudah diatur oleh UUHT. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Andreas Haryanto bahwa bila tanpa Nota Kesepakatan
Kerjasama apakah eksekusi berdasar Pasal 6 ini berjalan ataukah tidak?
Karena hal ini sudah jelas diatur oleh UUHT.
241
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa Nota
Kerjasama ini sah-sah saja, karena hanya untuk mempercepat pelunasan
piutang. Pelaksanan lelang berdasar Pasal 6 UUHT ini sepenuhnya
menjadi tanggungjawab dari kreditor, oleh karena itu KP2LN
mensyaratkan adanya surat pernyataan disamping syarat lain. Syarat
dimaksud adalah Salinan/fotocopy Perjanjian Kredit, Salinan/fotocopy
Sertifikat Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan
Surat pernyataan dari Pimpinan/Direksi Bank yang bersangkutan
selaku Kreditor, yang isinya akan bertanggung jawab apabila terjadi
gugatan.
Hal ini berdasar pada pengalaman bahwa lelang tanah secara langsung
(parate) ini sangat rawan masalah, karena itu tergantung pada
keberanian dari banknya saja sebagaimana dikemukakan oleh Yuda
Primanto dari BPD Jateng.
Lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT tidak dapat dilakukan bila Akta
Pemberian Hak Tanggungan tidak memuat janji sebagaimana
dimaksud pada Pasal 6 jo. Pasal 11 ayat 2 huruf e atau karena adanya
kendala/gugatan dari debitor atau dari pihak ketiga. Solusinya adalah
eksekusi dilaksanakan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat
dalam Sertifikat Hak Tanggungan karena ada irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan keputusan hakim yang tetap. Lelang
berdasar landasan kedua ini memerlukan fiat eksekusi dari Pengadilan.
Karena itu yang menjadi pelaksana lelang adalah Pengadilan Negeri.
242
Sesuai prosedur eksekusi di Pengadilan Negeri, maka harus ada
permohonan eksekusi yang diajukan oleh kreditor/bank dilengkapi dengan
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam SE BUPLN (DJPLN) No. 23
Tahun 2000. Berdasar permohonan ini, maka Ketua Pengadilan Negeri
akan memanggil debitor/penanggung hutang untuk ditegur /aanmaning
untuk memenuhi kewajibannya dalam tempo 8 (delapan) hari terhitung
sejak ditegur. Bila tidak dihiraukan maka oleh Ketua Pengadilan akan
memerintahkan Panitera atau jurusita Pengadilan Negeri untuk
melaksanakan sita atas tanah jaminan dan kemudian dilelang setelah
sebelumnya diumumkan melalui surat kabar dua kali berselang 15 hari.
Sebelum pelelangan ini, maka Pengadilan sudah meminta masukan dari
instansi terkait mengenai harga limit tanah yang akan dilelang, disamping
itu menyurati KP2LN untuk meminta Pejabat Lelang dengan penetapan
waktu sebelum diumumkan.
Mengenai MOU ini di dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
300/KMK.01/2002 diatur juga tentang kerjasama yaitu dalam Pasal 313
ayat (1) yang antara lain mengemukakan bahwa Direktorat Jenderal dapat
melakukan kerjasama dengan :
a. Penyerah Piutang;
b. Badan Usaha Milik Negara penjamin kredit;
c. pihak-pihakyang mempunyai keahlian di bidang pengelolaan asset,
restrukturisasi hutang, peningkatan kualitas sumber daya manusia;
dan atau
d. Instansi lain yang berkaitan dengan pengurusan piutang negara.
243
Berdasar ketentuan di atas, maka nota kerjasama yang dilakukan antara
DJPLN dengan penyerah piutang dalam hal ini Bank Pemerintah khususnya
Bank Mandiri adalah sah-sah saja menurut hukum.
Tujuan dibuat Nota Kesepakatan Kerjasama adalah untuk mempercepat dan
mengoptimalkan pelaksanaan lelang berdasar Pasal 6 UUHT. Oleh karena
itu Nota Kesepakatan Kerjasama ini lebih merupakan payung hukum bagi
bank-bank cabang Mandiri di seluruh Indonesia untuk mengajukan eksekusi
berdasar Pasal 6 UUHT bila debitornya wanprestasi.
Namun kalau dilihat dari ketentuan Pasal 26 UUHT yang mengisyaratkan
akan adanya peraturan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, maka
mestinya Pasal 6 UUHT ini belum dapat digunakan. Oleh karena itu seluruh
proses eksekusi harus dilakukan dengan pertolongan hakim berdasar Pasal
224 HIR/258 RBg.
Di dalam Pasal 224 HIR disebutkan bahwa : Grosse akta hipotek dan grosse
surat hutang hutang yang dibuat di hadapan notaries di Indonesia, dan yang
kepalanya memakai perkataan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, diberi kekuatan yang sama dengan putusan hakim. Hal
menjalankannya jika tidak dilaksanakan secara sukarela, maka
pelaksanaannya dijalankan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri di dalamn wilayah mana debitor berdiam, atau tinggal
atau bertempat tinggal yang dipilihnya, dengan cara seperti tercantum dalam
pasal-pasal pemulaan bagian ini, kecuali mengenai sandera.
244
Dengan berdasar ketentuan Pasal 26 UUHT dan dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 45 antara lain ditegaskan adanya Peraturan
Pemerintah untuk menjalalankan Undang-Undang.
Oleh karena itu eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT semestinya belum dapat
dilaksanakan selama peraturan pelaksana yang disebut Pasal 26 UUHT
sebagai pelaksana ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 45 belum ada.
Dari pendapat-pendapat di atas, hanya Andreas Haryanto yang
mengemukakan hal ini, namun kembali diakui bahwa ternyata proses
melalui pengadilan memakan waktu yang lama dan juga biaya, oleh karena
itu terobosan ini dapat dimaklumi. Demikian juga seperti dikemukakan M.
Sitompul, MOU untuk penggunaan Pasal 6 UUHT ini merupakan
penyimpangan dalam arti positif, karena mestinya bank-bank pemerintah
menggunakan UU PUPN. Namun kalau dilihat dari asas dimana hukum
yang berlaku kemudian meniadakan hukum yang terdahulu, maka bisa saja
dipilih ketentuan ini sepanjang menguntungkan bagi pengguna.
Disamping itu kebutuhan praktek yang mendesak sehingga diperlukan
adanya suatu kesepahaman untuk melaksanakan aturan tersebut (Pasal 6
UUHT), karena aturan pelaksanaannya belum ada, sementara proses yang
disediakan melalui Pasal 20 ayat (1) b jo Pasal 26 melalui jalur panjang di
Pengadilan Negeri. Walaupun tidak melalui suatu gugatan, tetapi ada
mekanisme yang harus ditempuh Pengadilan Negeri sebelum sampai ke
pelelangan. Prosedur dimaksud adalah panggilan terhadap debitor untuk di
aanmaning (tegur), sita eksekusi, pengumuman dan akhirnya lelang.
245
3. Akibat Hukum Yang Timbul Sebagai Konsekuensi Dari Tugas PUPN
dan DJPLN/KP2LN dalam melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan
3.1. Akibat Hukum Terhadap Debitor
3.1.1. Debitor Patuh.
Debitor yang bertanggungjawab akan patuh terhadap
pernyataan bersama yang sudah dibuat karena tidak memenuhi
kewajiban dalam perjanjian kredit yang sudah dibuat oleh debitor
dengan kreditor/bank.
Kepatuhan Debitor terlihat pada itikad baiknya untuk membayar
hutangnya kepada kreditor/ bank pemerintah atau membayar melalui
KP2LN setempat.
Debitor yang wanprestasi dan kemudian patuh akan mau memenuhi
penggantian biaya, kerugian dan bunga atau denda sebagaimana diatur
dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang menyebutkan: penggantian biaya,
kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai
diwajibkan, bila debitor, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai
untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan
atau dilakukan hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu
yang melampui waktu yang telah ditentukan.
Ketentuan pasal ini biasanya dimuat dalam setiap perjanjian kredit
Pembayaran hutang tersebut dapat dilakukan secara tunai atau secara
angsuran. Berdasar bukti pembayaran tunai maka PUPN Cabang /
KP2LN akan menerbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas,
246
sedangkan untuk pembayaran secara angsuran akan diterbitkan berdasar
bukti pembayaran terakhir sisa hutangnya.
3.1.2. Debitor Tidak Patuh.
Bilamana Debitor tidak patuh dalam menyelesaikan piutangnya
walaupun sudah membuat pernyataan bersama atau tidak mau datang
walau sudah dipanggil, maka risikonya adalah proses eksekusi
diteruskan pada tahap surat paksa, surat perintah penyitaan dan surat
perintah penjualan barang sitaan atau lelang barang jaminan Hak
Tanggungan. Hal ini sudah merupakan risiko yang harus dipikul oleh
debitor karena ingkar janji dalam memenuhi perjanjian kreditnya
dengan pihak bank selaku kreditor.
Dasar eksekusi ada pada tindakan PUPN/KP2LN untuk membuat
pernyataan bersama dan surat paksa, karena ada irah-irahnya “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga
mempunyai kekuatan hukum seperti putusan hakim pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Hal ini sudah diatur dengan tegas di dalam
Pasal 10 UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN
Kemungkinan dari debitor/penanggung hutang yang tidak patuh adalah
dikenakan tindakan Pencekalan dan atau Paksa Badan.
Mereka yang termasuk dalam objek pencegahan adalah penanggung
hutang yaitu pihak-pihak yang menandatangani perikatan hutang atau
orang-orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara, direksi/anggota
247
pengurus perusahaan, anggota dewan komisaris/dewan pengawas
yang berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham melakukan tindakan pengurusan atau salah seorang
pesero dan atau pesero pengurus dari Badan Usaha dalam hal
Penanggung Hutang adalah Firma Commanditer Vennootschap, atau
persekutuan perdata. Disamping itu juga siapa yang menjadi penjamin
hutang dapat dikenakan pencekalan.
Usul pencegahan diajukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara (KP2LN) kepada Direktur Jenderal dan harus didasarkan
pada hasil penelitian sebelumnya oleh KP2LN bahwa bila dilakukan
pencegahan akan berdampak pada pelunasan atau pembayaran hutang.
Pencegahan dapat dilakukan pada awal setelah keluarnya SP3N bila ada
ada informasi dari Bank sebagai penyerah piutang. Usul pencegahan
harus dilengkapi dengan dokumen dan keterangan seperti fotocopy
Kartu Tanda Penduduk dari objek pencegahan, alamat terakhir dari
objek pencegahan, jumlah hutang, kondisi usaha dan alasan yang
mendukung untuk dilakukan pencegahan misalnya: itikad objek
pencegahan.
Pencegahan ini dapat dilakukan dalam hal sisa hutang lebih dari Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau kurang dari Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) tetapi objek pencegahan sering
bepergian ke luar negeri. Disamping itu juga debitor/penanggung
hutang sebagai objek pencegahan beritikad tidak baik dan barang
jaminan diperkirakan tidak cukup untuk menutupi sisa hutang.
248
Objek pencegahan dikategorikan beritikad tidak baik bilamana tidak
pernah atau jarang memenuhi panggilan Kantor Pelayanan (KP2LN,
belum pernah membayar atau pernah membayar dalam jumlah relatif
kecil dibanding sisa hutangnya, menunda-nunda pembayaran tanpa
alasan yang sah dan atau bergaya hidup mewah. Khusus gaya hidup
mewah didapat melalui penelitian terhadap objek pencegahan maupun
informasi dari bank sebagai penyerah piutang.
Jadi tindakan pencegahan (cekal) dapat dilakukan terhadap diri debitor
yang mampu, tetapi tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan
kewajibannya dan diketahui sering bepergian ke luar negeri.
Pencegahan dilakukan oleh Direktur Jenderal DJPLN atas nama
Menteri Keuangan bekerjasama dengan intansi yang berwenang dalam
hal ini imigrasi dan kepolisian. Dengan adanya tindakan pencegahan
ini, maka seseorang debitor yang sering bepergian keluar negeri
tertekan untuk membayar hutangnya kepada bank selaku kreditornya.
Disamping itu dengan tindakan cekal ini, maka debitor yang
mempunyai niat akan melarikan diri keluar negeri atau kabur dari
tanggungjawabnya akan dicegah.
Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan
dapat diperpanjang dua kali masing-masing selama enam bulan, namun
demikian patut dipertimbangkan untuk diperpanjang lebih dari dua kali
bila penanggung hutang sebagai objek pencekalan tetap tidak mau
membayar hutangnya.
249
Namun demikian bagi objek pencekalan yang sudah membayar lunas
hutangnya, maka pencegahan harus dicabut dan bagi objek pencekalan
telah menunjukkan itikad baik dengan membayar hutangnya yang
mengarah ke pelunasan, maka pencegahan dapat dicabut.
Penanggung hutang setelah dikenakan cekal dapat saja dikenakan paksa
badan bila masa cekal sudah berakhir dan belum ada itikad baik untuk
melunasi hutangnya.
Oleh karena itu tindakan paksa badan hanya diberlakukan terhadap
debitor/penanggung hutang yang tidak patuh dalam artian tidak
memenuhi surat paksa dan hutangnya paling sedikit Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) barang jaminannya tidak ada
atau tidak cukup untuk menunupi hutangnya dan penanggung hutang
sebenarnya mampu membayar tetapi tidakmenunjukkan itikad baik
untuk membayar hutangnya kepada negara serta objek paksa badan
ini belum berusia 75 (tujuh puluh lima) tahun. Hal ini berarti bahwa
bagi penanggung hutang yang sudah berusia 75 (tujuh puluh lima)
tahun tidak dapat dikenakan paksa badan. Memang tindakan ini harus
dilakukan dengan hati-hati dengan memperhatikan aspek hak asasi
manusia dari orang yang akan dikenakan paksa badan. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian yang mendalam terhadap objek paksa
badan sebelum mengambil tindakan paksa badan. Pada intinya paksa
badan ini tidak beda jauh dengan lembaga sandera (gijzeling).
Dalam paraktek sampai sekarang lembaga Paksa Badan (gijzeling)
belum pernah dilakukan, dan disamping itu juga pelaksanaannya
250
menyangkut biaya yang harus dibebankan kepada PUPN dan
DJPLN/KP2LN. Disamping itu tempat untuk pelaksanaan paksa badan
khusus di lembaga PUPN dan DJPLN/KP2LN ini belum tersedia,
sehingga kalaupun akan dilaksanakan terpaksa harus dititipkan ke
Lembaga Pemasyarakatan. Padahal sudah menjadi stigma bahwa setiap
tahanan di Lembaga Pemasyarakatan adalah pelaku dari suatu tindak
pidana, sehingga kalau seseorang yang dikenakan paksa badan
dititipkan ke Lembaga Pemasyarakatan, maka tentu akan dianggap
sebagai pelaku tindak pidana yang sedang menjalani hukuman
(terhukum) setelah divonis bersalah oleh Hakim Pengadilan. Di
Lembaga Pemasyarakatan ada metode untuk pembinaan terhadap
terdakwa maupun terpidana dan bisa dibayangkan perlakuan para nara
pidana di Lembaga Pemasyarakatan terhadap seorang penghuni baru di
lembaga Pemasyarakatan. Hal ini memang membuat seorang debitor
penanggung hutang bisa jadi stress dan memutuskan untuk segera
melunasi hutangnya tetapi dapat saja ia menuntut ganti rugi berdasar
perbuatan melawan hukum karena adanya perlakuan yang kurang baik
selama di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini dapat saja diajukan dengan
dasar perbuatannya masih dalam lingkup hukum perdata, bukan pidana
sehingga ditahan di Lembaga Pemasyarakatan.
Jadi tindakan ini merupakan upaya agar debitor/penanggung hutang
dan atau keluarganya secara psikis merasa tertekan, sehingga mau
membayar hutangnya kepada bank negara selaku kreditornya.
251
Surat perintah paksa badan dapat ditangguhkan pelaksanaannya bila ada
penetapan dari pengadilan atau pembayaran hutang lebih dari 50%
(lima puluh persen) dari sisa hutang. Bila ada penetapan dari pengadilan
berarti ada keberatan yang diajukan oleh pihak penanggung hutang
dalam bentuk gugatan atau verzet, dan beralasan sehingga pengadilan
mengeluarkan penetapan penangguhan. KP2LN juga dapat menunda
bila pembayaran sudah lebih dari lima puluh persen.
Mengenai jangka waktu pelaksanaan paksa badan ini adalah 6 (enam)
bulan dan dapat diperpanjang oleh PUPN Cabang untuk satu kali. Hal
ini berarti bahwa paksa badan hanya dilaksanakann untuk jangka waktu
1 (satu) tahun dan tidak boleh lebih dari jangka waktu tersebut.
Selama objek paksa badan berada di tempat paksa badan ia mempunyai
hak untuk melakukan ibadah, memperoleh pelayanan kesehatan,
mendapat makan yang tentu dibiayai. Hak-hak ini dalam praktek belum
terlaksana karena belum pernah dilakukan paksa badan.
3.1.3. Debitor Keberatan
Debitor/Penanggung Hutang yang keberatan atau tidak terima atas
tindakan pengurusan piutang negara oleh PUPN dan DJPLN/KP2LN
umumnya mengajukan suatu gugatan ke Pengadilan Negeri atau ke
Pengadilan Tata Usaha Negara, untuk mempertahankan haknya.
Jenis materi gugatan dari perkara-perkara dimaksud antara lain :
1. keberatan pelaksanaan sita;
2. keberatan jumlah hutang;
252
3. cacat yuridis di luar pengurusan piutang negara misalnya cacat PK.
4. Salah sita;
5. barang jaminan adalah harta warisan atau harta gonogini;
6. keberatan lelang karena harga jual terlalu rendah;
7. keberatan pengosongan objek lelang;
8. perbuatan melawan hukum karena prosedur lelang yang tidak
sesuai dengan peraturan perundangan;
9. keberatan lelang Hak Tanggungan.
10. Lelang dibatalkan karena PUPN mengabaikan sita Pengadilan
Sebenarnya pengurusan piutang negara dari perbankan ini oleh PUPN
merupakan kelanjutan dari Bank sebagai kreditor dengan debitornya
karena tidak dibayar hutangnya. Namun demikian Debitor/penanggung
hutang ini dapat menggugat Bank sebagai kreditor maupun PUPN dan
DJPLN/KP2LN yang mengurusi hutangnya.
Hal ini wajar karena merupakan hak seseorang bilamana merasa
dirugikan oleh suatu tindakan tertentu. Hal ini seperti dikatakan oleh
Sudikno Mertokusumo33 bahwa orang yang mengajukan tuntutan hak
memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia
mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum, maka
oleh karena itu ia mengajukan tuntutan hak ke pengadilan.
Namun dapat saja terjadi bahwa suatu gugatan perbuatan melawan
hukum kadang diajukan untuk menghambat proses lelang eksekusi yang
akan dilakukan oleh PUPN. Bahkan perkara yang diperiksa di
253
Pengadilan naik sampai ke tingkat kasasi karena upaya hukum yang
digunakan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan. Seperti dalam
putusan Perkara Pengadilan Negeri Kuala Kapuas dalam Penyelesaian
Kredit Macet melalui BUPLN Perkara No. 18/Pdt.G/1997/PN.K.KP Jo.
No. 44/Pdt/1998/PT.PR. Jo. No. 1748.K/Pdt/1999
Dalam bagian pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Kuala
Kapuas disebutkan bahwa perbuatan Tergugat I yang menyerahkan
penyelesaian kredit macet kepada Tergugat II adalah bertentangan
dengan kewajiban hukum Tergugat I, sehingga perbuatannya
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam bagian
pertimbangan ini juga disebutkan bahwa menurut pasal 1365 BW pihak
yang melakukan perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi.
Penggugat dalam merumuskan tuntutan ganti ruginya adalah tidak jelas,
tidak nampak perhitungan secara rinci serta tidak kelihatan hal-hal
yang menimbulkan perasaan yang tidak mengenakkan, lagi pula kaidah
yang dilanggar, tidak untuk melindungi kepentingan yang dirugikan
(Penggugat), karena bagaimanapun juga hutang tetap hutang dan harus
dibayar. Karenanya perbuatan melanggar hukum dari Tergugat mesti
menimbulkan kerugian, akan tetapi tidak menimbulkan adanya ganti
rugi.
Dalam Pasal 1365 KUH Perdata disebutkan bahwa “tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian
33 Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty halaman 48
254
tersebut”. Berdasar ketentuan pasal ini ada 4 (empat) unsur yang harus
dipenuhi untuk dapat dikabulkannya tuntutan ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum, yaitu
1. adanya perbuatan melawan hukum;
2. kesalahan;
3. kerugian dan
4. ada hubungan sebab akibat.
Dalam perkara ini majelis hakim sudah mengakui bahwa tuntutan ganti
rugi tidak jelas, tidak nampak perhitungan secara rinci. Demikian juga
dengan kaidah yang dilanggar bukan untuk melindungi kepentingan
penggugat. Oleh karena itu, dalam penerapan Pasal 1365 KUH Perdata,
kalau salah satu unsur tidak terpenuhi dalam proses pembuktian, maka
dengan sendirinya tuntutan ganti rugi ini harus ditolak atau dinyatakan
tidak dapat diterima oleh hakim.
Disamping itu tindakan Tergugat I sebagai Bank Pemerintah sudah
sesuai prosedur yaitu harus menyerahkan pengurusan piutangnya
kepada PUPN sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 49
Prp Tahun 1960 tentang PUPN.
Tergugat II dalam hal ini BUPLN (DJPLN) tidak melakukan Perbuatan
melawan hukum oleh penguasa, karena sudah menjadi tugas dari
Tergugat II untuk menerima dan mengurus piutang negara yang
diserahkan kepadanya termasuk penyerahan piutang negara oleh
Tergugat I (BRI Kuala Kapuas) karena sudah ditegaskan dalam UU No.
49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN.
255
Mengenai jumlah hutang yang dipersoalkan kepastiannya, kalau
Penggugat mau mengakui secara jujur, maka hutang pokoknya
Rp.75.000.000,- itu merupakan pinjaman sebanyak 3 kali dari BRI
masing-masing Rp. 40.000.000,- kedua Rp. 10.000.000,- dan ketiga Rp.
25.000.000,- yang karena tidak dibayar maka tentu akan berbunga terus
dan ada dendanya.
Sesuai ketentuan yang berlaku di BUPLN (sekarang DJPLN), maka bila
debitor/penanggung hutang ini waktu dipanggil datang, dan setelah
wawancara/negosiasi tidak mau tandatangan berita acara dan
pernyataan bersama karena tidak mengakui jumlah hutangnya, maka
PUPN mempunyai kewenangan untuk menetapkan secara sepihak
jumlah hutang yang harus dibayar oleh debitor/penanggung hutang
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Keputusan Menteri Keuangan No.
300/KMK.01/2002. Dengan demikian perbuatan melanggar hukum
dari Tergugat II sebagai penguasa sebagaimana putusan Pengadilan
Negeri Kuala Kapuas ini tidak berdasar hukum sama sekali.
Disamping itu untuk menerapakan putusan perbuatan melawan hukum,
maka harus dilihat alasan-alasan pembenarnya ada atau tidak.
Menurut Rachmat Setiawan34, mengemukakan bahwa perbuatan yang
menurut kriteria adalah melawan hukum, akan tetapi sebagai akibat
terdapatnya keadaan yang meniadakan sifat melawan hukumnya
perbuatan menjadi suatu perbuatan yang benar. Terdapatnya alasan
34 Rahmat Setiawan. 1982. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Alumni.
halaman 21
256
pembenar ini pada umumnya telah diterima dan diakui empat alasan
pembenar tersebut dalam Pasal 48 dan seterusnya KUH Pidana yaitu
overmacht, pembelaan darurat/terpaksa, melaksanakan ketentuan
undang-undang, melaksanakan perintah atasan.
Dalam perkara ini tindakan BUPLN atau PUPN dapat dibenarkan,
karena melaksanakan ketentuan undang-undang yaitu Pasal 4 UU No.
49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Dalam
Pasal 4 UU No. 49 Prp. Tahun 1960 antara lain disebutkan bahwa
“Panitia Urusan Piutang Negara bertugas : 1. mengurus piutang negara
yang berdasarkan peraturan telah diserahkan pengurusannya kepadanya
oleh Pemerintah atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8
Peraturan ini”;
Mengenai putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya dalam
pertimbangannya dapat dibenarkan, karena sudah sesuai dalam
memberikan pertimbangan terhadap putusan dan keberatan yang
diajukan.
Mahkamah Agung dalam perkara ini, memberikan pertimbangan
bahwa terlepas dari keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon kasasi, maka menurut Mahkamah Agung, Judex Facti telah
salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:
1. Hutang para Penggugat kepada Tergugat I (BRI Cabang Kuala
Kapuas) dijamin pelunasannya dengan “Hak Tanggungan” (bukti T-
1.8) terdiri dari “Sertifikat Hak Tanggungan”; “Buku Tanah Hak
257
Tanggungan” dan “Akta Pemberian Hak Tanggungan”, maka dalam
penyelesaian hutang tersebut yang harus diperlakukan adalah
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang “Undang-Undang Hak
Tanggungan”;
2. Para Penggugat ternyata tidak dapat melunasi hutangnya (cidera
janji) dalam jangka waktu yang telah ditentukan (per 1 Juni 1996),
maka berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 tahun
1996, Tergugat I berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri yang pelaksanaannya diserahkan kepada Tergugat
II (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara);
3. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka perbuatan Tergugat I dan
Tergugat II adalah sah menurut hukum;
Mengenai pertimbangan Mahkamah Agung di atas menurut penulis
kurang tepat, karena ada dua Undang-undang yang berlaku yaitu
Undang-undang No. 49 Prp. 1960 tentang PUPN yang bersifat khusus
(lex spesialis) dan UUHT yang bersifat umum (lex generali).
Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960 mengharuskan instansi atau
badan-badan negara termasuk bank negara untuk menyerahkan piutangpiutangnya
yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan
tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya
kepada Panitia Urusan Piutang Negara untuk diurus.
Jadi walaupun perjanjian kredit ini dijamin dengan Hak Tanggungan,
namun penyelesaiannya tetap mengikuti prosedur yang berlaku menurut
258
UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN dan peraturan
pelaksanaannya.
Penggunaan parate eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT sebagaimana
disebutkan dalam pertimbangan Mahkamah Agung di atas harus didasari
oleh adanya suatu janji untuk menjual sendiri dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e UUHT.
Bilamana di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan ini tidak dimuat
janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri bila debitor wanprestasi, maka
lelang eksekusi dimaksud tidak dapat dijalankan. Namun bila eksekusi
diajukan berdasar sertifikat Hak Tanggungan, maka eksekusi harus
diajukan ke Pengadilan Negeri, sesuai Pasal 20 ayat (1) b UUHT jo.
Pasal 26 UUHT. Eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) b
UUHT jo Pasal 26 UUHT ini berdasar pada titel eksekutorial karena
dalam Sertifikat Hak Tanggungan sudah ada irah-iarah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian untuk
pelaksanaanya harus dengan pertolongan hakim.
Disamping itu juga untuk lelang berdasar Pasal 6 UUHT ini tidak
dapat dilaksanakan bila ada masalah atau gugatan, sehingga jalan
keluarnya adalah menggunakan Sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar
pengajuan eksekusi ke Pengadilan Negeri.
Prosedur demikian bagi bank swasta tidak masalah, tetapi bagi bank
pemerintah harus menggunakan UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang
PUPN. Namun demikian dalam perkembangan terakhir penggunaan
Pasal 6 UUHT merupakan jalan pintas untuk penyelesaian hutang debitor
259
secara cepat, namun ada kendala-kendala lainnya yang bisa jadi
penghambat.
Dengan demikian bila Pasal 6 UUHT yang diterapkan dalam perkara
di atas, maka Tergugat I (Bank BRI) tidak perlu melalui BUPLN tetapi
langsung ke Kantor Lelang Nagara. Namun mulai Tahun 2002 Kantor
Pengurusan Piutang Negara (KP3N) dan Kantor Lelang Negara (KLN)
sudah digabung menjadi satu kantor yang sekarang disebut Kantor
Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Oleh karena itu setiap
permohonan lelang eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT langsung diajukan
ke KP2LN setempat.
Dalam UUHT ada tiga (tiga) macam penjualan yang diatur yaitu :
eksekusi lelang dengan pertolongan hakim, eksekusi parate dan penjualan
dibawah tangan, sedangkan UU No. 49 Prp. Tahun 1960 hanya satu yaitu
penjualan oleh KP2LN setelah melalui proses pengurusan.
Undang-undang No 49 Prp Tahun 1960 merupakan ketentuan hukum yang
bersifat khusus, karena kreditornya adalah Bank Negara atau lembagalembaga
negara. Dengan demikian bila menyangkut piutang negara dari
bank atau instansi pemerintah maka hal ini menjadi kewenangan PUPN
sesuai UU No. 49 Prp. Tahun 1960. Oleh karena itu dalam UUHT
Kreditor bisa pemerintah/negara, bisa perorangan atau
badan/perkumpulan sedangkan UU PUPN kreditornya adalah Badan
Usaha Milik Negara.
Jadi yang dipakai adalah UU No 49 Prp Tahun 1960 karena
mengesampingkan UUHT
260
Putusan Mahkamah Agung tidak tepat karena negara tidak pernah
menggunakan lembaga eksekusi untuk rakyat.
Jadi negara punya otoritas, membuat peraturan, membentuk lembaga dan
menentukan prosedur untuk melakukan upaya realisasi secara paksa
piutang negara.
Dampak yuridisnya adalah bahwa penggunaan Pasal 6 mengesampingkan
ketentuan Pasal 26 UUHT yang menyatakan bahwa ketentuan eksekusi
masih perlu peraturan pelaksanaan.
Dapat juga ditafsirkan bahwa Mahkamah Agung dalam kasus ini
menemukan hukum yang dapat menjadi sumber hukum, karena Kreditor
diberi wewenang untuk melakukan penjualan lelang dimuka umum sesuai
prosedur lelang eksekusi dengan perantaraan Pejabat Lelang dari KP2LN
(KLN) sebagaimana Surat Edaran BUPLN (DJPLN) No. 23 Tahun 2002
dan dapat juga ditafsirkan bahwa KP2LN (KLN) dapat melakukan
penjualan dibawah tangan berdasarkan UUHT dalam arti hanya
memfasilitasi dan mencari pembeli sedangkan jual beli tetap dilakukan
oleh Debitor/Penanggung Hutang.
Akibat sosial adalah bahwa putusan Mahkamah Agung ini ngambang, ada
penundaan pelelangan sehingga Penggugat akan berusaha
mempertahankan secara fisik objek agunan dengan mengerahkan massa
yang dapat saja menimbulkan masalah baru, serta keuntungan yang
diharapkan BRI tidak kembali, sehingga fungsi bank untuk menyerap dana
dari masyarakat dan menyalurkan kembali akan mengalami hambatan.
261
Dana masuk ke BRI akan menurun yang akan berakibat BRI dapat saja di
merger dengan bank pemerintah lainnya.
Di dalam praktek pengajuan suatu gugatan ke pengadilan biasanya
pihak penggugat memohon agar dilakukan sita jaminan atas barang-barang
milik Tergugat dan ternyata dilapangan terjadi tabrakan sita atau sita
persamaan atas barang yang sama yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri
dan PUPN/KP2LN.
Mengenai sita masing-masing lembaga baik Pengadilan, PUPN maupun
instansi lain mempunyai kepentingan tetapi sepanjang lembaga itu diberi
kewenangan dan diatur oleh Undang-Undang dengan tegas. Dengan
demikian masing-masing lembaga mempunyai kewenangan untuk
mensita bahkan dapat terjadi pada satu barang tertentu.
Terjadinya tabrakan sita atau sita persamaan karena kurang kordinasi
sehingga perlu juga pemikiran kesana tapi kalau melihat kepentingan
masing-masing berbeda maka prakteknya agak sulit. Hal ini disebabkan
hak dan kepentingan masing-masing itu berbeda karena hukum
memberikan perlindungan bagi pemohon. Misalnya, PUPN atas nama bank
pemerintah telah meletakkan sita atas suatu barang debitornya atau pihak
lain mengajukan gugatan dan minta sita kepada pengadilan, maka disini
ada kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu sepanjang menyangkut
kepentingan yang berbeda maka sulit, karena hukum harus memberikan
perlindungan yang sama juga, tidak hanya dari sisi kreditor tapi debitor
juga.
262
Dalam pelaksanaan sita persamaan yang penting adalah koordinasi.
Untuk itu PUPN/DJPLN sudah melakukan kordinasi terkait pelaksanaan
UUHT yang sering terjadi masalah dalam praktek. Dalam kordinasi ini
sudah ada pertemuan empat kali yang dihadiri oleh pihak Bank Indonesia,
Direksi Bank Pemerintah, Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Tinggi se
Indonesia dan Departemen Keuangan itu ada Surat Keputusan Bersamanya
(SKB).
Namun kenyataannya, SKB ini tidak dilaksanakan di lapangan.
Oleh karena itu yang penting ada kordinasi antara PUPN dengan
Pengadilan Negeri dan sebaliknya dan saling melaporkan kalau barang
jaminan dalam sengketa itu sudah disita.
Sita persamaan kadang-kadang itu akal-akalan si debitor juga yang hanya
untuk memperlambat saja proses eksekusi yang akan berlangsung.
Misalnya kasus di KP2LN Yogyakarta, oleh si A barang tersebut sudah
dijaminkan ke bank X karena bisnis A punya utang lagi pada satu
rekanannya. A wanprestasi dan tidak bisa bayar utangnya. Maka A digugat
oleh rekanannya ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Ternyata sertifikat
barang jaminan tersebut sudah dialihkan pada anaknya jauh-jauh
sebelumnya. Karena sertifikat ini juga sudah di Bank dan bank sudah
menyerahkan piutangnya kepada PUPN, maka dilelang. Ternyata
Pengadilan Negeri juga mau melelang objek yang sama dalam perkara
tersebut. PUPN mengajukan keberatan agar diadakan kordinasi dulu karena
barang ini sebagai jaminan di bank sudah diserahkan ke PUPN.
263
Oleh karena itu dalam lelang yang laksanakan PUPN maka sertifikat asli
sudah dipegangnya.
Persoalannya adalah bagaimana Pengadilan mau melelang karena sertifikat
asli masih di PUPN. Waktu disita PUPN, sertifikat sudah atas nama
anaknya si A. Waktu kordinasi ke BPN diberi tahu kalau sudah disita
PUPN lebih dulu. Akhirnya tidak jadi sita, sebab kalau disita untuk dilelang
nanti juga ke pelelangan dan di SKPT pasti ada keterangan telah disita
PUPN. PUPN juga demikian harus kordinasi dulu ke BPN dalam hal sita
hak tanggungan sebagai jaminan35.
Berikut contoh tabrakan sita dalam perkara No. 96/Perd/1977/PN. Medan.
Pihak-pihak adalah PT. Hotel Medan Utama sebagai Penggugat melawan
Bank Ekspor-Impor Indonesia Pusat Jakarta cq. Bank Exim Indonesia
Cabang Medan sebagai Tergugat.
Kasus adalah mengenai kredit dari Tergugat kepada Penggugat.
Penggugat selaku pihak yang membangun Hotel Medan Utama telah
diperingati oleh PUPN Cabang Sumut, untuk melunaskan kredit untuk
membangun hotel tersebut, beserta bunga dan ongkos-ongkos lainnya;
PUPN telah meletakkan sita eksekutorial dan surat paksa di atas hotel
Medan Utama yang sedang dibangun beserta tapak tanahnya;
Penggugat keberatan dan mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri
Medan dengan gugatan pokok antara lain meminta kembali uang
penggugat yang telah ditanamkan untuk pembangunan hotel itu sebesar Rp.
400.000.000,- (empat ratus juta rupiah);
264
Penggugat mengemukakan lagi bahwa kredit yang dipergunakan adalah
dengan tujuan mengsukseskan Pelita dan buka pinjaman biasa. Pihak
Tergugat telah memberikan kredit itu tidak tepat menurut waktunya dan
jumlahnya tidak sesuai lagi dengan kenaikan/kenaikan harga.
Pengadilan Negeri Medan telah meletakkan sita jaminan terhadap bangunan
Hotel Medan Utama berikut tapak tanahnya, dengan Berita Acara Sita
tanggal 18 Juni 1977 No. 96/Perd/1977/PN Medan;
Selagi perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Medan, maka oleh
PUPN telah diumumkan melalui iklan di Haran terbitan Medan yaitu untuk
melakukan pelelangan terhadap bangunan Hotel Medan Utama berikut
tapak tanahnya.
Pihak Penggugat mengajukan protes/keberatan, tetapi tidak diindahkan;
Pengadilan Negeri Medan juga ada mengirim surat kepada PUPN/Kantor
Lelang Negara untuk penundaan lelang tersebut tetapi tidak diindahkan.
Pelelangan terus berjalan, walaupun status bangunan berikut tapak tanahnya
berada dalam sita jaminan Pengadilan Negeri.
Dalam kaitan kasus di atas, maka seperti dikatakan oleh M. Yahya
Harahap36 bahwa setiap sita yang diperintahkan dan dijalankan oleh PUPN
sah dan mengikat. Pengadilan (hakim) tidak boleh mengintervensi apalagi
membatalkan sita eksekusi yang diperintahkan dan dijalankan PUPN.
Dengan demikian tindakan PUPN Cabang Sumut sudah sah menurut
hukum dan sebenarnya tidak boleh dintervensi lagi oleh Pengadilan Negeri
35 Wawancara dengan M. Sitompul. Kanwil V DJPLN Semarang tanggal 12 April 2006
36 M. Yahya Harahap. 2005. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua.
Jakarta : Sinar Grafika. halaman 372.
265
Medan dengan melakukan sita jaminan lagi atas barang jaminan (hotel)
yang sudah disita eksekusi oleh PUPN. Oleh karena itu tindakan lelang
dapat dibenarkan untuk mengembalikan kerugian negara.
Dengan memahami asas yang melarang sita atas sita pada waktu yang
bersamaan terhadap barang debitor yang sama, pada hakikatnya tidak akan
terjadi saling tabrakan dan saling intervensi. Masing-masing dapat
menghindar dari saling berebut secara kompetitif yang keliru37.
Sehubungan dengan praktek di lapangan tersebut, maka di dalam Pasal
179 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 disebutkan
bahwa : “pelaksanaan penyitaan tidak dapat dilakukan terhadap barang
yang telah disita lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, Instansi Pajak, atau
instansi lain yang berwenang”.
Dengan demikian ada halangan untuk melaksanakan sita bila sudah ada
instansi lain seperti Pengadilan yang sudah menyita barang jaminan yang
sama yang akan disita juga. Oleh karena itu jalan keluarnya adalah bahwa
terhadap barang yang telah disita tersebut, maka jurusita piutang negara
wajib menyerahkan salinan Surat Paksa kepada instansi yang lebih dahulu
melakukan penyitaan disertai surat permintaan agar penyitaan yang telah
dilakukan oleh instansi tersebut diberlakukan juga untuk pemenuhan surat
paksa. Perhitungan untuk pemenuhan terhadap surat paksa dapat dilakukan
bila masih ada sisa dana hasil lelang tersebut. Bila hasil ini tidak mencukupi
maka PUPN/KP2LN harus melakukan sita terhadap barang lain milik
debitor.
266
Dengan sering terjadinya tabrakan atau sita persamaan ini, maka patokan
untuk menentukan sahnya sita adalah pada saat pendaftaran di Kantor
Pertanahan terkait tanah sebagai jaminan. Oleh karena itu instansi pertama
yang mendaftarkan sitanya di BPN setempat itu sitanya sah, sedangkan bila
ada instansi lain yang melakukan sita atas tanah yang sama, maka sitanya
tidak sah, kecuali sita pertama sudah diangkat.
Namun dapat terjadi bahwa apabila instansi pertama sudah melakukan sita
tetapi lalai untuk mendaftarkannya ke Kantor Pertanahan setempat hingga
ada sita lagi atas barang yang sama oleh instansi lain yang kemudian
langsung mendaftarkannya ke Kantor Pertanahan, maka instansi terakhir
yang melakukan pendaftaran inilah yang sah sitanya, sedangkan instansi
pertama yang sudah melakukan sita ini tidak sah sitanya karena tidak di
daftarkan.
Kalau sita pertama masih ada, maka instansi yang melakukan sita
belakangan hanya dapat melakukan penyesuaian dengan menyampaikan
catatan tentang hutang tersebut, seperti yang dulakukan jurusita Piutang
Negara dengan menyerahkan surat paksa.
Hak-hak jaminan kebendaan selalu merupakan periikatan tambahan atau
accessoire dari suatu perikatan pokok. Jadi walaupun hanya merupakan
perikatan tambahan tetapi hak-hak jaminan kebendaan itu bagi yang berhak
(kreditor/) sangat berperan karena memberikan preferensi atau pendahuluan
dalam melakukan tuntutan atas benda-benda tertentu dari harta kekayaan
debitor guna menutup hutang dari debitor tersebut. Dalam kasus sita
37 Ibid.
267
persamaan atau penyesuaian maka yang terjadi adalah seorang debitor
mempunyai utang pada beberapa kreditor, karena itu harus berpedoman
pada Pasal 1132 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1132 KUH Perdata
disebutkan bahwa : “barang-barang itu menjadi jaminan berswama bagi
semua kreditor terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi
menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para
kreditor itu ada alas an-alasan sah untuk didahulukan”.
Kemudian di dalam Pasal 1133 KUH Perdata disebutkan bahwa : “hak
untuk didahulukan di antara para kreditor bersumber pada hak istimewa,
pada gadai dan hipotek”.
Khusus hipotek menyangkut tanah sudah diganti dengan Hak Tanggungan,
sehingga dengan sendirinya ketentuan ini diperlakukan terhadap Hak
Tanggungan sepanjang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan.
Dengan demikian dalamn pelunasan hutang debitor kepada kreditorkreditor
harus diperhitungkan berdasar kriteria apakah kreditor tersebut
termasuk kreditor preferen atau kreditor konkuren.
Oleh karena itu bila ada seseorang kreditor / bank pemerintah melalui
PUPN/KP2LN mengajukan surat paksa ke Pengadilan untuk
diperhitungkan piutang kreditor kepada debitor yang sama yang telah disita
tanah atau barang jaminannya oleh Pengadilan Negeri, maka mestinya
berpedoman pada Pasal 1132 KUH Perdata. Bila yang menjadi kreditor
preferen ternyata adalah dari Bank walaupun hanya mengajukan surat paksa
sebagai bukti, tetap harus didahulukan dalam pembayaran hutang.
Menyangkut jaminan Hak Tanggungan hal ini seperti dikemukakan oleh
268
Mochammad Djai’is, bahwa “menurut ketentuan Hukum Jaminan, suatu
jaminan selalu merupakan accessoire dari perjanjian pokok”. Hal demikian
juga diatur dalam UUHT. Dalam Pasal 1 butir 1 UUHT ditentukan antara
lain bahwa “Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang
tertentu”. Jenis utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan,
diatur dalam Pasal 3 ayat (1), yaitu utang yang telah ada; atau utang yang
diperjanjikan dengan jumlah tertentu; atau utang yang pada saat
permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan
jumlahnya berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang
menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.
Dalam penyelesaian hutang-hutang kepada kreditor-kreditor baik kreditor
preferen atau konkuren, bila ada piutang-piutang yang harus lebih
didahulukan seperti diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata maupun Pasal
1149 KUH Perdata, maka harus diprioritaskan dalam penyelesaian hutang
debitor tersebut.
Mengenai gugatan di PTUN adalah wajar karena PUPN dan
DJPLN/KP2LN merupakan instansi Pemerintah yang menjalankan
tugasnya dibawah Departemen Keuangan, sehingga dengan sendirinya
termasuk bidang eksekutif. Namun lembaga PUPN dan DJPLN/KP2LN
bentukan pemerintah ini ikut menjalankan sebagian kekuasaan yang masuk
dalam bidang yudikatif. Walaupun dikatakan pengurusan piutang, tetapi
lembaga PUPN juga sudah melaksanakan eksekusi seperti mengeluarkan
surat Pernyataan Bersama dan Surat Paksa yang mempunyai kekuatan
eksekutorial karena ada irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
269
Yang Maha Esa” pada bagian atas surat-surat tersebut, yang jadi dasar
hukum untuk perintah sita dan perintah penjualan barang sitaan atau
pelelangan.
Surat-surat yang dikeluarkan ini dalam prosesnya berpotensi untuk
menimbulkan adanya gugatan di PTUN bila ada celah atau kekurangan
yang dapat digunakan oleh pihak yang merasa dirugikan atau pihakyang
akan dieksekusi.
Celah-celah yang dapat dimanfaatkan untuk gugatan di PTUN misalnya
seharusnya pengumuman lelang dua kali ternyata baru satu kali sudah
langsung lelang atau juga mengenai selang waktu untuk pengumuman lelang
mestinya 15 hari ternyata untuk pengumunan kedua waktunya kurang dari
15 hari, atau barang yang akan dilelang tidak sesuai. Jadi menyangkut
proses yang dilakukan oleh PUPN dan KP2LN.
Oleh karena PUPN dan DJPLN/KP2LN dalam pelaksanaan pengumuman
dan lain-lain ini menyangkut administrasi, maka keputusan yang
dikeluarkannya merupakan keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur
dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga jadi
sengketa yang digugat untuk dibatalkan atau diperbaiki.
Dari data perkara yang ada walaupun hanya 8 (delapan) perkara saja di
lingkungan Kanwil V DJPLN, tapi hal ini sudah menunjukkan adanya kurang
ketelitian petugas, sehingga di waktu yang akan datang jangan sampai ada
kekurangan ataupun kekhilafan yang dapat berpotensi munculnya gugatan di
Pengadilan Tata Usaha Negara.
270
3.2. Akibat Hukum Terhadap Kreditor
3.2.1. Kreditor Merasa Puas Atas Pengurusan Piutang Negara
Kreditor dalam hal ini bank BUMN akan merasa puas bila semua
berkas kasus piutang negara yang diserahkan ke PUPN/KP2LN
diselesaikan dengan cepat dan kerugian negara ini segera kembali ke
bank sehingga digunakan dalam menjalankan fungsinya sebagai –
penyalur maupun penyerap dana dari masyarakat yang dengan
sendirinya ikut menunjang pembangunan nasional.
Kepercayaan ini akan nampak dari semakin banyak berkas kasus
piutang negara yang diserahkan oleh suatu bank BUMN selaku kreditor
kepada PUPN Cabang / KP2LN untuk diurus.
Bilamana PUPN Cabang/KP2LN menjalankan tugasnya untuk
mengurus piutang negara dengan cepat, maka disamping kerugian
negara kembali ke Bank yang mempunyai piutang, pihak PUPN
Cabang/KP2LN mendapat masukan berupa biaya administrasi ke kas
negara dari hasil pengurusan dan atau pelelangan tersebut.
Fungsi bank tidak akan berjalan dengan baik, bilamana dana yang sudah
disalurkan kepada masyarakat tidak segera kembali
Oleh karena itu di dalam pengurusan piutang negara ini perlu adanya
strategi dan taktik agar pengurusan piutang negara berhasil dengan baik,
sehingga pihak bank sebagai penyerah piutang akan merasa puas
dengan hasil kerja dari PUPN Cabang / KP2LN setempat.
271
Koordinasi antara pihak bank-bank Pemerintah dengan DJPLN/KP2LN
penting untuk mengatur straegi pengurusan piutang negara.
3.2.2. Kreditor Merasa Tidak Puas Atas Pengurusan Piutang Negara
Pengurusan oleh PUPN memakan waktu yang lama, sehingga
tentu saja pihak bank tidak menyerahkan berkas kasus piutang
negaranya kepada PUPN tetapi diusahakan untuk diselesaikan sendiri
secara persuasif dengan debitornya karena lebih banyak berhasil dari
pada diserahkan ke PUPN. Hal ini seperti diungkapkan oleh Budi
Waluyo dari BTN Semarang maupun Yuda Primanto dari BPD Jateng.
Ungkapan di atas menggambarkan bahwa sebenarnya proses di
PUPN/KP2LN cukup lama, belum lagi bila debitor setelah membuat
pernyataan bersama tidak membayar tunai tetapi dilakukan secara
angsuran yang kemudian tidak mengangsur lagi.
Hal-hal ini tentu menjadi masalah sehingga setiap kredit bermasalah
tidak langsung diserahkan tetapi diupayakan untuk diselesaikan sendiri.
Oleh karena itu, DJPLN/KP2LN mengadakan MOU dengan Bank-Bank
BUMN maupun BUMD seperti Bank BPD Jateng agar piutang kredit
bermasalah diserahkan segera untuk diurus PUPN/KP2LN.
Dengan berlakunya UUHT, sebenarnya bank-bank BUMN yang ada
jaminan Hak Tanggungan akan lebih memilih untuk menggunakan
ketentuan Pasal 6, karena parate eksekusi bila debitor wanprestasi,
tanpa menyerahkan ke PUPN berdasar UU No. 49 Prp. Tahun 1960.
Namun peraturan pelaksanaan yang dimaksud Pasal 26 UUHT ini
belum ada, yang ada hanyalah eksekusi sertifikat Hak Tanggungan
272
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) b UUHT yang sesuai Pasal
26 UUHT masih menggunakan Pasal 224 HIR/258 RBg. yang
sebenarnya berlaku untuk hipotek. Dengan demikian eksekusinya harus
dengan pertolongan hakim atau diajukan ke Pengadilan Negeri. Bahkan
untuk eksekusi berdasar Pasal 6 UUHT harus membuat suatu Nota
Kesepakatan Kerjasama, karena DJPLN/KP2LN tidak mau
menanggung akibatnya bila digugat.
Oleh karena kredit bermasalah di Bank BUMN terus meningkat
terutama pada Bank Mandiri dan BNI, maka pemerintah ikut mencari
solusinya agar piutang bank-bank BUMN ini berkurang.
Dalam beberapa Harian seperti Kompas maupun Seputar Indonesia ada
pernyataan bahwa akan ada revisi terhadap PP No. 14 Tahun 2005
tentang tata cara penghapusan piutang negara/daerah dan Peraturan
Menteri Keuangan No. 31 Tahun 2005 dimana dalam revisi tersebut
akan ditegaskan bahwa piutang Bank BUMN bukanlah piutang negara
sehingga tidak berlaku rezim pengelolaan piutang negara terhadap
piutang BUMN karena piutang BUMN akan ditangani secara rezim
korporasi.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pengurusan piutang negara
termasuk bank-bank BUMN akan ditarik kembali bila sudah diserahkan
ke PUPN dan diurus sendiri bila revisi kedua aturan tersebut di atas
sudah selesai.
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri
Keuangan No. 31 Tahun 2005 mengatur tentang penghapusan piutang
273
negara/daerah. Penghapusan ini hanya dapat dilakukan setelah
dilakukan pengurusan secara optimal oleh PUPN.
Bilamana revisi dimaksud selesai seperti diberitakan di harian Kompas
maupun Seputar Indonesia, maka Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) berperan besar untuk memutuskan bisa tidak dilakukan hapus
tagih dan penjualan dengan harga diskon (haircut) atas piutangnya
ataupun melakukan penjualan piutang kepada pihak ketiga tanpa
melalui DJPLN.
Ada juga rencana untuk pembentukan lembaga special purpose vechile
(SPV) guna mengambil alih NPL bank-bank BUMN, namun masih
banyak pro kontra tentang lembaga ini. Sebagian berpendapat cukup
dengan revisi PP 14 Tahun 2005 dan PMK No. 31 Tahun 2005, karena
SPV dikawatirkan akan menimbulkan masalah baru lagi.
Pembentukan SPV memang perlu pengkajian lebih dalam dan studi
banding ke negara-negara lain yang berhasil dalam menerapkan
lembaga ini. Kalaupun akan diterapkan perlu uji coba pada bank-bank
swasta atau bank pemerintah dengan piutang kecil.
Langkah yang diambil pemerintah untuk merevisi PP No. 14 Tahun
2005 ini merupakan jalan keluar untuk mengurangi NPL di bank-bank
BUMN. Namun sejalan dengan itu perlu diambil langkah juga untuk
memperbaiki aturan yang mempunya potensi meningkatkan NPL,
seperti Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 yang mensyaratkan
penetapan kualitas yang sama bagi bagi penyediaan dana yang
diberikan kepada debitor atau proyek yang sama (uniform classification
274
system), walaupun dari hasil penelitian diakui aturan tersebut
mempunyai kontribusi peningkatan NPL 9 persen. Sebab-sebab
terjadinya kredit bermasalah inilah yang seharusnya dicarikan jalan
keluarnya, sehingga tidak terjadi kredit bermasalah disamping revisi
aturan. Jadi revisi diupayakan untuk mengurangi NPL tetapi bagaimana
caranya agar tidak terjadi NPL inilah yang harus diupayakan agar
debitor tetap mampu membayar hutangnya pada bank.
Revisi PP No. 14 Tahun 2005 yang akan menegaskan piutang negara
bukan lagi piutang negara dapat juga dibenarkan seperti dikatakan M.
Sitompul bahwa hal ini bisa diterima karena bank-bank itu sudah
berubah jadi Perseroan Terbatas, karena pemerintah sudah tidak
mayoritas lagi sebagai pemegang saham. Doni Indarto juga mengatakan
hal yang sama bahwa pihak Bank mungkin kecewa dengan pengurusan
di PUPN/KP2LN karena terlalu lama dan juga kesalahan yang
merugikan pihak bank dalam hal penawaran barang jaminan.
Namun perlu diketahui bahwa pengertian piutang negara yang
ditegaskan nanti dalam revisi PP No. 14 Tahun 2005 maupun
Kepmenkeu 31 Tahun 2005 masih menimbulkan masalah hukum,
karena selama pemerintah masih mempunyai modal pada Bank-bank
BUMN, maka hal ini tentu masih menjadi kewenangan PUPN. Oleh
karena itu yang perlu dirubah atau diganti terlebih dahulu adalah UU
No. 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN, dengan mengatur kembali
pengertian piutang negara sehingga tidak